Belum Saatnya Ukraina Bergabung Dalam Forum Dialog Asia-Eropa (ASEM)

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Di tengah semakin memanasnya konstelasi global khususnya di kawasan Asia-Pasifik sebagai akibat persaingan dua negara adikuasa Amerika Serikat berikut sekutu-sekutu strategisnya dari Uni Eropa(baca: Eropa Barat) versus Cina dari Asia Timur, maka berbagai forum kerjasama negara-negara baik dari kawasan Eropa maupun Asia menjadi sangat penting dan strategis.

Maka itu, Asia Europe Meeting (ASEM) yang didirikan di Bangkok, Thailand, pada 1996, justru semakin relevan peran dan keberadaannya pada saat situasi global semakin memanas di Asia-Pasifik dewasa ini. Saat ini, keanggotaan ASEM terus berkembang dan meningkat hingga mencakup 53 mitra (partners).  21 negara dari Asia, dan 30 dari Eropa.

 

Konferensi Tingkat Tinggi Pertemuan Asia-Eropa di Ulan Bator, Mongolia. Antara Foto/Reuters/Damir Sagolj.

Lingkup kerjasama dari forum inipun cukup strategis. Seperti tergambar melalui paparan di situs kementerian luar negeri, ASEM merupakan forum dialog dan kerjasama antar-kawasan Asia dan Eropa yang ditujukan untuk menciptakan kemitraan dan kemajuan Asia-Eropa, memperkuat dialog yang setara dan membangun saling pengertian kedua kawasan. Sifat kerja sama ASEM adalah informal, non-binding, multi-dimensional dan evolutionary. Fokus ASEM pada tiga pilar kerja sama yaitu politik; ekonomi; dan sosial-budaya.

 Baca:

Asia-Europe Meeting (ASEM)

Adapun mekanisme ​kerja ASEM bermuara pada pertemuan Kepala Negara/Pemerintahan ASEM dalam format Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dan dilangsungkan dua tahun sekali. Di bawah KTT ASEM, terdapat mekanisme pertemuan Menteri Luar Negeri ASEM (ASEM Foreign Ministers Meeting/FMM) yang dilangsungkan 2 tahun sekali, berselang-seling dengan jadwal KTT ASEM.

Hasil kesepakatan para Pemimpin ASEM dan Menteri Luar Negeri ASEM tersebut ditindaklanjuti pada pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials) ASEM yang biasanya diadakan dua kali dalam setahun.

Materi pembahasan SOM, FMM, dan KTT mencerminkan isu-isu internasional, regional maupun kasus-kasus tertentu yang memiliki muatan politis tinggi serta berdampak besar terhadap kepentingan stabilitas keamanan, perdamaian dan kesejahteraan global.

Sejak KTT ASEM ke-10 di Milan,Italia pada 2014, yang kemudian diperkuat pada KTT ke-11 di Mongolia pada 2016, lingkup kerjasama tersebut semakin nyata. Ketika para mitra ASEM bersepakat untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan ASEM yang konkrit (tangible cooperation) agar dapat memberikan manfaat kepada para pemangku kepentingan yang seluas-luasnya. Pada KTT ASEM ke-11 di Mongolia, Indonesia menjadi pelopor kerja sama bidang kepemudaan ASEM.

Prakarsa Indonesia ini mendapat dukungan dari mitra ASEM, salah satunya India. Sejalan dengan kepemimpinan Indonesia dalam kerja sama kepemudaan, Indonesia telah menjadi tuan rumah kompetisi kewirausahaan bagi para pemuda Asia Eropa, ASEM  First Youth Entrepreneurial Meeting: Passion-preneurs’ Challenge Towards 20 Years of ASEM pada Oktober 2016.

Peran aktif Indonesia pun semakin terlihat pada KTT ASEM di di Naypyidaw, Myanmar pada  20 November 2017 lalu.  Ketika itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Dalam paparannya Menlu Retno memandang kontribusi dari 53 negara anggota KTT ASEM sangat penting untuk perdamaian dan stabilitas di kedua kawasan. Menlu Retno menyerukan 3 bidang kerja sama konkret yang perlu ditingkatkan, yaitu penanggulangan terorisme dan radikalisme, perang melawan perdagangan narkoba dan penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing).

Terkait ekspor kelapa sawit Indonesia yang selama ini jadi korban kampanye negatif yang dilancarkan Uni Eropa, menlu Retno ternyata cukup lantang dan berani.

Retno secara khusus mengangkat isu diskriminasi komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa, termasuk yang dilakukan anggota parlemen Uni Eropa.

Menlu Retno juga menjelaskan, kampanye negatif dan diskriminasi yang dilakukan di Uni Eropa tidak saja berdampak kepada citra negara-negara penghasil kelapa sawit seperti Indonesia, bahkan juga lebih besar dampaknya bagi kehidupan sekitar 17 juta orang di Indonesia yang bergantung pada ekspor komoditas crude palm oil (CPO).

Lebih lanjut Retno menegaskan adanya keterkaitan antara kelapa sawit dan upaya pengentasan kemiskinian di Indonesia. Sehingga pasar Uni Eropa harus bersikap adil.

