Benarkah Ada Agenda Tersembunyi AS-Thailand di Balik Layar Shangri-La Dialogue 2019?

Bagikan artikel ini

Masih ingaat Shangri-La Dialogue pada 2019 di Singapura? Tepatnya pada 1 Juni 2019 lalu, pejabat sementara Menteri Pertahanan (Acting Secretary of Defense) Patrick Shanahan, berbicara di depan forum Shangri-La Dialog dengan mengambil tema: The US Vision for Indo-Pacific Security.

Hasil gambar untuk shangri la dialog 2019 Shanahan

Shangri-La Dialogue merupakan forum tahunan yang diselenggarakan oleh International Institute for Strategic Studies (IISS) Singapura. Sebuah forum yang merupakan titik-temu antara para pembuat kebijakan pertahanan, peneliti, industry, maupun berbagai kalangan yang berkepentingan di kawasan Asia-Pasifik. Pertemuan yang bermula pada 2002 lalu tersebut, pada perkembangannya menjadi sebuah forum yang semakin penting dan strategis, seiring meningkatnya dinamika perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik. Sehingga sesuai dengan skema kerjasama negara-negara yang tergabung dalam forum Indo-Pasifik, nampaknya gagasan dasar forum yang dimotori IISS Singapura ini, sejatinya adalah untuk menyatukan kepentingan strategis bidang ekonomi dan pertahanan menurut skema Indo-Pasifik  Amerika Serikat yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2017 lalu.

Maka itu, forum pertemuan yang melibatkan beberapa menteri pertahanan dari Asia, Amerika dan Eropa Barat tersebut,  diberi kesempatan memberikan presentasi di forum tersebut, untuk menyatukan visi dan arah kebijakan. Beberapa  menteri pertahanan yang ikut serta antara  Singapura, Selandia Baru,  Korea Selatan dan Indonesia. Juga ikutserta Australia, Kanada, Inggris, Jerman dan Cina.

Adapun Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu, mengajukan sebuah gagasan yang cukup strategis di tengah semakin menajamnya persaingan global antara AS versus Cina di Asia-Pasifik. Bahwa  Ryamizard memaparkan pandangan Indonesia yang menekankan perlunya ASEAN memiliki agenda sendiri di tengah kompetisi ketat Amerika Serikat dan China di kawasan Asia Pasifik.

Menurut Ryamizard, ASEAN yang telah lama bersatu sebagai perhimpunan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sudah memiliki arsitektur keamanan untuk ketahanan demi mengatasi berbagai ancaman yang hadir di kawasan.

Tujuan mulia dari setiap pemerintahan dimanapun yaitu memberikan rasa aman dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam menciptakan rasa aman baik di kawasan regional maupun internasional, pemerintah Indonesia berupaya untuk mewujudkan suatu ketidakpastian menjadi suatu kepastian.

Demikian diungkapkan Menhan RI Ryamizard Ryacudu saat memberikan pandangan dihadapan negara-negara ASEAN Plus peserta IISS Shangri-La Dialogue ke-18 di Singapura, Minggu 2 Juni 2019.  Dalam kesempatan tersebut Menhan RI memberikan pandangan tentang, “Menjamin Stabilitas dan Ketahanan Kawasan,” pada sesi keenam sidang pleno tersebut.

Lebih lanjut menurutMenhan RI, bahwa kunci dari persatuan ASEAN adalah kesamaan cara pandang atas nilai-nilai dasar ASEAN yang berisi ketulusan, kejujuran, saling mengutamakan kepentingan sesamanya, keterbukaan dan transparansi demi terwujudnya tujuan bersama. Tujuan bersama tersebut yaitu “Kesejahteraan, perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan yang menjadi rumah kita bersama.”

Dalam forum Shangri-La tersebut, juga hadir beberapa menteri pertahanan dari Inggris, Jerman, Australia, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, Kanada, serta pejabat sementara menteri pertahanan AS Patrick Shanahan.

Namun demikian, presentasi yang disampaikan  Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu yang bertumpu pada perspektif politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tersebut, nampaknya tidak mencerminkan atmosfer yang sebenarnya berlangsung dalam forum tahunan Shangri-La Dialogue  tersebut. Forum tersebut ternyata sangat diwarnai oleh persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.

