Bunuh Diri Massal Ala Geopolitik

Bagikan artikel ini

M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Mengaji kewaspadaan nasional, ia bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, namun mutlak terkait dengan (jiwa) nasionalisme dan integrasi nasional. Ibarat entitas biologis, bahwa antara kewaspadaan nasional, nasionalisme dan integrasi nasional itu “satu tarikan nafas.” Kenapa begitu? Saling terkait dan berkait. Mustahil membangun integrasi nasional tanpa ada kewaspadaan. Omong kosong bicara integrasi nasional tanpa modal nasionalisme, dan suatu kewaspadaan nasional tak akan maksimal tanpa ada nasionalisme. Itu mungkin pakem-pakem dasarnya.

Ketika lingkungan strategis (global, regional dan lokal/nasional) bergerak sesuai tuntutan zaman, maka konsepsi geopolitik dan geostrategi pun seyogyanya berubah pula. Jadi, merumuskan serta menempatkan geopolitik sebagai doktrin bukanlah langkah jitu, karena ancaman berubah-ubah sesuai tuntutan lingkungan.

Zaman Bung Karno (BK) contohnya, kewaspadaan nasional diletak sebagai common enemy (musuh bersama) dalam ujud neoimperialisme, neokolonialisme, dan lain-lain. Sayangnya, ia –musuh bersama– diletak di luar pagar rumah (Indonesia), sehingga BK agak abai bahwa hazard atau endapan bahaya pun ada dan dapat meletus di “dalam rumah” sendiri. Kewaspadaan nasional pinsan. PKI menikam dua kali (1948 dan 1965). Terbukti dalam sejarah.

Zaman Pak Harto berbeda. Kewaspadaan nasional ditekankan ke dalam. Terlihat otoriter bahkan cenderung anti kritik. Rumusan musuh bersama diletak di halaman pekarangan serta di dalam rumah. UU Subversif dijalankan secara represif guna menghilangkan hazard dimaksud. Cukup berhasil mengeliminer endapan bahaya dari sisi internal, tetapi ia abai, bahwa musuh dari luar rumah justru menyelinap secara diam-diam. Senyap. Neolib beserta varian terbaru meraja-lela di segala gatra kehidupan anak bangsa. Puncaknya adalah reformasi 1998. Kewaspadaan nasional rapuh. Mati suri. UUD 1945 diamandemen berkali-kali sesuai faham luar sehingga membidani ratusan UU proasing. Konsekuensinya ialah integrasi nasional di titik rawan karena seolah-olah segenap anak bangsa disuruh “mengantongi nasionalisme”-nya.

Di era reformasi kini hampir-hampir tidak jelas. Abu-abu. Tak ada dan tidak punya rumusan perihal musuh bersama baik musuh dari luar sebagaimana BK tempo doeloe maupun dari sisi internal seperti zaman Pak Harto dulu. “Remuk dalam,” istilahnya. Dari luar dibuka lebar-lebar atas nama globalisasi, MEA, AFTA, dan lain-lain yang berbasis liberalisme. Sedang di dalam menjadi imbas atas arus liberalisme (dari luar) tersebut. Local wisdom diabaikan, global wisdom ditelan tanpa selidik. Sekali lagi, “remuk dalam”. Terlihat, bahwa kewaspadaan nasional bukan cuma pinsan atau mati suri, tetapi bunuh diri. Killing himself. Mengapa?

Apabila Cina dahulu menyerahkan puluhan pelabuhan/infrastruktur lautnya ke Inggris setelah mengalami dua peperangan (dan kalah) melalui Perang Candu l dan Perang Candu ll, sedang Indonesia hari ini, tanpa letusan peluru dan asap mesiu justru menyerahkan simpul-simpul (transportasi) strategis bangsanya untuk dikelola oleh swasta. Pemerintah seperti dealer atas aset-aset bangsa dan negaranya. Kewaspadaan nasional bunuh diri massal lalu mengubur dirinya sendiri hidup-hidup.

RIP geopolitik!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com