ACFTA Dan Perlindungan Industri Nasional-Bagian 1

Bagikan artikel ini

Edy Burmansyah-Institute for Global Justice

Paska perang dunia II tahun 1945, dunia berada diantara dua sistem yang sama sekali berbeda dalam hubungan international; pertama sistem teritorial yang yang menekankan pada penguasaan wilayah. Kedua Sistem Oceanic atau perdagangan sebagai warisan kebijaksanaan Inggris tahun 1850-an.

Sistem teritorial melihat kekuasan berdasarkan luas wilayah yang dimiliki; semakin luas wilayah, semakin besar kekuasaan. Secara teoritis, negara besar ingin mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada negara lain, mereka mau menguasai sumber-sumber alam, bahan mentah dan daerah pasar supaya mencapai kondisi swasembada dan swadaya. Sebaliknya, sistem Oceanic atau perdagangan berpandangan bahwa kondisi swasembada dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan terbuka.

Pada mulanya ”perdagangan bebas” dimaknai sebagai pertukaran barang antar negeri tanpa mendapatkan hambatan atau kesulitan di sepanjang perjalanan. Hambatan itu dapat berupa tarif bea masuk atau pajak atas barang impor (yang dibeli dari luar negeri) atau peraturan-peraturan lain (seperti kuota).

Namun dalam perkembanganya, didorong oleh kepentingan negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional, serta diikuti oleh lembaga-lembaga international seperti WTO (World Trade organization), IMF (Dana Moneter International) dan Wold Bank (Bank Dunia). Perdagangan bebas diperluas pada sektor lain, secara sederhana perdagangan bebas dibangun oleh empar pilar utama:
•    Free Flow of Goods
•    Free Flow of Invesment
•    Free Flow of Service
•    Free Flow of Labour

Paham perdagangan bebas menghendaki agar kebijakan dalam negeri sebuah negara tidak ”mendistorsi” harga produk-produk dagangan (barang dan jasa). Negara-negara berkembang juga tidak diperkenankan menekan harga produk ekspor ”secara dibuat-buat”—kebijakan ini meliputi tarif bea masuk atas barang dan jasa, subsidi atas ekspor produk industri dan pertanian, bahkan juga regulasi, hukum dan standar perburuhan, peraturan lingkungan dan hak cipta, undang-undang tentang investasi asing, kepemilikan tanah, dan sebagainya.

Selain itu, paham perdagangan bebas juga menuntut jika negara berkembang memberikan fasilitas pada industri dalam negerinya, maka fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri pesaingnya dari luar negeri (asas equal treament ) . Padahal pada prakteknya, negara-negara maju terus saja mensubsidi industri, misalnya mempertahankan hambatan proteksionis atas industri mereka.

Lewat dukungan lembaga keuangan international seperti Bank Dunia dan IMF melalui kebijakan hutang,  negara-negara kaya terus mendesak negara-negara miskin untuk menghapuskan subsidi atas harga barang dan pupuk, mencabut bea masuk ekspor, dan memangkas bea masuk impor. Pada akhirnya perdagangan bebas cenderung lebih menguntungkan negara-negara kaya ketimbang negara-negara miskin.

FTA Indonesia

Perjanjian perdagangan bebas  adalah satu pakta yang ditandatangani oleh dua negara atau lebih untuk menghapuskan hambatan perdagangan diantara mereka. Organisasi perdagangan dunia (WTO) mencatat sejak tahun 1958-1994 terdapat lebih 250 FTA (Free Trade Agreement) diseluruh dunia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktiv melakukan perjanjian perdagangan bebas—baik yang bersifat bilateral antara negara, maupun yang masuk dalam skema ASEAN —Dalam berapa tahun terakhir Indonesia sudah terlibat dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas, beberapa diantaranya adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZFTA), ASEAN Korea Selatan FTA, dan Indonesia Jepang Partnership Aggrement (IJEPA). Diluar itu masih terdapat beberapa perjajian yang kini masih dalam tahap negoisasi, misalnya ASEAN-EU FTA, ASEAN-USA FTA, ASEAN-India FTA dan Indonesia-EFTA (Swiss, Leichestein, Norwegia dan Islandia).

                                 Daftar FTA Indonesia
No         Nama Perjanjian                                                          
Status
1    ASEAN Free Trade Agreement                                              Sudah Disepakati
2    Indonesia – Jepang (EPA)                                                     Sudah Disepakati
3    ASEAN – China FTA                                                              Sudah Disepakati
4    ASEAN – Korea FTA                                                              Sudah Disepakati
5    ASEAN – India FTA                                                               Dalam Perundingan
6    ASEAN – EU FTA                                                                   Dalam Perundingan
7    ASEAN-Australia dan New Zealand FTA                                  Sudah Disepakati
8    Indonesia – AS FTA                                                               Pra Negoisasi
9    Indonesia – EFTA (Swiss, Leichestein, Norwegia, dan Islandia)Joint Study Group

sumber: www.globaljust.org

Keterlibat Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas, dilatar belakangi ketakutan pada dampak “trade diversion” . Namun yang perlu dicatat, bahwa “trade diversion” hanya berlaku terhadap dua negara atau lebih yang memiliki produk yang sama dengan tujuan pasar yang sama.

