Carut Marut (Chaos), Kebebasan (Freedom) dan Krisis Moral (Morality Crisis)

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid-Network Associate Global Future Institute (GFI)

Tulisan ini dilatar-belakangi keprihatinan atas maraknya berbagai interaksi sosial politik di republik ini, bahwa suatu “pijakan baru” yang konon pengganti nilai-nilai lama, ternyata belum menjamin kondusifnya (melembaga)  keadaan bagi dinamika pemerintah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan serta meraih kesejahteraan. Seringkali kebalikannya, nilai-nilai baru justru menciptakan kelabilan di banyak bidang terutama kerapuhan pada aspek sosial karena publik kini mudah diadu-domba serta rentan terhadap chaos.

Runtuhnya rezim orde baru awal tahun 1998-an, seakan-akan sebagai moment kemenangan “isme” keterbukaan atas ketertutupan, kegemilangan paham demokrasi atas otoritarian, atau kepiawaian kaum sipil atas militer dan lain-lain.

Maka sebuah tatanan baru (reformasi) lahir sebagai counter orde yang telah tumbang. Berbagai pihak sepakat merestui bahwa orde ini berpijak pada “hukum sebagai panglima”, berbeda dengan orde sebelumnya yang meletakkan “politik sebagai panglima”. Ciri menonjol pada era reformasi ini ialah freedom (kebebasan) sebagai nilai baru mengemuka, sangat bertolak belakang dengan orde baru yang dianggap sebagai rezim tertutup, represif lagi otoriter.

Berbagai perubahan tatanan produk masa lalu baik itu aspek hukum, politik maupun ekonomi dan lain-lain pun dikerjakan sebagai revisi atas orde sebelumnya yang dianggap mengebiri freedom. Lahirlah berbagai produk baru dari ”rahim” kebebasan yang ”dibidani” oleh supremasi hukum. Lalu hiruk-pikuk negeri ini pun berinteraksi atas nama hukum (negara) dan kebebasan.

Adapun dampak negatif yang muncul sebagai konsekuensi euphoria era baru, sebagian masyarakat menganggap kebebasan adalah “serba boleh”. Agaknya nilai-nilai lama mulai ditinggal, tetapi bangunan nilai baru belum sepenuhnya melembaga. Akibatnya etika dan moral yang dahulu unggul, kini menjadi “pecundang” – menjadi nilai yang kalah dinegerinya sendiri. Solidaritas dan kegotong-royongan berubah menjadi egoistik-individual. Arogansi sektoral merebak dimana-mana. Keteladanan pemimpin dan sesepuh di segala lapisan pun menjadi langka, mahal serta sulit dijumpai pada keseharian.

Gila! Banyak pejabat tertangkap sedang bermain madat dan madon di hotel-hotel. Lihatlah! Antar institusi negara intip-intipan, saling menyerang bahkan kepruk-keprukan. Para pakar yang seyogyanya bicara di ruang terbatas (area akademis, staf ahli dan seterusnya), kini bebas bicara di depan massa sehingga banyak “kebenaran “hilir-mudik di ruang sosial membuat bingung khalayak. Tengoklah! Rakyat dan elit mulai terbelah, negara hampir-hampir seperti kapal pecah. Lalu mengatasnamakan freedom dan profesionalisme, kecenderungan media massa memprovokasi dari pada melakukan peran pendidikan kepada publik.

Bad news is good news!

Telah satu dasawarsa lebih (1998-2013) sudah reformasi berjalan di negeri ini, bahwa harapan kondisi lebih baik di segala bidang dibanding era-era sebelumnya ternyata masih jauh api dari panggangnya. Jangankan maju, syukur-syukur masih jalan di tempat. Ini menimbulkan pertanyaan: adakah yang salah dalam perjalanan reformasi di negeri ini?

Menarik sekali mengamati hiruk-pikuk sosial politik terutama sejak era reformasi bergulir di republik ini. Kerancuan timbul karena para elit dan rakyat salah persepsi dalam memaknai kebebasan dan supremasi hukum itu sendiri. Misalnya hal-ikhwal freedom atau kebebasan. Dalam tatanan dan ilmu manapun, tak ada satupun kebebasan di dunia ini berjalan telanjang, terlebih lagi kebebasan berdasarkan hukum. Bahkan pada kajian tertentu, hukum dan kebebasan merupakan elemen yang sesungguhnya berhadap-hadapan. Hukum memberi garis dan batasan-batasan kepada kebebasan. Ia mengikat agar kebebasan tidak kebablasan. Akan tetapi di era reformasi justru hukum dan kebebasan berjalan beriringan. Tidak salah memang, namun disinilah titik awal permasalahan.

Kebebasan itu pilihan dan melekat (hak) pada setiap manusia. Namun perlu dicamkan, ia cuma ada dalam ranah agama, terutama kebebasan beragama dan memilih keyakinan masing-masing. Itu saja. Selain agama tidak akan pernah ada kebebasan apapun. Tidak ada itu kebebasan berbicara! Jangan harap ada kebebasan berbuat dan lain-lainnya. Semua ada aturan-aturan. Ada ethika-nya. Bukannya bebas memprovokasi bicara kian kemari. Tidak bisa bebas bertindak seenak sendiri (saenak udele dewe). Inilah yang kini tengah terjadi di negeri kita. Kebebasan diproklamirkan sebagai nilai baru selanjutnya diatur oleh hukum (negara) untuk legitimasi. Ketika tingkat pemahaman masyarakat masih rendah dan beragam, niscaya akan dijumpai banyak distorsi pada tataran implementasinya. Bahkan atas nama kebebasan dan hak asasi, kini sudah ada upaya-upaya kelompok tertentu melegalkan perkawinan sejenis di Indonesia. Gila. Sekali lagi, ini yang sedang terjadi. Ethika moral diabaikan. Hukum agama ditinggal. Elit dan rakyat lebih mengedepankan hukum negara daripada hukum agama.

