Betulkah DNA Manusia Mempengaruhi Geopolitik?

Bagikan artikel ini

Menyinggung diskursus geopolitik secara komprehensif, tentu tidak akan stuck pada variabel-variabel tradisional power saja, baik yang bersumber pada ekonomi, politik maupun militer suatu negara. Terma geopolitik pada derajat tertentu, meyajikan suatu pandangan yang tertentu pula tentang bagaimana negara tersebut menyadari kekuatannya melalui keadaan sosial-alamiah penduduk/rakyatnya.

Posisi sentral rakyat sebagai basis power suatu negara ini senafas dengan anggapan yang menyebut bahwa salah satu subjek geopolitik itu adalah manusia. Karena esensi dari geopolitik itu sendiri seputar kesadaran berupa interaksi antara manusia dan bumi/ruang hidupnya dalam menyikapi pergaulan/kehidupan politik. Di mana bakal bermuara akhir pada suatu kepentingan tertentu yang ingin dicapai.

Persis sesuai prolog diatas, konsen tulisan kali ini akan menyasar hubungan kausalitas antara manusia sebagai subjek geopolitik dalam andilnya mempengaruhi power suatu negara demi kepentingan nasional. Ulson Gunnar dalam analisanya yang bertajuk The Geopolitics of Human Gene Editing menuliskan negara-negara kuat dengan segudang teknologi mutakhirnya sedang bergerak guna memodifikasi atau bahkan memanipulasi DNA rakyatnya.

Asumsi Gunnar itu berpegangan pada cara pikir seorang Stephen Hawking yang menyatakan: “(Humanity) a new phase of what might be called self-designed evolution, in which we will be able to change and improve our DNA. We have now mapped DNA, which means we have read ‘the book of life, so we can start writing in corrections’’

Hawking pada dasarnya tidak khawatir dengan kemajuan sains-teknologi yang dapat memodifikasi/memanipulasi suatu DNA. Tapi Hawking merasa resah jika gagasan ini akan dimonopoli dan disalahgunakan oleh segelintir negara-negara yang notabenenya kuat dan mapan secara teknologi melakukan rekayasa genetika manusia tersebut.

Lebih lanjut, Gunnar membawa kita pada khasanah sejarah yang menampilkan wajah kemajuan teknologi selalu menggiring kepada hal tragis sebagai akibat eksploitasi, kekerasan hingga berujung pada genosida yang terekam dalam perjalanan sejarah umat manusia. Seperti apa yang dikerjakan AS sewaktu Perang Dingin melalui bom atomnya terhadap Jepang. Atau bagaimana ketika korporasi AS bernama Monsanto yang ikut andil dalam membantu militer AS menyebarkan virus kepada rakyat Vietnam Utara lewat senjata biologis sewaktu perang AS-Vietnam berkecamuk.

Baca juga: 

Belajar dari Kasus Vietnam: Kejahatan Korporasi Monsanto di Indonesia Harus Dihentikan

Malah belakangan ini, Monsanto sangat sukses menjelma sebagai korporasi AS yang fokus memonopoli bidang bioteknologi dunia. Alhasil, apa yang disebut Genetically Modified Organism (GMOs) merupakan hasil inovasi teknologi yang laris manis dalam industri pertanian yang dikembangkan korporasi tersebut di sektor agrobisnis.

Baca juga:      

Proyek GMO: Agenda Tersembunyi AS untuk Monopoli Sektor Pertanian Indonesia

Kembali lagi pada fokus rekayasa gen manusia. Rupanya Gunnar dalam analisanya mentitik-beratkan jika wacana rekayasa gen sumberdaya manusia dipandang sebagai garda terdepan bagi negara-negara kuat semisal AS untuk mengkondisikan kemakmuran dan keamanan internal negaranya. Lebih daripada itu, Gunnar pun menyebut kalau suatu negara memiliki demografi dengan kualitas sumberdaya manusianya yang sehat, terdidik dan memiliki kadar intelegensia tinggi, maka dipastikan negara bersangkutan akan menjadi negara yang kuat dan mapan.

Dengan acuan akan capaian sumberdaya manusia seperti di atas, tentu tidak mengherankan tatkala negara-negara kuat seperti AS menghalalkan segala cara, termasuk melakukan rekayasa gen manusia ini. Melalui sarana bioteknologi yang nantinya dapat memanipulasi DNA, lalu kemudian produk unggul sumberdaya manusia suatu negara secara otomatis dapat dimiliki, sesuai dengan ciri-ciri atau bahkan karakteristik yang didambakan.

Dalam tatanan sistem internasional yang begitu demikian anarkis. Alih-alih ingin menuntun setiap negara berlomba dan bersaing dengan ragam cara demi kepentingan nasional. Lantas pula berimbas kepada perkembangan sains-teknologi yang telah mampu menyusun ‘kodrat’ manusia dengan rekayasa DNA. Sehingga memfokuskan secara berlebihan, kalau benar adanya manusia dijadikan sebagai subjek geopolitik yang nantinya bertautan dengan peningkatan power suatu negara.

Untuk soal seperti diatas, James Canton dalam karyanya yang berjudul The Extreme Future menuliskan, sains dalam mengkondisikan manusia bak seperti dua sisi mata koin, yaitu selalu ada risiko dan peluang. Sains di satu sisi telah digunakan agar mampu membantu manusia tuk bertahan dan memperbaiki dunia ini.

Namun pada saat yang sama, Canton berpikir ada pula sebuah kemungkinan ketika kita melangkah memasuki masa depan. Yaitu sains dapat menyediakan alat-alat baru yang justru dipergunakan untuk menindas, membatasi, menyensor dan sampai menghilangkan hak-hak individu. Intinya selalu ada penyalahgunahan dalam memanfaatkan sains-teknologi.

Atas semua ini, Gunnar memprediksi akan ada semacam balance of power atas fenomena rekayasa DNA ini. Di kemudian hari, tidak akan menjadi hal yang mencengangkan disaat Cina ikut pula dalam persaingan ini. Yang tentunya sebagai perimbangan sumberdaya manusia dalam rangka mengimbangi AS atau negara-negara di Eropa.

Last but not least, Gunnar juga mengingatkan kalau kemajuan sains-teknologi ini adalah hal yang menguntungkan bagi negara. Karenanya menjadi hal yang prioritas dilakukan dan manusia dijadikan objek sekaligus subjek evolusi. Ia menulisnya seperti ini “ Nations would benefit from investing in education to build up a workforce capable of researching, developing and effectively utilizing this emerging science-technology (biotechnology)”.

Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com