Beberapa Catatan  tentang Sejarah Perang, Damai dan Ekspansi Adidaya Dunia

Bagikan artikel ini

Letjen TNI (Purn) Purbo S Suwondo, Danjen Akabri ke-4  periode 1973-1978

Pemahaman makna judul buku “Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru” mengenang kembali pendapat Presiden Theodore Roosevelt pada tahun 1903, bahwa era Mediterrania mati dengan penemuan Amerika.  Era Atlantika dewasa ini ada pada tingkat puncak dari pengembangannya, dan dalam waktu singkat akan habis (exhaust) sumber-sumber yang dikuasainya. Era Pasifik secara potensial akan menjadi yang terbesar dari semuanya dan mulai tampak awal “fajar menyingsing.”

Bila “perang asimetris” dianggap sebagai lanjutan perkembangan salah satu bentuk perang, seperti diutarakan oleh R. Ernest dan Trevor N. Dupuy dalam buku The Harper Encyclopedia of Military History: From 3500 BC to the Present (London 1970), yang diperkenalkan sekitar awal millennium kedua. Apakah yang terjadi dalam abad terakhir di ranah “perang” setelah pendapat Presiden Theodore Roosevelt?

Umat manusia seluruh dunia menyaksikan “just and unjust wars” dalam “interstate wars atau conflict classic” berskala antar benua seperti; Perang Dunia I, II serta “Perang Dingin“ dan banyak “intrastate wars atau conflicts” dengan aneka nama seperti “wars of national liberation, perang kemerdekaan, proxy wars, perang gerilya, insurgency/counter insurgency wars/conflicts, low intensity conflicts (LIC), perang revolusioner, civil war, operation other than war (OOTW).  Akhir-akhir ini “perang asimetris dan perang neocortex” dibahas kembali. Walaupun selama berabad-abad  kaum ahli filsafat dan ilmuwan seperti Lao Tzu , Erasmus, Immanuel Kant dan lain-lain telah menulis serta memaparkan buah pikiran mereka tentang “damai,” akan tetapi benarkah bahwa menurut perkiraan sementara ilmuwan Barat, umat manusia selama tiga ribu tahun terakhir, dunia mengalami hanya 268 tahun masa damai?

Sewaktu “zaman modern” dimulai sekitar tahun 1500, politik global mengarah kedua dimensi  dalam jangka waktu lebih dari 400 tahun negara-negara barat (Inggris, Perancis, Spanyol, Portugal, Belanda Jerman dan Amerika Serikat) merupakan suatu sistem internasional multipolar dalam civilization Barat. Mereka berinteraksi, bersaing dan berperang satu sama lain. Dalam masa yang bersamaan sekaligus, mereka “berekspansi”, menaklukkan atau mengkolonisasi atau dengan kekuatan bersenjata mempengaruhi setiap civilization lain.

Berkat keunggulan teknologi (perkapalan, navigasi  dan persenjataan) imperialisme dan kolonialisme berkembang bersama-sama perdagangan bebas (rempah-rempah dan lain-lain) di Asia Afrika dan Amerika. Maka pengertian-pengertian “the flag follows the trade (VOC Belanda) atau sebaliknya di Samudra Pasifik (Amerika dengan Jepang), Inggris “rules the waves”, the white men’s burden (Rudyard Kipling 1898) atau “mission civilasatrice” disosialisasikan di bangsa-bangsa wilayah tersebut.

Prof Dr. PMH Groen  (Belanda 1995) telah menyajikan suatu kajian komparatif dan komperhensif tentang sejarah perang kolonial Perancis, Inggris, dan Belanda, namun tanpa pandangan aspek sistem demokrasi liberal atau hak-hak azasi manusia bagi bangsa-bangsa pribuminya (penduduk asli).

