Campur Tangan Amerika pada Awal Kemerdekaan

Bagikan artikel ini

Intervensi AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia dapat dikatakan terjadi sejak hari-hari pertama kelahiran Republik. Fakta ini terutama dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi AS yang telah tertanam sejak era kolonial Belanda pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20, menyusul kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada zaman kolonial AS menanamkan modalnya di sektor pertambangan serta pembelian hasil-hasil bumi.

Dengan latar semacam itu, munculnya Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 menempatkan AS dalam posisi dilematis. Di satu sisi, AS menghendaki agar kepentingan ekonominya selama era kolonial tetap terjaga. Di sisi lain, keberadaan Republik Indonesia merupakan kenyataan yang tidak terbantah. Kehadiran Republik, berdasarkan opini dunia saat itu, dianggap sebagai manifestasi yang sah dari rakyat yang selama lebih dari tiga setengah abad berada di bawah dominasi kolonialisme.

Sementara itu, Belanda bersikeras menolak kenyataan itu. Belanda, agaknya, ingin mengembalikan Indonesia ke posisinya sebagai negeri jajahan seperti sebelum invasi militer Jepang. Soal inilah yang menjadi pokok sengketa Indonesia- Belanda pasca Proklamasi. Perselisihan ini menjadikan Washington tidak mudah menentukan sikap. Kepentingan ekonomi AS menjadikan Negara itu cenderung berpihak kepada Belanda, sementara AS sendiri tidak dapat membantah bahwa Republik didukung penuh tidak saja oleh rakyat Indonesia tetapi juga oleh opini internasional.

Dalam berbagai rangkaian diplomasi internasional yang mencoba menangani pertikaian Indonesia- Belanda, termasuk yang dilakukan oleh PBB, AS selalu memainkan peran. Rangkaian fakta menunjukkan bahwa kontradiksi antara Belanda dan Republik terlalu tajam untuk dicarikan titik komprominya. Di satu sisi AS menghendaki agar Belanda dapat menerima keberadaan Republik, sementara di sisi yang lain AS juga menghendaki agar para pemimpin Republik dapat mengakui posisi Belanda. Para pejabat Washington, agaknya, masih memiliki keyakinan yang cukup tinggi bahwa aspirasi kemerdekaan nasional dapat berdampingan secara damai dengan kepentingan kolonial—cara pandang yang amat sulit diwujudkan dalam kenyataan. Lagi pula, kecenderungan AS untuk lebih berpihak kepada kepentingan Belanda daripada kepentingan Republik dalam sejumlah upaya diplomasi internasional pada akhirnya justru memicu perseteruan yang kian keras di antara keduanya.

Kecenderungan AS berpihak kepada kepentingan Belanda semakin meningkat bersamaan dengan tumbuhnya keyakinan di kalangan para petinggi Washington terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman komunisme Uni Soviet dalam skala global, terutama sejak 1947. Waktu itu Presiden AS Harry Truman mencanangkan langkah yang kemudian dikenal dengan nama kebijakan atau strategi pembendungan (containment policy). Strategi ini bertumpu pada upaya menggalang segenap sumber daya nasional AS untuk membendung komunisme di berbagai belahan dunia.

Kebijakan itu berasal dari persepsi di Washington bahwa kekalahan negara-negara poros pasca Perang Dunia telah menandai babak baru dalam hubungan internasional tempat AS dan Uni Soviet tampil sebagai kekuatan dunia. Sementara Uni Soviet, dalam kerangka berpikir ini, ditempatkan sebagai pemimpin kutub ideologi komunisme, AS diposisikan sebagai pemimpin free world. Di mata para pejabat Washington, komunisme Uni Soviet bersifat ekspansionis dan mengancam free world.

Persepsi semacam ini diperkuat dengan beberapa fenomena di berbagai belahan dunia. Pada 1947 Yunani berada dalam situasi revolusioner tempat kekuatan-kekuatan kiri hampir tak terbendung hendak menguasai negara. Di daratan Cina kaum komunis mencatat beberapa sukses dan semakin mendesak kekuatan para pendukung Kuo Min Tang di bawah Jenderal Chiang Kai Sek. Di Indocina Prancis yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya mendapat tantangan hebat dari rakyat setempat di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh.