 Baca juga:

Hadiri KTT ASEM, Menlu Retno Bahas Kelapa Sawit hingga Rakhine

Adapun terkait penyikapan soal isu Rakhine di Myanmar, sebagai akibat pembantaian terhadap warga terhadap warga Muslim Rohingya oleh kelompok yang mengklaim dirinya sebagai para biksu Budha radikal, Indonesia juga memberi perhatian secara khusus. Pada KTT ASEM 2017 itu, Retno menekankan pentingnya penyelesaian konflik dan krisis dalam menjaga perdamaian di kawasan masing-masing.  Dengan makna lain, secara tersirat Menlu Retno memandang krisis di Rakhine Myanmar itu, bisa berpotensi mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Sehingga cukup beralasan jika para mitra ASEM harus mendesak segera berupaya menyelesaikan krisis di Rakhine tersebut.

Sehubungan dengan perhatian para mitra ASEM maupun peran aktif Indonesia dalam menyerukan penyelesaian kirisis di Rakhine Myanmar, maka sangat relevan jika Indonesia maupun para mitra ASEM juga menaruh perhatian secara khusus dan kritis atas keinginan dan upaya Ukraina, salah satu negara pecahan dari Uni Soviet, yang ingin bergabung sebagai mitra dalam ASEM.

Ukraina, mengingat perkembangannya sejak 2014 hingga sekarang, krisis yang melanda Ukraina menyusul tumbangnya pemerintahan Presiden Viktor Yanukovich hingga perang saudara yang berkecamuk menyusul bergabungnya Crimea di Ukraina Timu, yang telah menyatakan bergabung kepada Republik Federasi Rusia melalui referendum pada 2014,  sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang berlangsung di Rakhine, Myamnar sejak 2017.

Apalagi, pemerintahan Presiden Poroshenko yang bertumpu pada pemerintahan koalisi di parlemen, ternyata juga didukung oleh Partai Svoboda yang berhaluan fasisme ala Nazi Jerman sebagai salah satu dari tiga pilar koalisi partai di parlemen. Sehingga meskipun dua partai pilar koalisi lainnya cenderung berpihak pada kepentingan Uni Eropa khususnya Jerman, namun adanya partai Svoboda sebagai salah satu pilar dari partai koalisi pendukung pemerintahan Presiden Poroshenko, telah mengundang kesan bahwa pemerintahan Presiden Poroshenko bukan saja sarat dengan kepentingan korporasi-korporasi minyak dan gas dari Uni Eropa khususnya Jerman, keberadaan partai Svoboda yang berhaluan fasisme juga telah membangun kesan bahwa kebijakan luar negeri AS dan Blok Uni Eropa yang selama ini dicitrakan sebagai pro demokrasi dan hak-hak asasi manusia, ternyata berkompromi dengna kepentingan fasisme yang anti demokrasi dan hak-hak asasi manusia, ketika kepentingan strategis ekonomi dan perdagangan lebih diutamakan.

Memyadari latarbelakang tersebut maka, Indonesia maupun para mitra ASEM baik dari Asia maupun Eropa, sebaiknya menolak gagasan dan usulan untuk memasukkan Ukraina bergabung sebagai mitra ASEM. Sebab dikhawatirkan bahwa masalah-masalah kritis di dalam negeri Ukraina yang belum terselesaikan hingga saat ini, akan dibawa ke forum ASEM sehingga mengancam solidititas dan kekompakan para mitra ASEM yang telah terbangun saat ini.

Dukungan Ukraina pada suku Islam Tatar untuk mempolitisasi Islam dalam mendukung gerakan separatisme suku Tatar Crimea agar melepaskan diri dari Rusia, dan bergabung kembali ke Ukraina. Bisa dipastikan merupakan isu sensitif bagi beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia. Sebab hal itu akan dipandang sebagai politisasi agama untuk mendukung separatisme.

Apalagi fakta menunjukkan bahwa suku Tatar hanya 12 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Crimea yang sudah memilih bergabung dengan Rusia. Padahal jumlah penduduk Islam di Rusia sekitar 20 juta jiwa. Berdasarkan hal-hal tersebut, sebaiknya para mitra ASEM menolak keanggotaan Ukraina dalam forum dialog dan kerjasama antar-kawasan Asia dan Eropa tersebut.

Apalagi dalam forum KTT ASEM sebelumnya, juga sangat menekankan perlunya pemberantasan terorisme dan radikalisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Baca:

Hadiri ASEM di Luxemburg, Menlu RI Usung Anti-Radikalisme

Apalagi melalui materi pembahasan SOM, FMM, dan KTT telah ditegaskan bahwa forum ASEM menaruh perhatian khusus terhadap isu-isu internasional, regional maupun kasus-kasus tertentu yang memiliki muatan politis tinggi serta berdampak besar terhadap kepentingan stabilitas keamanan, perdamaian dan kesejahteraan global.

Pada tataran ini, krisis yang melanda Ukraina, harus menjadi landasan kebijakan menolak keanggotaan Ukraina di ASEM pada KTT ASEM Oktober mendatang.  

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com