Demikian pula masyarakat internasional dahulu pernah  mengenal Liga Bangsa-Bangsa  dan sekarang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), namun penggunaan kekerasan senjata tetap terjadi dalam meyelesaikan konflik. Berjuta-juta penduduk sipil menjadi korban jiwa. Belum lagi terjadi pengungsian massal menghindari maut dan kesengsaraan akibat perang atau konflik bersenjata. Bahkan dikalangan PBB sendiri dilaporkan telah dikembangkan konsep “human security dan humanitarian intervention with military means,” yang dengan “gilang gemilang” berhasil sukses untuk merubah provinsi ke 27 RI menjadi Republik Demokratik Timor Leste. Namun di Srebenica dan Somalia menjadi bencana dan “naction” tragis terjadi di genocida Rwanda.

Masalah perang dan damai dalam hubungan antar bangsa pada akhir abad ke 20 menunjukkan kajian kembali dan implikasi lebih berorientasi geopolitik, geostrategi dan geoekonomi untuk melindungi kepentingan nasional para adidaya dunia mencari solusi untuk masalah-masalah “energy and food security”, “war on terrorism” pasca peristiwa 9/11 di AS dan peningkatan kebijakan  “forward presence” berpedoman kepada  pemahaman US Joint Chiefs of Staff “Presence is the totalality of U.S. instruments of power deployed overseas (both permanently and temporarily) along with the requisite infrastructure and sustainment capabilities.”

Setelah PD II berakhir, dunia menyaksikan peranan para panglima komando wilayah (area command) dengan markas-markas besar, antara lain di Hawaii (Cincpac) meliputi  wilayah 43 negara termasuk Indonesia, di Tampa di Florida (Centcom) Cinc Southern command untuk wilayah Amerika Tengah dan Selatan serta di Stuttgart (European command) sebagai bagian dari Departemen Pertahanan AS menjaga kepentingan nasionalnya.

Sejak PD II hingga kini, didalam pengkajian hasil perang dengan nama perang apapun, tidak bisa dilupakan peranan  operasi-operasi intelijen strategik, baik terbuka maupun tertutup. Sejarah operasi-operasi tersebut banyak berhasil baik, walupun tidak sedikit yang pada awalnya berjalan baik akhirnya mengalami kegagalan total. Contohnya, seperti pengalaman Indonesia sewaktu menghadapi pemberontakan  APRA, RMS dan PRRI- PERMESTA.

Dengan merenungkan kembali perilaku umat manusia sepanjang masa, tidak berkelebihan untuk memperhatikan ulang kearifan negarawan dan sejarawan dinasti  Sung Utara Ssu-Ma Kuang (1018-86), bahwa “History can serve the present as a mirror of the past.”

Cita-cita perdamaian abadi yang mulia (Immanuel Kant) yang didambakan oleh seluruh ummat manusia masih belum tercapai.  Sebaliknya masyarakat internasional masih tetap menyaksikan peperangan dengan segala akibatnya didalam berbagai nama atau bentuk.

Gagasan “Si Vis Pacem Para Bellum“ tampaknya sulit diubah dengan “general disarmamen.” Sedangkan konsep “human rights” telah diterima setelah Perang Dunia II dalam operasi-operasi  intervensi humaniter (bersenjata) dengan kombinasi referendum sebagai kombinasi “sistem senjata  teknik dan sosial” dapat merubah kedaulatan suatu negara menguasai wilayahnya.

Diplomasi mutilateral dan kegiatan-kegiatan badan perdamaian internasional atau dengan dewan keamanannya tidak selalu didukung oleh tindakan-tindakan unilateral, maka seluruh umat manusia masih akan tetap mempertanyakan sejarah implementasi “perang dan damai.”  Adakah sesuatu yang baru di bawah sinar matahari?”

Semoga pendapat ini dapat menjadi sumber inspirasi memandu pikiran dan perilaku umat manusia sedunia untuk tetap memperjuangkan gagasan-gagasan mencapai dan memelihara perdamaian antar bangsa serta antar golongan (domestik) menuju dunia yang aman, sejahtera,  adil dan makmur. Amin.

Jakarta, 5 Oktober 2017

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com