Baca:

2019 Shangri-La Dialogue: US-China Divide Lingers Amid Asia’s Anxiety

 

Yang terlihat mencuat dari forum ini adalah upaya pemerintah AS, seperti tercermin pada presentasinya di depan peserta forum, untuk menjabarkan dua dokumen strategisnya yaitu: the National Security Strategy dan the National Defense Strategy. Sehingga memicu kekhawatiran beberapa kalangan para pemangku kepentingan (stakeholders) kebijakan pertahanan tentang potensi memanasnya kembali kawasan Asia-Pasifik sebagaimana di era Perang Dingin pada abad 20.

Namun seringkali forum semacam Shangri-La Dialog tersebut, bukan sekadar jadi ajang untuk menyampaikan berbagai gagasan secara terbuka, tapi juga seringkali digunakan sebagai pertemuan informal di sela-sela pertemuan resmi, untuk menggelar hidden agenda alias agenda tersembunyi.

Salah satunya, adalah pertemuan informal antara pejabat sementara Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan dengan Menteri Pertahanan  Thailand Prawit Wongsuwan pada 1 Juni lalu. Dalam pertemuan informal tersebut, terbetik informasi bahwa pejabat sementara Menteri Pertahanan Shanahan menawarkan bantuan di berbagai bidang kepada Thailand. Dan sebagai imbalannya, Thailand bersedia menyediakan sebuah pangkalan militer baru di Thailand.

Selain itu, sebagai imbalan atas bantuan ekonomi maupun bidang-bidang strategis lainnya, Thailand diharapkan menyetujui permintaan AS untuk penempatan sistem pertahanan udara atau anti-rudal di Thailand.

Tentu saja informasi semacam ini sangat mengkhawatirkan bagi kawasan Asia Tenggara, karena bisa menciptakan instabilitas dan ancaman bagi kawasan Asia Tenggara. Sehingga pada perkembangannya akan menyeret negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk terlibat dalam persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Tengara khususnya, dan Asia-Pasifik pada umumnya.

Apalagi upaya serupa yang dilancarkan AS terhadap Thailand seperti dalam pertemuan Shangri-La Dialog bukan yang pertama kali. Kajian Global Future Institute pada 2013 lalu, menyingkap adanya indikasi AS yang semakin intensif dalam mengupayakan adanya pangkalan-pangkalan militer di negara-negara Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Pada 2013 misalnya, Senator John McCain mengadakan lawatan ke Filipina mendiskusikan masalah Laut Cina Selatan.

(Baca: The Global Review Quarterly, Merobek Jalur Sutera, Menerkam Asia Tenggara, terbitan Januari 2013). 

Sehingga waktu itu berkembang spekulasi bahwa AS akan mendesak Filipinan untuk memperbaharui kerja sama militernya dengan Filipina, termasuk membuka kembali pangkalan militernya di Subic dan Clark. Singkat cerita, dengan dipicu oleh semakin menguatnya manuver militer Cina di Laut Cina Selatan, ada indikasi kuat AS sedang berusaha mendapatkan izin dari negara-negara ASEAN, termasuk Thailand dan Indonesia, untuk membangun pangkalan militernya di Asia Tenggara.

Bahkan pada Shangri-La Dialogue ke-11 pada 2012 lalu, dua pejabat yang paling bertanggungjawab atas mesin militer global AS, Menteri Pertahanan  Leon Panetta dan  Kepala Staf Gabungan Jendral Martin Dempsey, mengunjungi markas komando Pasifik di Hawai dalam lawatannya ke sejumlah negara di Asia-Pasifik dan secara resmi memulai upaya pergeseran pemusataran militer AS dan asetnya di kawasan ini.

Ketika tiba di Singapura untuk menghadiri forum tahunan di bidang pertahanan Shangri-La Dialogue ke 11, dimana Panetta dan Dempsey bertemu dengan 26 negara Asia-Pasifik,  keduanya kemudian meneruskan perjalanan terpisah. Panetta ke Vietnam dan India, sekutu militer AS yang paling signifikan di Asia pasca Perang Dingin, dan Dempsey bertolak ke Filipinan dan Thailand, yang juga dua sekutu militer lama AS.

Maka itu Indonesia, dengan merujuk pada sikap netral dan tidak memihak, sebagaimana sudah disampaikan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada forum tersebut, agar segera mendesak pembatalan kesepakatan diam-diam antara Menteri Pertahanan Thailand dan pejabat sementara Menteri Pertahanan AS.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com