Bagaimana Memilih dan Menyerang Titik Paling Kritis di Sebuah Sistem

Bagikan artikel ini

Analogi Isu Wuhan dalam Perspektif Konflik Geopolitik

Terdapat asumsi umum di dunia marketing: “Ketika market (pasar) tak mampu dikuasai, bermainlah di level persepsi.” Itu poin intinya. Lantas langkah berikutnya, kendalikan alam bawah sadar khalayak dengan mengaduk-aduk pikiran serta membentuk opini publik melalui isu, propaganda, pencitraan, dan lain-lain. Tatkala alam bawah sadar publik pun tidak pula dapat dikontrol karena kuatnya hegemoni si kompetitor, maka jurus terakhir adalah menyerang pada titik paling kritis —di jantung lawan— secara tiba-tiba. Dan jika jurus pamungkas itu pun gagal pula, sesungguhnya Anda telah kalah total dalam persaingan!

Pertanyaannya adalah, “Bagaimana memilah dan memilih sebuah titik yang dianggap paling kritis sehingga dengan sekali pukul mampu melumpuhkan pihak lawan?.”

Ini yang perlu dikaji secara cermat dan cerdas. Kenapa? Karena agenda trade war (perang dagang) antara Cina versus Amerika (AS) kemarin, selain tak membekas bagi kedua belah pihak, juga Paman Sam masih digdaya, Cina pun kian perkasa. Jadi, bagi kedua adidaya, perang dagang dinilai sebagai agenda yang kurang akurat dalam konflik geopolitik, sebab tidak menyentuh titik paling kritis.

Selanjutnya bila membahas titik kritis secara umum — di sebuah pertempuran, contohnya, titik kritis itu lazimnya ada di komunikasi. Ya. Serang saja jejaring komunikasi, putuskan jalinan antara pusat (komando) dan entitas lapangan, maka bakal kacau “sistem” di pihak lawan.

Dulu Trump pernah mencoba mengganggu Cina melalui tangan Kanada dengan menangkap petinggi (CFO) Huawei, jaring komunikasi milik Cina di Jalur Sutra — tetapi toh tak berakibat fatal pada sistem OBOR-nya Xi Jinping. Bukankah Huawei itu sistem komunikasi andalan Cina punya?

Dalam konteks (konflik) geopolitik, tafsir dalam memilih titik kritis ini bersifat relatif. Tak bisa disama – ratakan. Kenapa demikian, sebab “titik” itu bergerak sesuai tuntutan, fluktuatif, mengikuti perkembangan situasi dan seterusnya. Setiap objek atau target, titik kritisnya tak sama. Termasuk tepat atau tidak terhadap pilihan “titik” tadi, sangat bergantung kepiawaian para pakar strategi merumuskan di satu sisi, juga pilihan pada jenis dan modus serangan, di sisi lain. Mau terbuka atau memilih secara senyap (tertutup)?

Dan tampaknya, pada isu penangkapan CFO Huwaei oleh Trump, titik kritis Cina bergerak. Tak boleh digebyah-uyah. Tindakan Trump dinilai kurang jitu.

Selanjutnya ada dua pilihan serangan. Memilih terbuka misalnya, ada konsekuensi logis. Ya. Selain perlu restu internasional semacam Resolusi PBB, butuh pengerahan militer secara masif, dan kerap menuai protes lingkungan baik eksternal maupun internal. Bahkan serangan terbuka sering justru kontra produktif dan tidak menjamin kemenangan sebagaimana dahulu Taliban sulit ditaklukkan (2001-2011) oleh koalisi militer Barat pimpinan AS. Ya, sekitar 10-an tahun Taliban dikeroyok tentara NATO dan ISAF di Afghanistan, bukan Taliban yang kalah namun justru muncul krisis ekonomi (2008) di AS dan kawan-kawan. Gilirannya subprime mortgage –kredit macet perumahan– pun dijadikan kambing hitam guna menutup rasa malu atas krisis yang menerpa Paman Sam dan kawan-kawan akibat perang.

Secara empiris, gemburan terbuka akan ada imbas kemana-mana terutama jebolnya pundi-pundi ekonomi para negara koalisi jika tidak memetik sukses. Lantas, apakah lebih baik memilih silent invasion atau serangan senyap?

Agaknya isu Wuhan/Coronavirus dalam konteks pertikaian geopolitik antara Cina versus AS, kuat disinyalir merupakan silent invasion (serbuan tertutup) AS yang tepat di jantung geopolitik Cina. Ini asumsi sekaligus premis. Mengapa begitu, terendus ada kemiripan pola serangan AS ketika ia mengalahkan Jepang melalui bom atom di Nagasaki dan Hirosima, seketika Jepang pun takhluk. Perbedaannya, bila Jepang diserbu dengan cara terbuka, sedangkan Cina secara senyap tanpa asap mesiu. Titik kritisnya hampir sama, yakni kota yang dinilai sebagai “jantung” dari target sasaran. Dan akibat serangan tadi, Jepang lumpuh, Cina babak-belur. Bedanya lagi, Jepang diserang dari sisi eksternal, sementara Cina melalui sisi dalam atau internal.

Akhirnya dari isu Wuhan di atas dapat diambil learning points sebagai berikut:

Pertama, bahwa menetapkan “titik paling kritis” lawan, mutlak harus dengan kecermatan dan kecerdasan karena ia bergerak relatif sesuai perkembangan lingkungan strategis yang berfluktuatif, termasuk pilihan atas modus terbuka atau serangan senyap;

Kedua, tanpa kajian cermat lagi cerdas, sebuah agenda hanya menjadi dan/atau bersifat empiris karena kurang menyentuh titik paling kritis pada sistem geopolitik.

Demikian adanya, terima kasih.

M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com