Cerita Menarik di Balik Krisis Ketersediaan Minyak Jepang Pada Perang Dunia Kedua

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Sisi lain yang menarik yang penting untuk diungkap dari Konferensi Internasional tentang Perang Dunia di Kuala Lumpur 13 Mei lalu, adalah betapa vitalnya kebutuhan minyak bagi Jepang. Dan seluruh sepak-terjang politik luar negeri maupun aksi militernya di Asia Tenggara sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua, sepertinya memang selalu terkait dengan kebutuhan akan persediaan cadangan minyak.

Tidak percaya? Mari kita buktikan satu persatu. Januari 1942, Jepang merebut Balikpapan di Kalimantan. Tujuan strategisnya adalah untuk merebut kawasan kaya minyak tersebut dari pengaruh negara-negara imperialis barat yang merupakan pesaingnya. Alhasil, dengan berhasilnya pasukan militer Jepang menguasai Balikpapan, maka seluruh fasilitas minyak di Hindia Belanda dikuasai.   Apalagi menurut data yang diperoleh Noor Cholis dalam artikelnya di web kita beberapa waktu lalu, Jepang sebetulnya masuk ke kancah perang hanya dengan memiliki cadangan minyak cukup untuk dua tahun.

Sedemikian rupa vitalnya kebutuhan Jepang akan cadangan dan persediaan minyak, sehingga kekalahan Jepang di Asia Pasifik pada 1945 menyusul direbutnya kembali Filipina, Birma dan Iwojima, sebenarnya karena cadangan dan persediaan minyak Jepang sudah habis dan ludes. Praktis sebagian besar kilang di Jepang sudah kehabisan minyak.

Karena itu menarik berita Kompas 9 Mei 2010 lalu, ketika TNI Angkatan Laut kita melalui Operasi Saber Ranjau, berhasil menemukan ranjau anti kapal pendarat sisa Perang Dunia II.

Yang menarik, ranjau antikapal pendarat Jepang  sepanjang 1,5 meter dan berbobot 400-500 kilogram tersebut serta berkekuatan ledak dalam radius 300 meter tersebut, diketemukan di Desa Sendangmulyo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Yang lebih mengerikan lagi, seperti informasi Komandan Satuan Tugas  Latihan Penyapu Ranjau TNI AL Kolonel Bennny Sukandari, ranjau tersebut masih aktif. Jika dipicu melalui sentuhan maupun getaran, maka akan menghancurkan benda di radius terdekat.

Apa yang bisa dibaca dari kejadian ini? Pertama, lokasi geografis Jawa Tengah itu sendiri. Selama ini Jawa Tengah merupakan wilayah sumberdaya alam seperti minyak dan gas dan kayu jati. Bahkan kawasan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan pintu masuk dan pintu keluar negeri minyak dan gas bumi seperti Cepu di Jawa Tengah dan Bojonegoro di Jawa Timur.

Maka, temuan adanya ranjau antikapal yang dipasang Jepang sekitar 1942, membuktikan bahwa Jepang memang dengan segala cara berusaha mengamankan negara-negara yang masuk kategori kaya minyak dan gas bumi. Dan memasang ranjau antikapal di Rembang, Jawa Tengah baru-baru ini, merupakan salah satu bukti kegiatan militer Jepang mengamankan daerah kaya minyak di Jawa Tengah tersebut terhadap pengaruh dan sergapan pasukan militer Amerika dan Inggris yang waktu itu merupakan musuh utamanya.

Betapa tidak. Menurut berbagai sumber yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, produksi minyak daerah Cepu saat meletusnya Perang Dunia Kedua 1939-1940, rata-rata sekitar 493 juta per barel per tahun. Suatu jumlah yang amat besar ketika itu. Wajar saja jika Jepang menjadikan beberapa wilayah kaya minyak di Indonesia sebagai target operasi  yang paling penting. Misalnya saja Tarakan di Kalimantan Timur, Surabaya di Jawa Timur, dan Cepu di Jawa Tengah. Semua wilayah tersebut pada 1942 berhasil direbut Jepang dari tangan Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia (Hindia Belanda).

Dalam skenario Jepang mengamankan Cepu sebagai wilayah kaya minyak, bukan tidak mungkin Jepang berencana untuk membawa minyak dari Cepu ke negaranya dengan kapal-kapal tanker melalui pelabuhan Lasem.

Sejarah Hitam Jepang di Indonesia

Di sinilah sejarah hitam Jepang di Indonesia dimulai, ketika kemudian menerapkan sistem kerja paksa (Romusha), untuk membangun tempat-tempat penimbunan minyak di dalam tanah di Desa Ngelo, Cepu. Tempat penimbunan minyak dalam tanah ini bernama Kowen dalam kosa kata Jepang. Tempat yang berfungsi untuk menyimpan resiudu kilang yang dicampur minyak mentah yang diisikan dalam kaleng 20 liter.

Melalui proses inilah Jepang kemudian mengolah minyak tersebut menjadi bahan baker pesawat dan kendaraan bermotor.

Jadi, dalam jelaslah sudah jika Jepang ke Indonesia bukan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan Belanda, melainkan karena tujuan untuk merebut daerah kaya minyak di Indonesia dari tangan Belanda yang berada dalam orbit pengaruh Amerika dan Inggris.
Betapa tidak. Untuk melayani tujuan pembangunan infrastruktur tempat penyimpanan minyak di dalam tanah maupun untuk mempertahankan daerah tersebut terhadap kembalinya Belanda dan Sekutu, Jepang telah menerapkan sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha dan terbentuknya laskar buruh perminyakan untuk berperang melawan sekutu. Hanya saja, para putra-putra Indonesia tersebut berperang tidak dengan sukarela melainkan dengan paksa. Laskar ini kelak dikenal sebagai Seinenta I.

Mengenai bahaya dari Ranjau antikapal Jepang tersebut akan kami ulas secara mendalam pada tulisan kami di lain waktu. Yang sekarang hendak kami tekankan adalah, bahwa ketika Jepang mulai terancam krisis ketersediaan minyak, maka berbagai cara akan ditempuh, termasuk dihidupkannya kembali militerisme Jepang di masa-masa mendatang.

Krisis bahan bakar memaksa Jepang untuk berbuat kreatif, bahkan jika memungkinkan, licik dan manipulatif.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com