Para petinggi Washington memandang berbagai kejadian ini sebagai upaya yang dilakukan oleh Uni Soviet untuk mengkomuniskan dunia. Atas dasar persepsi itu, AS memandang perlu untuk menjalankan strategi pembendungan terhadap apa yang mereka anggap sebagai ekspansi komunis. Para pejabat Washington, agaknya, tidak menduga sama sekali bahwa rangkaian peristiwa itu sesungguhnya lebih cenderung menjadi gejolak yang berwatak lokal.

Persepsi semacam itu juga menjadi latar belakang sikap AS dalam upaya memandang dan menangani pertikaian Indonesia Belanda. Awalnya, kepentingan ekonomi menjadi pertimbangan utama AS ketika mengambil peran mediasi di antara keduanya. Namun, seiring dengan meningkatnya kecemasan AS terhadap “bahaya ekspansi komunis berskala global”, pertikaian Indonesia-Belanda juga cenderung ditempatkan dalam persaingannya dengan Uni Soviet.

Presiden John F Kennedy (JFK) merupakan satu-satunya Presiden Amerika Serikat yang bersahabat dengan Presiden Sukarno

Posisi AS dalam pertikaian Indonesia-Belanda, agaknya, menjadi cikal-bakal sikap dan kebijakan negeri itu terhadap Indonesia beberapa dekade sesudahnya. Dalam konteks ini, kemunculan kembali PKI pasca Perang Dunia di pentas politik nasional dengan sendirinya menyebabkan Washington cemas. Di mata AS Indonesia berpotensi jatuh ke dalam skenario komunisme internasional.

Radikalisme PKI yang menentang keras kehadiran kembali kaum kolonial Belanda menjadikan partai ini salah satu unsur penting dalam perjuangan kemerdekaan RI. Soal ini jelas semakin mempersulit posisi Washington dalam upaya “menengahi” pertikaian Indonesia- Belanda. Karena tidak mungkin melakukan tekanan yang terlalu keras terhadap Republik yang sedang menghadapi Belanda, pilihan paling realistis bagi AS adalah mendekati sekaligus memperkuat unsur-unsur pemimpin nasionalis moderat di Indonesia untuk mengeliminir pengaruh komunisme.

Upaya-upaya ini pada akhirnya membuahkan sebuah tragedi nasional di Indonesia, yakni babak penting dalam sejarah nasional Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Peritiwa Madiun. Peristiwa Madiun selama ini pada umumnya dilihat sebagai lembaran hitam dalam perjalanan Republik. Peristiwa itu dianggap bersifat “dalam negeri” sepenuhnya. Kalaupun terdapat unsur-unsur asing di dalamnya, tudingan telunjuk teks sejarah mengarah kepada Uni Soviet. Namun, belakangan ini, berdasarkan sejumlah fakta yang baru terkuak, persepsi konvensional atas peristiwa itu mengandung sejumlah kelemahan. Sebaliknya, peristiwa itu justru memperlihatkan “peran penting” AS.

Pertemuan Sarangan

Banyak elemen masyarakat yang terlibat dalam perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Demikian halnya ketika Indonesia ingin menentukan pemimpin saat dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia. Nama Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, Sukarno, dan Hatta menjadi nominasi. Amir jadi kandidat terkuat di kalangan pemuda, dan diusulkan langsung oleh Wikana. Tidak ada pihak yang menolak, karena sikapnya dinilai antikompromi terhadap kekuatan kolonial. Masalahnya, ketika detik-detik proklamasi berlangsung, Amir masih ditahan oleh Jepang. Pilihan berikutnya jatuh ke pundak Sjahrir. Ia menolak dan menyarankan agar Sukarno saja yang dipilih. Pertimbangannya, Sukarno bisa melakukan negosiasi secara baik dengan pihak Jepang yang saat itu masih berkuasa. Pada saat yang bersamaan, Sukarno-Hatta memang baru kembali dari Dalat (Vietnam) setelah dipanggil oleh pemimpin militer Jepang. Yang terpenting dari komentar Sjahrir adalah bahwa Sukarno hanya akan dijadikan proklamator “untuk sementara.”