Dengan kata lain ketakutan kehilangan potensi pasar ekspor seharusnya tidak menjadi alasan bagi sebuah negara merasa terasingkan, sehingga akhirnya tanpa kesiapan yang matang nekat menceburkan diri ke dalam perjanjian perdagangan bebas, meski dengan resiko pasar didalam negeri akan diserbu oleh berbagai macam produk luar yang dapat mengancam kelangsung produsen local.

Tapi, agaknya soal ini seringkali alfa dalam keputusan-keputusan yang diambil pemerintah. Rakyat sekonyong-konyong dihadapkan kepada perdagangan bebas, dimana mereka dipaksa bersaing dengan pemain-pemain besar dari luar negeri di pasar domestic tanpa ada perlindungan  lagi dari pemerintah.

Pemerintah didalam laporannya kepada  Badan Pertimbangan Kebijakan Perdagangan WTO (World Trade Organization) tahun 2003 menyatakan penghapusan berbagai jenis hambatan tarif  dan non-tarif  (Non Tariff Barriers) merupakan kunci bagi usaha untuk mempertahankan keterbukaan ekonomi Indonesia. Kebijakan tersebut ditempuh pemerintah melalui serangkaian perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA)

Padahal jauh sebelum terlibat dalam berbagai FTA, perekonomian Indonesia sendiri sudah sangat terbuka. Menurut laporan yang dibuat oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations  (FAO), sejak dari tahun 1995 hingga 2003, Indonesia telah melakukan penurunan tarif 5-10 persen. Namun pada kenyataanya kebijakan tersebut dinilai belumlah cukup, sehingga mendorong pemerintah merasa perlu membuka pasar domestik seluas-luas melalui sejumlah kesepakatan perdagangan bebas baik secara bilateral, regional maupun multilateral.

Tabel Jadwal Penurunan Tarif Indonesia 1995-2003

Sumber FAO

Sebagai sebuah perjanjian, FTA mengandung prinsip “take and give”, yakni jika Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia juga harus bersedia menawarkan suatu konsesi. Dan setiap konsesi diberikan maka pemerintah harus menghitung kerugian yang akan diderita rakyat Indonesia, terutama terkait pengaruh jelek dari ekonomi pasar .

FTA yang dilakukan Indonesia menurut EU Trade Commissioner, Peter Mandelsohn, dapat membahayakan perekonomian indonesia, “ Kami melihat ada banyak bahaya besar yang akan diterima Indonesia/negara berkembang lainnya di ASEAN jika menyepakati kes= Applied MFN Tariff Rate    ACFTA Preferential Tariff Rate
(epakatan perdagangan bebas. Pertama, bahaya bagi sektor jasa di Indonesia (terutama perbankan), kedua bahaya dengan penerapan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang makin ketat di Indonesia, dan ketiga bahaya ekspansi industri pertanian dan perikanan modern ke Indonesia “ .

ACFTA

Begitu juga dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang ditandatangani 4 November 2004 di PhonemPhen, Cambodia, dimana Indonesia terlibat didalamnya. Fase awal kesepakatan ini yang dikenal dengan Program Panel Awal EHP—Early Harvest programme) dilaksanakan pada 1 Januari 2004, dan mulai 1 Januari 2010 dilaksanakan efektif secara menyeluruh (penurunan tarif hingga 0% untuk seluruh sektor).

Schedule pengurangan atau penghapusan tariff pada Normal Track ACFTA

Sumber: www.aseansec.org

Dengan perkiraan jumlah penduduk yang yang mencapai 1,7 miliar jiwa, secara populasi ACFTA merupakan FTA terbesar di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dengan penduduk paling besar tentu akan menjadi sasaran utama bagi ekspansi/perluasan produk-produk China.

Terlebih meningkatnya proteksionisme pada sejumlah negara-negara mitra dagang utama China Amerika Serikat, Jepang dan Eropa, Rusia serta beberapa negara lain, mengakibatkan volume perdagangan China mengalami kemerosotan. ACFTA yang mulai berlaku 1 Januari 2010, menjadi momentum bagus bagi China mengembalikan surplus perdagangan luar negerinya.

Bahkan dalam prakteknya beberapa tahun belakangan neraca perdagangan kedua Negara diwarani deficit yang dialami oleh Indonesia. Tahun 2008 Indonesia mengalami defisit USD3,61 miliar. Pada sektor non migas keadaan lebih buruk lagi, dari sebelumnya surplus USD 79 juta pada 2004 menjadi defisit USD 7,16 miliar pada 2008.

bersambung

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com