Bahwa hukum negara itu lahir dan tumbuh karena pengaruh budaya beserta dinamikanya. Budaya itu ada disebabkan kebiasaan-kebiasaan/keajegan perilaku di masyarakat. Dalam proses terbitnya hukum banyak kepentingan bermain, aneka vested interest ikut membonceng. Dan sering terjadi hukum negara kehilangan arah kemana dermaga hendak dituju. Ini menimbulkan ironisme: “hukumnya ada dan beroperasi, tetapi justru hukum itu sendiri menimbulkan kekacauan dan ketidak-produktif-an di tengah masyarakat”. Misalnya Undang-undang (UU) Otonomi Daerah, Multi Partai, UU tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan lain-lain. Mengapa demikian oleh sebab UU tersebut membuat negeri ini seakan “terpuruk”, seolah-olah jalan di tempat, para aparat negara menjadi ragu-ragu, safety player dan seterusnya. Begitulah.

Hukum sebagai panglima sebagai sendi yang diimpikan bakal berjalan lebih baik, ternyata menciptakan situasi yang tidak lebih baik dibanding era sebelumnya.

Muncul pertanyaan menarik, sendi dan dasar mana yang lebih baik: politik sebagai panglima atau hukum sebagai panglima? Keduanya baik tetapi keduanya buruk pula. Kedua-duanya menguntungkan namun juga merugikan. Tergantung situasi kapan dan dimana ia dimainkan. Keduanya adalah produk zaman berbeda. Maka kebenaran produk, sesungguhnya “bergerak” sesuai tuntutan era/zamannya. Apa yang benar tempo doeloe belum tentu benar di era kini, sebaliknya hal yang dianggap baik sekarang belum tentu baik di masa lalu. Setiap era melahirkan tokoh dan juga karya-karyanya. Itulah kebenaran dunia hasil olah pikir manusia. Bisa digeser-geser sesuai kepentingan. Tidak abadi. Tak bakal lestari.

Pertanyaan pamungkasnya muncul, lalu tatanan bagaimana agar negeri ini kokoh berdiri dan tegap menapak menuju era “Gemah Ripah Loh Jinawi – Tata Tentram Kerta Raharja?”

Awal hidup dan kehidupan manusia diatur oleh hukum agama. Oleh karena saat itu memang belum lahir negara, maka hampir tidak ada adat sesama, apalagi budaya. Belum dikenal tentara (militer) juga tidak ada  polisi. Tetapi di luar konteks manusia, hukum rimba adalah keniscayaan. Ia berlaku sepanjang zaman. Siapa kuat dia berkuasa.

Dengan demikian, sesungguhnya benang merah tingkatan hukum kehidupan dimanapun yaitu hukum agama, hukum negara, hukum adat (sosial), hukum militer dan hukum rimba. Artinya operasional suatu hukum apapun, panduannya mutlak harus hukum agama. Sebab ia mengawali semua hukum-hukum yang ada di dunia, dan lagi berasal dari Tuhannya. Sekali lagi, semuanya harus mengacu dari hukum agama sebagai referensinya. Agama adalah sumber dari segala sumber hukum.

Hukum negara harus bersendi pada aturan agama. Hukum adat, hukum militer pun demikian juga. Bahkan hukum rimba juga merujuk hukum agama. Sebagai contoh “kekuatan” yang menjadi simbol kekuasaan dalam hukum rimba bisa bergeser arti dan maknanya. Misalnya, pada zaman Nomaden (peladang berpindah) ”otot” merupakan primadona. Barangsiapa berotot dan jagoan berkelahi maka ia menjadi raja atau penguasa. Tetapi di era industrialisasi kekuatan otot tergeser oleh power/kekuatan uang. Artinya siapa kaya dan berduit banyak, maka ia bisa mengendalikan para jagoan. Di kemudian hari bergeser lagi, bahwa orang berduit akan bersimpuh di depan orang (pintar) berotak. Demikian seterusnya. Bahwa makna “siapa kuat” dalam hukum rimba bakal berubah sesuai tuntutan masanya. Mungkin suatu saat nanti akan muncul zaman dimana orang pintar tunduk pada orang bermoral, lalu orang bermoral taat dan tunduk kepada sosok beriman. Tapi entah kapan.

Sampailah pada kesimpulan tulisan sederhana ini, bahwa inti persoalan yang menerpa negeri ini adalah:

(1) bahwa ketika hukum negara lebih dikedepankan daripada hukum agama, niscaya kacau-balau (chaos) terjadi hampir disegala tatanan, oleh karena proses terbitnya hukum negara ialah mengakomodir adat dan budaya, sedang budaya ialah hasil olah pikir dan budi manusia yang banyak dipenuhi muatan nafsu, hasrat dan kepentingan; sedangkan agama adalah “Tuntunan Hidup” menurut petunjuk-NYA.

(2) Indonesia mutlak harus kembali kepada hukum-hukum yang berdasarkan agama sesuai sila ke-1 Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu segenap elit dan komponen bangsa segera merevisi berbagai UU yang terbit cuma sekedar memenuhi trend serta pengaruh budaya dan ideologi dari luar;

(3) segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia mutlak harus kembali serta menggali nilai-nilai leluhur bangsa  (local wisdom) yang banyak bersumber dari ajaran-ajaran agama.

Demikian adanya. Demikian sebaiknya. Jangan dipilih-pilih. Jangan ditawar-tawar.

Salam Merdeka !!!!!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com