Arah Krisis Ukraina dan Pelajaran Berharga Bagi Indonesia

Bagikan artikel ini

Kiranya tidak berlebihan jika Presiden SBY merasa perlu menyerukan agar segera dicapai kesepakatna damai di Ukraina. Sebab gejolak di Ukraina terbukti berakibat buruk bagi masyarakat internasionall. Salah satunya adalah insiden pesawat Malaysia Airlines MH 17 yang ditembak di wilayah timur Ukraina.

Siapa menyangka bahwa krisis politik di Ukraina pasca penggulingan kekuasaan Presiden Viktor Yanukovich 22 Februari 2014 lalu, pada perkembangannya telah membawa dampak yang cukup tragis bagi warga negara Malaysia. Pesawat komersial milik Malaysia MH-17 Malaysia Airlines, ditembak jatuh di sekitar Donetsk Ukraina yang dikuasai milisi Pro-Rusia. Alhasil, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa, seakan mendapat amunisi untuk menyerang keterlibatan Rusia di balik penembakan tersebut.

Tentu saja Rusia menolak dengan tegas tuduhan pihak Amerika. Sehingga Presiden Rusia Vladimir Putin setelah bertemu Perdana Menteri Jerman Angela Merkel, mendesak Ukraina agar izinkan keterlibatan tim Penyelidik Ahli untuk investigasi menyeluruh dan obyektif terhadap jatuhnya pesawat MH-17 Malaysia Airlines.

Perkembangan ini tentu saja cukup menarik mengingat Putin dan Merkel sudah bersepakat perlunya menghentikan permusuhan di Timur Ukraina dan memulai pembicaraan damai.

Memang kalau kita cermati, akar krisis sesungguhnya di Ukraina bukan antara Rusia versus Ukraina yang merupakan negara pecahan Uni Soviet, melainkan berhadapannya antara kepeentingan strategis Amerika Serikat-Uni Eropa versus Rusia di mana Ukraina merupakan sasaran Proxy War antara kedua kutub kepentingan tersebut.

Karena itu bisa dimengerti jika Rusia mengecam keras Washington setelah Presiden Obama mengatakan bahwa sebuah rudal yang ditembakkan dari wilayah pemberontak pro-Moskow menyebabkan jatuhnya pesawat Malaysia Airlines yang tengah melintasi Ukraina itu. Padahal kenyataan sesungguhnya belum tentu demikian. Tetapi berhubungan Amerika memang lagi mencari-cari alasan untuk melancarkan kampanye hitam terhadap sepak-terjang Rusia di Ukraina, maka kejadian ditembak jatuhnya pesawat Malaysia MH-17 dengan serta merta dijadikan amunisi oleh Washington untuk menyerang sepak terjang Rusia di Ukraina.

Apalagi di wilayah tersebut, memang menjadi basis pasukan bersenjata yang warga masyarakatnya ingin bergabung kembali dengan Rusia.

Menurut beberapa ahli yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, perang geopolitik AS-Uni Eropa versus Rusia di Ukraina, memang menunjukkan skala yang semakin gawat dan memanas akhir-akhir ini. Jika krisis Ukraina ini tidak bisa diselesaikan melalui jalur diplomasi, maka resiko geopolitik secara global akan semakin besar. Terutama bagi AS dan Uni Eropa.

Karena menurut kami di Global Future Institute, krisis di Ukraina saat ini merupakan krisis geopolitik paling penting pasca Perang DIngin.

Skema kapitalisme global AS dan Uni Eropa di Ukraina memang bisa kita telisik kembali secara kronologis sejak November 2013 lalu. Pada 21 November 2013, pemerintah Ukraina menunda pembicaraan tentang Asosiasi dengan Uni Eropa, untuk membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Rusia. Langkah ini, memicu kemarahan kelompok oposisi yang pro Eropa, yang kemudian berencana melakukan aksi demonstrasi.

Pada 1 Desember 2013, massa berjumlah 500 ribu berkumpul di lapangan Merdeka, Kiev. Mereka membangun perkemahan dan barikade, memulai demonstrasi anti pemerintah. 11 Desember 2013, pasukan keamanan berusaha mengusir demonstra, tetapi gagal. 17 Desember 2013, Presiden Yanukovich berangkat ke Moskwa, Rusia, untuk menandatangani kesepakatan dana talangan sebesar 15 miliar dolar Amerika Serikat (Rp 177, 18 triliun), dan mendapat potongan harga untuk membeli gas Rusia.

19 Januari, puluhan orang luka dalam bentrokan berdarah antara polisi dan demonstran di Kiev, setelah sekitar 200 ribu demonstran melawan larangan untuk demonstrasi. Skenario bentrok antara demonstran dan aparat keamanan biasanya memang selalu menjadi design yang dimainkan oleh Amerika dan pihak barat untuk memunculkan isu hak-hak asasi manusia sebagai tema gerakan melawan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam kasus Ukraina, skenario HAM dengan dipicu oleh bentrok antara demonstran versus aparat, isu HAM memang digunakan sebagai perangkat gerakan massa yang dimotori oleh kelompok oposisi terhadap pemerintahan Yanukovich.