Setelah suasana berangsur normal, kepemimpinan mereka akan diganti oleh orang lain. Para pemuda kurang yakin dengan integritas Sukarno karena dinilai telah beberapa kali bersikap kurang tegas terhadap pihak kolonial. Sukarno sendiri mulanya menolak ajakan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lebih awal sehingga terjadi proses penculikan atas dirinya, dan Hatta, ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Sehari setelah itu, kemerdekaan Indonesia berkumandang.

Peristiwa itu sangat erat terkait dengan rentetan perjalanan sejarah Indonesia dalam tempo lima tahun pertama kemerdekaan. Beberapa bulan sejak Indonesia merdeka, kekisruhan terjadi saat negara baru ini ingin membentuk sistem pemerintahan. Sistem parlementer yang dipilih, dan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama di republik ini dari November 1945 hingga Juli 1947. Skenario para pemuda terpenuhi. Pada awal 1947 terjadi penculikan atas diri Sjahrir oleh sekelompok pemuda lainnya sehingga pemerintahan goyah. Meski  Sjahrir akhirnya selamat, tapi wibawanya jatuh, dan ia digantikan oleh Amir Sjarifuddin sejak Juli 1947 hingga Januari 1948.

Selain disibukkan dengan konflik internal di kalangan elite pemerintahan, Indonesia saat itu masih menghadapi kekuatan kolonial Belanda yang terus merongrong untuk menguasai kembali bekas wilayah jajahannya ini. Belanda melancarakan dua kali aksi militer secara besar-besaran, yaitu pada Juli 1947 dan Desember 1948.

Konstelasi Politik Internasional

Ketika Indonesia merdeka, dunia baru saja mengalami suasana kemenangan kelompok Barat/Sekutu di bawah kepemimpinan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. AS segera memberikan bantuan kepada negara-negara sekutunya yang hancur akibat perang melalui Marshall Plan.

Peta kekuatan dunia berubah. Jika semula memerangi kekuatan fasis (Jerman, Jepang dan Italia), kini Sekutu mesti berhadapan dengan kekuatan komunisme pimpinan Uni Soviet (US). US segera menebar jaring di Eropa, dan berlanjut ke belahan dunia lainnya. AS pun tidak ketinggalan, membendung pengaruh komunisme internasional. Terjadilah Perang Dingin.

Sebagai negara baru, Indonesia tak luput dari incaran kedua raksasa tersebut. Belanda sebagai sekutu AS, berupaya terus menguasai wilayah Indonesia. Meski pada 1947 agresi militer pertama dilakukan tetapi kekuatan Republik Indonesia masih ada. Sebagai Perdana Menteri yang terkenal dengan antikompromi, Amir bersikap tegas terhadap Belanda. Sebagai tokoh politik yang besar di kelompok “kiri”, Amir sangat tidak disenangi oleh Belanda. Itu sebabnya berbagai upaya dilakukan untuk menggusur posisi Amir.

Meski Perang Dingin mulai berkecamuk, selama lima tahun pertama Indonesia merdeka pengaruh US di Indonesia belum terlalu mencolok. Sebaliknya, melalui Belanda, AS mulai gencar menancapkan kekuatannya karena melihat potensi kekayaan alam Indonesia yang begitu besar. Belanda sudah menemukan beberapa kandungan migas, batubara, hasil pertanian dan perkebunan yang berlimpah di beberapa wilayah Indonesia.

Dalam pertengahan masa kepemimpinan Amir, Belanda makin khawatir dengan kebijakan Indonesia yang sangat nasionalis. Sebagai sekutu terakrab AS di Eropa, Belanda senantiasa memberikan laporan kepada AS untuk terus dibantu dari sisi perekonomian (Marshall Plan). AS sendiri, di bawah Presiden Truman, dan melalui Perjanjian San Fransisco pada 1945, tidak pernah mempermasalahkan imperialisme sekutunya di Asia. AS justru memberikan banyak dukungan kepada Belanda. Bahkan, wilayah Hindia Belanda (Indonesia), adalah satu-satunya daerah jajahan yang masuk dalam program Marshall Plan.

