Apakah Covid-19 Merupakan Isu Pembuka Perang Dunia III?

Bagikan artikel ini

Telaah Singkat Geopolitik

Awal abad ke-21 muncul 2 (dua) isu global yang menarik perhatian publik, antara lain meliputi:

Pertama, geopolitical shift (pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik;

Kedua, perubahan power concept dalam perilaku geopolitik.

Terkait judul di atas, diskusi ini akan membahas isu kedua —perubahan power concept— beserta kontribusi dan implikasi. Sedang isu pertama (geopolitical shift) hanya sekilas dibahas guna menyambungkan diskusi.

Geopolitik mengajarkan, bahwa power concept terdiri atas tiga hal antara lain: “Power militer, power politik dan power ekonomi.”

Adapun inti perubahan power concept di atas, maksudnya bahwa terdapat perubahan dinamika dan perilaku geopolitik para adidaya. Artinya, bila abad ke-20 berbagai negara terutama adidaya lebih mengkedepankan kekuatan militer (diikuti power politik dan ekonomi) guna meraih hegemoni dan ladang koloni, namun di abad ke-21 berubah menjadi power ekonomi di depan, sedang power politik dan militer mengikuti di belakang. Walau dalam praktik, tidak berjalan secara hitam putih seperti itu, misalnya, ketika trade war (perang dagang) menjadi keniscayaan dalam pertikaian hegemoni serta konstelasi geopolitik para adidaya, toh Korea Utara (Korut) tetap memprioritaskan power militer daripada power lainnya. Jepang pun demikian, padahal power ekonomi sebelumnya dominan, ketika heboh isu nuklir oleh Korut seketika ia pun merevisi kembali infrastrukur (pasukan bela diri) militernya termasuk UU Pertahanan.

Bagaimana dengan Amerika (AS)? Sejak dahulu ia konsisten menjalankan ketiga power tersebut secara simultan dengan intensitas berbeda. Tergantung dari market/target. Artinya, kadang politik yang di depan, terkadang militer, kadang pula ekonomi, dan seterusnya.

Bahwa perubahan power concept sebagai isu aktual di abad ke-21 telah menjadi clue bagi banyak negara bahwa penggunaan militer adalah jalan/cara terakhir. Pertanyaan menggelitik muncul, “Apakah trend ini tak bertentangan dengan dogma si vis pacem parabellum?” Tak juga. Buktinya mana? Ya. Meski bukan prioritas, ternyata Korea, Jepang, Cina, Iran, Rusia, dan lain-lain terus memodernisasi power militernya hingga kini termasuk Indonesia. Siapa ingin damai bersiaplah untuk perang!

Ketika berkembang asumsi di era trade war, bahwa berakhirnya perang dagang adalah awal dimulainya perang militer, ternyata asumsi tersebut tidak terbukti. Agaknya clue di atas tetap menjadi rujukan perilaku geopolitik para adidaya. Dengan kata lain, modus nirmiliter atau asimetris menjadi pilihan (geo) strategi yang akan dimainkan di panggung geopolitik berbasis hikmah pengalaman di masa lalu.

Misalnya, bila dalam krisis ekonomi 1997 di Asia akibat penarikan US Dollar secara masif dan sistematis oleh invisible hands jelang jatuh tempo utang swasta dan pemerintah. Ya, modus ini menyebabkan banyak perusahan besar kolaps, utang pemerintah kian menggunung, devisa tergerus dan lain-lain; tetapi di sisi lain, sektor riil dan UKM hampir kurang terdampak. Selain tetap menggeliat bahkan sektor tertentu justru “berpesta” atas pelemahan rupiah terhadap dolar. Hal inilah yang membuat George Soros sowan ke istana menemui RI-1 (SBY) menanyakan resep atas “daya tahan” ekonomi Indonesia dalam krisis 1997 lalu.

Agaknya hari ini, di tengah Coronavirus mewabah, cukup melalui lockdown beserta turunannya, implikasinya bukan cuma perusahan besar yang rontok, tetapi pasar saham pun berguguran termasuk sektor riil di level bawah yang pada krisis 1997 dulu berjaya.

Isu Covid-19 di abad ke-21 ini mirip bom atom yang dijatuhkan tepat di Nagasaki dan Hiroshima. Hampir semua sektor tertatih bahkan lumpuh.

Jadi, Covid-19 bukanlah sekedar cerita tentang wabah, tetapi seperti isu yang menggiring pada sebuah agenda pemusnahan massal —depopulasi— secara berkala dan biadab, namun melalui tata cara beradab.

Secara open agenda, Coronavirus disikapi sebagai isu kesehatan dan/atau perjuangan kemanusiaan, tetapi secara hidden agenda, inilah Perang Dunia III bermodus asimetris (nirmiliter), tanpa letusan peluru namun berdaya rusak tinggi terhadap kehidupan individu, kelompok maupun negara. Hal ini terlihat dari skala implikasi yang melebar ke 200-an negara, dan tak sedikit korban jiwa, kelumpuhan ekonomi, pengangguran, kelaparan ataupun efek psikis berupa kepanikan publik global.

Secara tak sengaja, Covid-19 telah menciptakan industri baru dengan fabrikasi ketakutan, kepanikan, serta ketidakpercayaan global. Inilah yang kini berlangsung.

Terima kasih

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com