28 Januari 2013, tanda-tanda runtuhnya legitimasi terhadap pemerintahan Yanukovich sudah mulai terlihat, menyusul pengunduran diri Perdana Menteri Mykola Azarov. Setelah oposisi di parlemen mendapat angin dengan mundurnya Azarov, maka parlemen kemudian membatalkan undang-undang antidemokrasi.

Kondisi politik Ukraina semakin krusial ketika kelompok oposisi mulai melibatkan dunia internasional dalam urusan dalam negeri Ukraina. Para pemimpin oposisi meminta mediasi internasional dan bantuan keuangan dari Barat di hadapan lebih dari 60 ribu demonstran di Kiev.

Pada 7 Februari 2014, Presiden Yanukovich bertemu dengan sekutunya Presiden Vladimir Putin, di sela-sela acara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Sochi, Rusia. 9 Februari 2014, massa demonstran anti Yanukovich berkumpul di lapangan Merdeka. 18-19 Februari 2014, Presiden Yanukovich mencopot Kepala Staf Angkatan Bersenjata Ukraina dan mengumumkan digelarnya Operasi Anti Teroris di negaranya sendiri. Negara-negara barat mengecam aksi kekerasan di Ukraina dan mengancam akan menjatuhkan sanksi.

20 Februari 2014, para demonstran semakin berani dengan menyerang polisi di Kiev, mengabaikan kesepakatan gencatan senjata yang dicetuskan Yanukovich. Sekitar 25 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Dan pada 27 Februari 2014, kekuasaan Yanukovich berakhir sudah, ketia dia lari ke Rusia.

Krisis Ukraina Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Perebutan pengaruh antara AS-Uni Eropa versus Rusia di Ukraina, memang sebuah pelajaran amat bernilai bagi Indonesia. Betapa untuk merebut pengaruh para elit politik Ukraina, AS dan Uni Eropa tak segan-segan untuk mengatur hasil pemilihan umum sehingga para elit politik yang menang sesuai dengan arah kebijakan strategis dan skema para kapitalis global AS dan Uni Eropa, terutama Inggris dan Jerman.

Upaya AS dan Uni Eropa untuk menggulingkan Yanukovich yang pro Rusia memang sudah terjadi pada akhir 2004 dan awal 2005. Ketika itu, massa demonstran juga dimobilisasi oleh kelompok-kelompok oposisi untuk memprotes hasil pemilu yang memenangkan Yanukovich. Rupanya As dan Uni Eropa, merasa khawatir dan gusar.

Inilah yang kemudian terkenal dengan istilah Revolusi Oranye. Secara geopolitik Ukraina memang cukup strategis bagi Rusia maupun Uni Eropa, karena merupakan daerah buffer (buffer zone).  Selain itu banyak negara uni eropa sangat bergantung dari pasokan gas Rusia yang pipanya melewati Ukraina diteruskan ke Eropa.

Maka, perebutan pengaruh antara Rusia dan Uni Eropa di Ukraina, dijabarkan melalui pertarungan antar elit politik dalam merebut pengaruh di parlemen maupun di pemerintahan. Pada tahun 2004 Presiden Kuchma bisa dikatakan sekutu Russia, mengadakan pemilu presiden Ukraina yang selanjutnya

Dari puluhan kandidat, Yuschenko yang paling populer pada saat itu. Namun Yuschenko dipandang Kuchma dan Russia mewakili kepentingan Uni Eropa. Namun demikian, Yuschenko dari partai oposisi. Ikut pemilu melawan Viktor Yanukovich. Tetapi hasilnya tidak memuaskan pihak AS dan Uni Eropa. Komisi Pemilu pusat Ukraina. memenangkan Yanukovich. Pada pemilu putara kedua, Yanukovich unggul 49,58% dan Yuschenko 46,57%.

Pihak Yuschenko menuding KPU Ukraina berbuat curang, intimidasi dan melakukan politik uang untuk memenangkan Yanukovich. Akhirnya massa turun ke jalan2 utama di kiev. Ukraina lumpuh perekonomiannya Tentara ukraina turun untuk stabilkan keamanan. Namun internasional menuding Russia berada di balik Presiden Kuchma dan Yanukovich.

Dengan serangkaian kekerasan yang terjadi di Ukraina, pihak internasional turun tangan utk menengahi. Yuschenko minta pemilu ulang melalui MA.  Pemilu ulang pada 26 Desember 2004 dimenangkan Yuschenko 51,99%. Masa pendukung revolusi oranye menang.

Dengan demikian, semakin menguatnya pengaruh barat dimulai ketika pemerintahan Yuschenko berkuasa pada Desember 2004. Dan kejatuhan Yanukovich pada 27 Februari 2014, lagi-lagi membuktikan betapa kuatnya tekanan AS dan Uni Eropa untuk menjegal elit-elit politik partai yang berhaluan Rusia.

Jangan sampai krisis ala Ukraina ini terjadi di Indonesia, ketika para elit politik partai-partai yang berkuasa di parlemen maupun pemerintahan, dengan mudahnya menjadi bidak-bidak yang dimainkan oleh negara-negara adidaya yang bermaksud merebut pengaruh di Indonesia.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com