Adu Domba Melalui Konstitusi

Bagikan artikel ini

Sekurang-kurangnya, sejak Pilpres 2014, masyarakat kita, bangsa ini, selain terbelah menjadi dua kubu saling berhadapan dan seperti tak ada yang mau move on, juga tidak boleh dipungkiri, tersirat ada pembodohan dan/atau epidemi (wabah) glorifikasi dan demonisasi disebar ke publik secara senyap. Tanpa disadari.

Glorifikasi itu aksi yang sifatnya melebih-lebihkan sesuatu sehingga terkesan hebat, hero, nyaris tanpa cacat dan lain-lain. Sedang demonisasi justru kebalikannya, yaitu melebih-lebihkan keburukan, atau mengeksploitasi kekurangan, pelanggaran, dan seterusnya sehingga sesuatu tadi terlihat luar biasa buruk, tampak jahat sekali, tidak ada ruang atau tidak ada sedikitpun kebaikan baginya.

Taktik glorifikasi dan demonisasi tergolong jenis indoktrinisasi, yaitu ajaran atau doktrin yang harus diterima tanpa kritik tanpa selidik. Taktik ini dikatakan sukses bila para korban indoktrinisasi tak lagi mampu melihat realita sesungguhnya. Bahkan kerap terjadi, si korban sengaja abai (atau pura-pura tidak tahu) atas segala kesalahan/keburukan pihak kawan (junjungan)-nya, tetapi sebaliknya selalu kritis terhadap kesalahan dan/atau keburukan pihak lawan. Merujuk uraian di atas, bahwa apa yang diistilahkan kampreter dan jebonger di dunia maya, sesungguhnya adalah para korban dari wabah glorifikasi dan demonisasi ini.

Nah, taktik semacam ini, selain efektif pada model politik yang mempraktikkan pilihan secara langsung (one man one vote), juga kerap dipraktikan oleh suatu rezim demi melestarikan kekuasaan melalui taktik devide et impera.

Tulisan kecil ini tidak akan mem-breakdown sejauhmana trik pecah belah ciptaan Snouck Hurgronye merasuk di berbagai elemen bangsa, namun sebatas mencari sumber, atau titik mulanya, akar masalahnya, dan lain-lain ditinjau dari perspektif geopolitik.

Saya tidak akan menerangkan panjang lebar perihal geopolitik, hanya pointers saja. Sebagaimana diketahui, ada empat dimensi dalam praktik geopolitik yakni dimensi ruang —ini inti geopolitik— kemudian dimensi frontier, dimensi keamanan negara dan bangsa, serta dimensi politik kekuatan atau power concept.

Singkat kata, dimensi itu sendiri merupakan pintu masuk atau sasaran antara guna meraih apa yang disebut “ruang” (living spave) alias lebensraum. “Tanah harapan.” Itulah kenapa, ruang dianggap sebagai inti geopolitik, kata Frederich Ratzel, baik ruang dalam arti fisik (teritorial) maupun ruang nonfisik, sphere of influnce. Dan entah yang ingin diraih itu ruang fisik ataupun ruang pengaruh di negeri ini, jalan yang hendak dijadikan pintu —di republik ini—adalah dimensi keamanan negara dan bangsa.

Ya dimunculkan drama kekacauan dan/atau destabilitas guna melemahkan elemen-elemen kekuatan yang berpotensi bakal melawan. Dan apabila jeli mencermati kegaduhan-kegaduhan semenjak Pilpres 2014, justru akar masalahnya tertancap pada sistem konstitusi itu sendiri, yakni one man one vote atau pemilihan langsung sebagai model pemilu. Itulah titik mula keterbelahan sosial dan politik di negeri ini sehingga bangsa ini sekarang berkubu-kubu. Pro ini pro itu.

Pertanyaannya sederhana, “Seandainya pemilu berazaskan musyawarah mufakat dan bukan pilihan langsung, apakah ada komunitas kampret dan cebong; mungkinkah korupsi akan menurun jika pemilu melalui perwakilan di parlemen?”

Jadi?

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com