Karena kedekatan AS-Belanda, ketika pasukan Sekutu masuk Indonesia pasca kemerdekaan, Washington diam-diam mempersilakan tentara Belanda di Indonesia menggunakan bantuan militernya (American Lend Lease), yang memperbesar stok persenjataan Belanda yang sudah berisi senjata Inggris. Sebelumnya, pada musim gugur 1945, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan perintah untuk menghilangkan atribut AS dari peralatan dan seragam yang dipakai oleh pasukan South East Asia Command (SEAC) pimpinan Louis Mountbatten, yang tugasnya melucuti tentara Jepang di Indonesia. Lebih jauh lagi, ketika pasukan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada 1946, bisa dilihat banyaknya pasukan tersebut yang menggunakan seragam militer AS dan mengendarai jip Angkatan Darat AS.

Kejatuhan Amir

Sepanjang 1947 Indonesia masih disibukkan oleh masalah dalam negeri seraya menghadapi rongrongan Belanda yang semakin menguat. Meski diisi oleh banyak kelompok berpengaruh, Kabinet Amir tidak serta-merta mendapat dukungan bulat dalam berbagai kebijakan yang bersifat makro (nasional). Masyumi, misalnya, sebagai salah satu partai besar nasionalis berlatar agama Islam, ikut menolak bergabung dalam Kabinet Amir. Hal ini diperburuk oleh keretakan di lingkungan “kelompok kiri”—persisnya, kelompok Sjahrir dan Tan Malaka ikut memusuhi Amir dkk.

Sementara itu, Belanda terus mengultimatum Amir pasca agresi militer 1947. Wilayah laut dan udara Indonesia diblokade. Pusat kekuasaan dipersempit, sehingga ibukota negara pun dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Inilah realisasi Perjanjian Linggarjati.

Kebijakan AS, yang semula mendukung Belanda, lambat laun mulai bersimpati dengan kekuatan nasionalis yang bersahabat. Simpati AS pun tetap berpegang pada upaya menghindari kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia yang diyakini akan memudahkan masuknya pengaruh komunisme.

Sukarno-Hatta dinilai oleh AS maupun Belanda sebagai figur yang memang cocok untuk memimpin Indonesia. Itu sebabnya, dengan berbagai cara, Kabinet Amir mesti ditumbangkan terlebih dahulu. Dalam kebijakan luar negerinya, Amir berupaya untuk tetap memegang isi Perjanjian Linggajati selain ingin membawa Indonesia ikut berperan dalam kancah internasional. Namun, di mata Belanda, upaya tersebut belum memuaskan.

Kemudian, Belanda dan AS mengusulkan pembentukan Komisi Jasa Baik (Good Offices Committee) yang kemudian dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai penengah sengketa Indonesia-Belanda yang tidak kunjung selesai. Indonesia memilih Australia dan Belanda menggandeng Belgia. Komisi ini diketuai oleh Frank Porter Graham dari AS. Uniknya, setelah komisi ini terbentuk, Masyumi mau bergabung dengan Kabinet Amir. Terbentuknya KTN bisa dikatakan sebagai awal keterlibatan AS secara langsung dalam masalah Indonesia.

Kebijakan  politik luar negeri AS mulai melihat betapa pentingnya kawasan Indonesia yang bersahabat dan jauh dari pengaruh komunisme. Sebagai perbandingan, dapat disebutkan bahwa meski George W. Bush pada tahun 2000 menerapkan kebijakan pre-emptive action (menyerang lebih dahulu), tetapi pada 1947 pun AS sebenarnya sudah menerapkan  hal serupa untuk menghadapi komunisme internasional. Dipaksalah Kabinet Amir untuk lebih tunduk lagi kepada kekuatan Barat melalui Perundingan Renville agar menentukan nasib Indonesia melalui plebisit.

Proyek Graham ini sebenarnya adalah “tekanan” sekaligus intervensi AS agar Indonesia mengikuti pola penyelesaian yang ditawarkan. Indonesia pun terjepit, dan Sukarno mengeluarkan istilah “from the bullet to the ballot” untuk mengakomodasi upaya Barat tersebut. Graham juga menambahkan bahwa AS tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit di kemudian hari.

Bersambung

*disarikan dari buku Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, karangan Hendrajit dkk.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com