2019 Ganti Negara 

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Telaah Fiksi Geopolitik

Tulisan ini cuma fiksi. Mimpi yang belum usai karena keburu pagi. Jadi, jangan baper, nanti bisa sakit gigi, sakit hati. Dan latar belakang fiksi ini adalah keprihatinan teramat dalam atas kegaduhan tak kunjung usai di negeri ini terutama semenjak diberlakukan pemilihan presiden (pilpres) bermodel one man one vote (pilihan langsung), khususnya pilpres 2014 yang lalu.

Gilirannya, akibat sistem pemilihan umum baik pilpres, pilgub, pilbup/wako hingga pilkades bermodel pilihan langsung, ini membuat rakyat terbelah. Social Cleavage. Terpecah menjadi berkubu-kubu, pro ini-pro itu, sampai ke dusun-dusun hingga dapur rumah tangga. Sesama saudara bahkan sepasang suami istri pun bisa ribut gegara beda pilihan politik.

Kesatuan dan persatuan bangsa bukan hanya sobek tetapi hampir lumat. Tercabik-cabik. Kondisi semacan ini, diprakirakan akan terus berlangsung bahkan kian meningkat eskalasinya dari waktu ke waktu. Sadarkah kita?

Pertanyaannya, siapa paling diuntungkan dengan kondisi bangsa seperti ini? Siapa lagi, kalau bukan kaum kolonialis yang sangat berkepentingan mengeruk sumber daya dan potensi kekayaan bangsa ini. Di satu sisi, mereka —para penjajah— menikmati sinetron kegaduhan tak kunjung henti di negeri Zamrud Khatulistiwa ini sembari menikmati “madu”-nya negeri tetesan syurga yang bocor ini, tetapi di sisi lain, segenap anak bangsa malah terus bergaduh-ria di hilir persoalan. Bukankah kegaduhan itu sejatinya justru diciptakan oleh “sistem” itu sendiri? Retorikanya, apakah mungkin anak bangsa ini memikirkan persoalan hulu bangsa, sedang masalah hilir saja tak habis-habis? Jadi, asumsi awal atas kegaduhan selama ini bahwa strategi pecah belah (devide et impera) telah ditancapkan oleh kaum penjajah pada sistem demokrasi/konstitusi.

Itulah mungkin yang disebut penjajahan hening, senyap. Inilah collonialism post modern atau penjajahan posmo. Tanpa letusan peluru namun mampu menaklukkan sebuah bangsa. Sampai disini, sadarkah kita?

Semenjak kapan dimulai penjajahan senyap ini? Entahlah. Ada yang bilang sejak UU/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) diteken, atau semenjak amandemen empat kali UUD 1945 membidani puluhan bahkan ratusan UU yang tidak lagi pro rakyat, ataupun mungkin ketika GBHN ditiadakan, atau sebab Otonomi Daerah (Otoda) memarakkan korupsi oleh raja-raja kecil, atau bisa jadi akibat multipartai yang membikin high cost politics, dan atau-atau lainnya. Sekali lagi, entahlah. Perlu kajian secara serius dan mendalam guna mencari “biang keladi” atas kegaduhan di hilir tersebut dengan berbasis idealisme dan nasionalisme para perumusnya kelak.

Bahwa dirasakan dari lubuk hati yang paling dalam, terdapat hiruk pikuk isu-isu aktual, entah hastag 2019 Ganti Presiden, entah isu intoleransi, atau anti Pancasila atau isu presidium 212, isu khalifah dan lain-lain merupakan kegaduhan hilir semata, karena niscaya tak bakal mampu menyelesaikan masalah hulu bangsa. Meski banyak analisis mengatakan, bahwa sebagian dari isu-isu tadi dianggap sebagai jalan terjal menuju hal yang lebih baik.

Pertanyaan lanjut, apakah persoalan hulu bangsa itu? Tak lain adalah gunungan utang serta penguasaan ekonomi dan SDA oleh korporasi swasta/negara asing di republik tercinta ini. Sekilas soal utang, memang bukan hal tabu dalam bernegara. Mana negara tak punya utang? Tidak ada. Yah, asalkan selaras dengan pakem-pakem ekonomi makro dan mikro. Silahkan saja. Fiksi ini tidak berbicara teknis utang, selain ada yang lebih ahli dan kompeten juga nanti keburu pagi. Mimpi pun keburu pergi.

Dan keniscayaan jumlah utang akan terus meningkat dan meningkat seiring melemahnya nilai rupiah terhadap US Dollar. Ini peningkatan secara otomatis karena kurs utang memakai dolar.

John Adams mengatakan, “Ada dua cara memperbudak sebuah bangsa, pertama dengan pedang (militer), kedua melalui utang”. Nah, bila merujuk asumsi Adams di atas, pada sistem kolonialisme — utang merupakan metode menaklukkan sebuah bangsa selain tata cara militer sebagaimana lazimnya. Itulah trik jebakan utang atau debt trap scheme yang juga diisyaratkan oleh John Perkins.

Banyak contoh korban dalam kasus debt trap ini. Maladewa misalnya, atau Yunani, Angola, Zimbabwe, Turkistan Timur, Djibouti, Timor Leste dan lain-lain. Mereka harus menyerahkan sebagian —melepas aset-aset negara— dan/atau menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada lembaga atau negara pemberi utang karena tidak mampu membayar cicilan. Sekali lagi, inilah penjajahan hening melalui pintu utang, dan ia (utang) mampu mengambil-alih sebuah negara.

Geopolitik mengajarkan, apabila sebuah negara sudah memiliki ketergantungan —satu aspek saja, minyak contohnya— terhadap negara lain, itu bermakna bahwa geopolitik negara tersebut sudah tergerus. Maka boleh dibayangkan, jika tak hanya satu aspek saja yang bergantung, tetapi berbagai pembiayaan atas aspek-aspek di negara telah tergantung kepada lembaga luar dan/atau negara lain. Ini bukan hanya tergerus tetapi tergadai geopolitik bahkan bisa-bisa terjual. Geopolitics for sale!

Jadi, siapapun kelak terpilih pada pilpres 2019, pertanyaan utama adalah, “Mampukah sosok terpilih nanti mengembalikan utang dan aset-aset negara, lalu mengambil-alih SDA serta ekonomi yang telah dikuasai korporasi asing?”

Suatu ketika di tahun naga langit di Bumi Pertiwi, sorak gegap gempita mengiringi langkahku menjadi presiden terpilìh. Rakyat menunggu pidato perdanaku. Tidak banyak retorika kulantunkan di hadapan rakyatku terkasih, inilah sambutannya:

“Saudara-saudara dimanapun anda berada, kebijakan pokok pada awal rezim ini guna menanggulangi utang dan mengambil-alih kendali asing atas SDA dan ekonomi kita, maka harus ganti (nama) negara. Kenapa? Agar ada renegosiasi dan tata ulang kembali berbasis kepentingan nasional atas hal-hal yang dahulu dilakukan Indonesia.”

Aku berhenti sesaat sembari melihat hadirin. Semua serius melihat. Aku lanjutkan:

“Kebijakan ini, selain merupakan kontra skema atas könspirasi (jahat) global yang konon hendak membangkrutkan kita, juga untuk menghentikan secara permanen kegaduhan sosial politik yang selama ini ternyata justru diproduksi oleh sistem devide et impera yang telah melekat dalam konstitusi. Dan proses ganti negara ini akan dilaksanakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Demikian sambutan saya, semoga Tuhan senantiasa memberkahi, membimbing dan melindungi langkah kita. Amin! Terima kasih”.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com