ASEAN Way, Struktur atau Kesadaran? (08 Agustus 1967 – 08 Agustus 2016)

Bagikan artikel ini
Desmond Satria Andrian, Museum KAA Bandung
Salah satu tantangan besar yang dihadapi ASEAN di bidang kerjasama isu keamanan non-tradisional saat ini adalah berkaitan dengan prinsip “ASEAN Way”. Sendi-sendi normatif yang terkandung dalam “ASEAN Way” ini antara lain adalah prinsip untuk melakukan kerjasama secara damai, harmoni, saling menghormati kedaulatan wilayah masing-masing, tidak mencampuri urusan domestik negara anggota, egaliter, menerapkan kaidah konsensus dalam menghasilkan berbagai keputusan, tenggang rasa dan non-konfrontatif, saling membantu diplomasi secara diam-diam tidak melalui media, menjunjung tinggi solidaritas, non-legalistik dan pragmatis.
Meskipun tidak tertuang secara implisit dalam dokumen resmi ASEAN, namun prinsip-prinsip tersebut telah menjadi landasan politik penting bagi negara-negara anggota ASEAN dalam menjalin hubungan satu sama lain. Selama lebih dari tiga puluh tahun, prinsip tersebut telah mampu menimbulkan kohesivitas dan solidaritas ASEAN.
Atas dasar prinsip tersebut, ASEAN telah memberikan sumbangan berharga atas kemampuannya meredam konflik di antara negara anggota dan menciptakan stabilitas politik-keamanan di kawasan Asia Tenggara. Ini sudah tentu merupakan prestasi yang sungguh luar biasa dicatat oleh ASEAN.
Namun demikian, hasrat untuk menyaksikan ASEAN yang lebih dinamis dalam penanganan isu keamanan non-tradisional harus diawali dengan paradigma baru ASEAN Way. Paradigma lama ASEAN Way dianggap sebagai penghambat aktualisasi perilaku sebagian besar negara anggota ASEAN untuk meningkatkan kerjasama penanganan isu keamanan non-tradisional yang bersifat global.
Di era globalisasi ini di mana dunia seolah tanpa batas, terdapat saling ketergantungan yang sangat kuat antar negara, dan tak terpisahkannya masalah domestik suatu negara dengan lingkungan luarnya, menyebabkan prinsip non-intervensi tersebut nampaknya tidak relevan lagi. Beberapa isu, karena sifatnya yang berubah dan karena proses globalisasi yang terjadi tidak bisa lagi dilihat sebagai masalah domestik isu tersebut, misalnya narkoba, perdagangan manusia, kebakaran hutan, kerusakan lingkungan hidup, buruh, demokratisasi, hak asasi manusia dan penyakit.
Isu-isu kompleks dan cenderung sensitif ini sukar untuk tidak dibicarakan tanpa harus bertentangan dengan prinsip non-intervensi terhadap masalah domestik suatu negara. Padahal sejauh intervensi itu tidak menyebabkan disintegrasi nasional pada negara tersebut dan intervensi serta keterlibatan negara luar ikut ambil bagian dalam masalah domestik negara lain, berbagai isu keamanan non-tradisional di Asia Tenggara dapat menggunakan konsep Neoliberal Institusionalisme.
Sejak ulang tahun ke-30 ASEAN, Juli 1997, ASEAN Way, dan khususnya norma non-intervensi secara ironis menjadi suatu alasan utama dari runtuhnya reputasi ASEAN. Keterbatasan yang inheren dimiliki oleh norma non-intervensi menjadi faktor dalam menerangkan sebab menurunnya efektifitas organisasi.
Kelemahan lain dalam non-intervensi adalah berkaitan dengan tekanan pihak luar. Pengertian non-intervensi menerima tantangan dari perluasan nilai-nilai hak-hak azasi manusia, demokrasi dan ide-ide lingkungan yang secara kuat dikampanyekan oleh pihak Barat.
Di ASEAN, non-intervensi diinterpretasikan sebagai suatu komitmen yang kuat terhadap kedaulatan negara. Ide normatif dari kedaulatan menjadi standar acuan bagi hampir semua keputusan politik di kawasan dan merupakan landasan bagi semua upaya ASEAN dalam menciptakan aturan regional. Di sisi lain, masalah yang dianggap sebagai suatu masalah internal, domestik, telah berubah menjadi masalah internasional dan setiap orang, misalnya masalah hak azasi manusia.
Pihak Barat cenderung melihat hak azasi manusia memiliki karakter internasional, sementara ASEAN beranggapan implementasi dari masalah hak-hak azasi manusia adalah merupakan hak negara, tidak dapat diintervensi oleh pihak luar. Cakupan dari prinsip non-intervensi telah diinterpretasikan secara sempit padahal batas masalah-masalah dalam negeri adalah menjadi kabur. Garis batas antara masalah dalam negeri dan isu-isu eksternal atau tradisional menjadi berkurang.
Masalah asap dari kebakaran hutan di Indonesia adalah contoh yang paling jelas bahwa masalah internal dapat menimbulkan dampak yang sangat mengganggu bagi negara lain. Dampak ini juga memakan ongkos baik materi, kesehatan dan hubungan sosial dan politik antara Indonesia dan negara ASEAN lain. Tanpa suatu pengecualian atau pendekatan tertentu terhadap ruang lingkup, batas, tipe masalah, maka norma non-intervensi yang digunakan oleh ASEAN tidak akan mampu untuk menangani dan menyelesaikan konflik dengan memuaskan.
Modifikasi dari norma non-intervensi juga tidak berkembang baik karena adanya penolakan dari negara-negara yang konservatif dan otoritarian dalam ASEAN. Terkait usulan modifikasi ASEAN Way, saat ini di tubuh ASEAN terdapat dua kutub. Kutub pertama adalah negara-negara anggota ASEAN yang menginginkan paradigma baru ASEAN Way. Mereka adalah para pendiri ASEAN, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sedangkan kutub kedua adalah lima negara anggota ASEAN lainnya yang bersikap keberatan dan masih mempertahankan paradigma lama ASEAN Way, yakni Kamboja, Laos, Burma, Brunei, dan Vietnam.
Dirgahayu ASEAN!
* Referensi: Dari berbagai sumber
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com