Anarkisme Global Power Ekonomi

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Artikel “Medan Geopolitik Baru”-nya Pak LBP di Kompas (22/01/17) menarik untuk dikaji. Kenapa? Selain tulisan tersebut memotret munculnya para pemain baru di panggung politik global khususnya Cina, kemudian ada pula tata ulang kekuasaan di tingkat global, terutama di Kawasan Timur Tengah melalui kecenderungan Qatar dan Turki tak lagi sejalan dengan Barat, juga secara tersirat, artikel di atas mengakui adanya power shift dalam penggunaan kekuatan (power concept) pada geopolitik, dimana power ekonomi kini lebih dominan daripada militer.

Terkait hal di muka, ketika menginjak pada Kepentingan Negara atau frase kekiniannya adalah Kepentingan Nasional RI, ada semacam missing link. Kenapa? Dalam bahasannya, LBP cenderung larut dalam skema ekonomi global khususnya geliat ekonomi Cina melalu One Belt One Road (OBOR) yang sejatinya —dari perspektif asymmetric warfare— merupakan pola kolonialisme gaya baru yang berjalan senyap. Silent invansion. Tanpa letusan peluru. Jika derap kolonialisme tempo doeloe, Cina contohnya, ia menyerahkan sebelas pelabuhannya ke Inggris lewat traktat setelah kalah dalam dua kali peperangan (Perang Candu l dan Perang Candu ll), tampaknya melalui skema OBOR, banyak negara Afrika dan Asia termasuk Indonesia menyerahkan pelabuhan laut dan bandara udaranya ke Cina tanpa ada letusan peluru sama sekali.

Merujuk kiprah kolonialisme masa lalu, British Geopolitic mengajarkan bahwa jika hendak mencaplok sebuah negara koloni, kuasai dulu simpul-simpul strategis (pelabuhan) bangsa tersebut sebagai pintu (masuk) utama, baru kemudian mencaplok sektor-sektor yang ditarget. Lazimnya ‘target’ dimaksud sekitaran food and energy security. Maka, bila bicara geopolitik sebagaimana artikel di atas tanpa menyertai sisi kolonialisme maka nanti jangan seperti ikan di air, karena ia paling terakhir mengetahui keberadaan air (kolonialisme) itu sendiri. Kenapa? Betapa anarkisme global adalah keniscayaan. Hukum rimba kemasan baru tetap berlangsung secara masiv lagi sistematis. Contoh aktual anarkisme dimaksud adalah Irak dan Libya, kedua negara kini menjadi luluh lantak diserbu koalisi militer Barat tanpa pembelaan signifikan dari masyarakat internasional. Dunia seperti diam membisu meski telah mengetahui bahwa stigma yang dituduhkan ternyata bohong. Itulah anarkisme global secara militer.

Sebagaimana diurai sekilas di atas, power shift telah terjadi dari militer ke ekonomi. Pertanyaan selidik pun muncul, “Bagaimana anarkisme global secara nirmiliter?” Apa boleh buat, datanya agak samar-samar. Tapi, cerita lenyapnya sebagian kedaulatan di Turkistan Timur, Angola, Zimbabwe, Pakistan, Djibouti, dan lain-lain adalah contoh anarkisme (ekonomi) modal besar sedang memangsa pasar. Tanpa letusan peluru.

Tak boleh didustai, ketika power concept bergeser dari militer ke ekonomi, justru sejatinya Indonesia memiliki peluang besar menjadi pemain handal di kawasan Asia Pasifik bahkan dunia. Kenapa? Indonesia punya segalanya. Ya. Power ekonomi meniscayakan akses terhadap pasar. Nah, 262 juta penduduk negeri ini adalah pasar nan besar; ekonomi pasti mencari jalur distribusi guna melayani supplay and demand. Nah, geoposisi silang Indonesia di antara dua benua dan dua samudera merupakan lintasan SLOCs, jalur perdagangan dunia yang tak pernah sepi; aspek ekonomi membutuhkan raw material, sedang negeri ini adalah sumbernya bahan-bahan mentah bagi industri apapun; dan geliat ekonomi butuh tempat putar kapital atas akumulasi modal, dan Indonesia adalah surga investasi di segala bidang. Jadi, semua sarana dan prasarana power ekonomi ada di Indonesia.

Menyikapi pergeseran power concept dalam perilaku geopolitik global, seyogianya kita memiliki skema tersendiri terkait pembangunan ekonomi yang selaras dengan Kepentingan Nasional RI, bukannya mengikuti skema asing (OBOR misalnya) yang niscaya punya hidden agenda. Dari perspektif geopolitik, pelabuhan laut dan bandara udara adalah aset strategis dari negara. Ketika pengelolaannya diserahkan kepada asing atas nama investasi, kerjasama ekonomi, dan lain-lain itu identik menyerahkan secara sukarela kedaulatan negara kepada pihak luar. Apabila kita larut dalam skema asing, jawabannya cuma dua, kalau tidak menjadi daerah penyangga (buffer zone), Indonesia akan dan/atau sudah menjadi medan tempur (war teather). Artinya apa, bahwa posisi kita menjadi dan berada dalam (geo) strategi pertahanan negara asing!

Terima kasih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com