Antara Isu Uighur, Dedolarisasi dan Butterfly Effect

Bagikan artikel ini

Pokok-Pokok Kontemplasi Geopolitik di Akhir 2019

Memasuki 2020 ini, ada dua isu global yang aktual dan urgen. Pertama, soal etnis Uigur; dan kedua, isu dedolarisasi. Ini catatan penting geopolitik di penghujung 2019 sebab terkait pertikaian para adidaya.

Jadi, apapun modus dan pola diplomasi Cina, isu Uighur tak boleh dianggap kecil. Kenapa? Sebab proses bola salju (snawbal process) solidaritas muslim tengah bergulir perlahan tetapi pasti di kelompok negara berpenduduk muslim. Dan kecenderungannya kian membesar meskipun sifatnya tidak pararel secara hitam-putìh, karena mayoritas negeri di Timur Tengah —kelompok negara muslim— justru mendukung kebijakan Cina atas etnis Uighur.

Voting di Dewan HAM–PBB pun muncul dua kelompok. Pertama, terdapat 22 negara meminta agar Cina mengakhiri sikap tak manusiawi terhadap muslim Uighur. Kedua, ada 37 negara justru mendukung Cina dalam melawan separatis dan kelompok teroris.

Sedang di Barat sendiri juga muncul gelombang solidaritas Uighur tetapi atas nama hak asasi manusia (HAM). Termasuk Hongkong pun kini mulai gaduh soal isu Uighur. Itu fakta tidak terelakkan. Dengan demikian —saat ini— secara geopolitik, Cina tengah dikepung dari dua arah sebagaimana sekilas situasi di atas. Artinya apa? Tanpa penanganan cerdas lagi komprehensif, isu dimaksud bisa menjadi butterfly effect bagi grand strategy Cina yang jauh lebih besar. “OBOR”-nya Xi Jinping, misalnya, dapat terkendala bahkan kacau-balau apabila isu Uighur tak dikelola secara komprehensif integral. Ya, kepak sayap kupu-kupu di belantara Brazil dapat menimbulkan tornado di Texas, kata Edward Norton Lorenz. Itu inti teori butterfly effect, “Kesalahan sangat kecil akan menyebabkan bencana di kemudian hari.”

Selanjutnya, isu lain yang menarik ialah dedolarisasi. Isu ini juga tak main-main. Seperti halnya Uighur, isu dedolarisasi berpotensi menjadi butterfly effect bagi Paman Sam. Mengapa? Karena power concept Amerika Serikat (AS) di lentera geopolitik selama ini, selain mengkedepankan power militer, politik dan power ekonomi secara simultan, juga karena faktor dolar selaku mata uang utama (currency world), terutama semenjak Paman Sam —secara sepihak— keluar dari Bretton World Agreement tahun 1971-an dimana The Fed dapat mencetak dolar tanpa perlu lagi berjamin emas (baca: Tinggalkan Dolar, Kembali ke Emas di www.theglobal-review.com). Apakah ini berarti, bahwa pasca 1971 banyak beredar dolar bodong atau dolar berseri ganda? Belum ada penelitian soal itu. Dan konsekuensi atas keluarnya AS dari Bretton Woods Agreement, lahirlah rezim petrodollar di Saudi Arabia, misalnya, cuma berbasis transaksi minyak dalam jumlah tertentu, The Fed boleh mencetak dolar semaunya. Hay, siapa berani mengontrol The Fed?

Ketika sekarang muncul gerakan ‘buang dolar dan kembali ke emas’ yang digagas Mahathir Mohamad, PM Malaysia dalam KTT Kuala Lumpur (23/12/2019), sepertinya fenomena di atas —kembali ke emas dan buang dolar— merupakan isu yang berpotensi melemahkan hegemoni AS selaku superpower.

Ada dua pertanyaan selidik, “Apakah AS akan berpangku tangan dengan bergulirnya isu dedolarisasi; dan juga, apakah Cina bakal berdiam diri atas maraknya isu Uighur?” Tentu tidak. Para think tank Paman Sam, entah itu CIA, atau NSA, Rand Co dan lain-lain niscaya membuat manuver dalam rangka melindungi US dollar. Kenapa? Jika kelak muncul “tsunami dolar,” yakni dolar berbondong – bondong kembali ke negeri asalnya dan menjadi tumpukan kertas tidak berharga, maka inilah titik awal hancurnya AS (baca: Runtuhnya Dinasti Amerika di web www.theglobal-review.com).

Ilustrasi dalam hal perlidungan AS kepada dolar pernah terjadi pada awal Abad ke-21, yakni ketika Saddam Husein hendak mengganti semua transaksi minyak dan cadangan devisanya ke euro (sebelumnya dolar), seketika Irak diserbu secara terbuka oleh koalisi militer pimpinan Paman Sam berpintu isu (hoax): “Saddam menyimpan senjata pemusnah massal”. Pun demikian tatkala Gaddafi akan menggunakan Dirham sebagai mata uang dan semua transaksi minyak di Libya, ia pun diserbu NATO hingga luluh lantak berpintu isu pelanggaran HAM via Resolusi PBB Nomor 1973/No Fly Zone. Kedua negara tersebut, kini seperti negara tidak bertuan akibat “keberanian” Saddam dan Gaddafi melawan hegemoni superpower.

Pertanyaannya adalah, “Apakah AS akan bersikap sama terhadap kelompok negara yang menggagas gerakan kembali ke emas dan buang dolar, sebagaimana ia bertindak kepada Irak dan Libya dahulu?” Lantas, bagaimana manuver Cina menyikapi isu Uighur yang kian menebal di panggung global?

Tak boleh dipungkiri, rivalitas antara Cina versus AS yang kian meruncing di satu sisi, niscaya akan memanfaatkan masing-masing isu (Uighur dan dedolarisasi) untuk kepentingan nasionalnya. Contoh, tuduhan Wall Street Journal bahwa ada ormas Islam yang “dibayar” guna menutupi isu Uighur merupakan bagian modus serangan asimetris Paman Sam kepada Cina, termasuk maraknya unjuk rasa di Hongkong menyoal Uighur, dan seterusnya.

Di sisi lain, keberanian Mahathir menggulirkan gerakan ‘buang dolar dan kembali ke emas’ pada KTT Kuala Lumpur, disinyalir ada dukungan diam-diam dari Cina. Ini analisa geopolitik berbasis bukti pola (pattern evidence). Dan inilah peperangan senyap antara Cina melawan AS yang berlangsung masif di panggung global. Entah siapa kelak pemenang silent warfare tersebut. Atau pola peperangan berubah menjadi terbuka secara militer. Belum ada hipotesa secara pasti. Tiba-tiba saya teringat statement Bung Karno beberapa tahun lalu, “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut“.

Jadi? Selamat tahun baru 2020…

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

baca kembali artikel:
Runtuhnya Dinasti Amerika (1)
Runtuhnya Dinasti Amerika (2)
Runtuhnya Dinasti Amerika (3)
Runtuhnya Dinasti Amerika (4)
Runtuhnya Dinasti Amerika (5-Habis)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com