Cina Lebih Kuat Dibanding Amerika Serikat

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto,  alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia

Persaingan antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) dalam rangka memperebutkan hegemoni pengaruhnya di beberapa kawasan terjadi di setiap lini persaingan yang memperebutkan kepentingan strategis bagi kedua negara untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, terutama terkait keamanan energi.

Persaingan antara Cina dengan AS terjadi di bidang politik dan hubungan internasional, yang dipicu oleh kebijakan luar negeri Amerika Serikat “Kembali ke Asia” dinilai untuk mengimbangi pengaruh Cina di Asia serta mencegah Cina melakukan serangan militer ke negara tetangga. Hal ini kemudian direspons oleh Cina dan sekutunya, dalam rangka menciptakan poros Iran-Cina-Rusia berhadapan dengan kekuatan AS dan sekutunya, Eropa.

Proxy war” telah terjadi diantara kedua negara dengan mengklaim terjadi serangan hacker dari masing-masing pihak. Sebuah perusahaan keamanan komputer asal AS, Mandiant mengeluarkan laporan pada 18 Februari 2013, bahwa sebuah unit militer rahasia Cina yang berbasis di Shanghai berada dibalik serangan hacker yang menimpa sejumlah perusahaan AS. Mandiant menyebutkan, unit militer itu telah mencuri data ratusan terabyte dari berbagai industri AS. Sementara itu, Cina membantah berada dibelakang hacker, dan menyatakan AS adalah sumber serangan hacker yang menimpa Cina.

Harian berbahasa Mandarin, Yindunixiya Shangbao memberitakan Presiden AS, Barrack Obama menyatakan, sebagian serangan dunia maya terhadap sejumlah perusahaan AS  disponsori oleh Cina. Untuk itu, Kongres AS perlu segera menyetujui untuk memperkuat keamanan jaringan internet AS, namun tetap menjamin kebebasan sipil. Tak ayal, tudingan atau tuduhan AS telah membuat Cina “sewot. Melalui Jubir Kemenlu Cina, Hong Lei menegaskan, kejahatan di dunia maya adalah masalah internasional dan harus diselesaikan melalui kerjasama multilateral berdasarkan saling kepercayaan dan rasa hormat.

Persaingan di bidang ekonomi menunjukkan Cina lebih superioritas dibandingkan AS. Komisi Perdagangan Internasional (International Trade Commission) AS mengumumkan akan menyelidiki produk 3G dan 4G produksi Huawei Technologies Co, Ltd, China, Zhongxin Telecom (ZTE) Co, Ltd China, Samsung Group Korea dan Nokia Corporation, apakah melanggar hak paten perusahaan AS ataukah tidak. Sebelumnya, pada 2012 AS pernah mengeluarkan peringatan terhadap Huawei dan ZTE atas kecurigaan mereka adanya perangkat pengintai dalam produk elektronik Cina. Sedangkan, di London, Inggris, UK Financial Times melaporkan bahwa defisit perdagangan AS terhadap Cina bukan US $ 176 miliar, melainkan US. $ 1.310 miliar. Penelitian ini akan dapat melemahkan suara dalam negeri AS yang menyebut Cina sebagai “manipulator mata uang”.

Kedigdayaan Cina di bidang ekonomi dibandingkan AS semakin terlihat ketika perusahaan Cina menjadi operator strategis Pelabuhan Gwadar yang terletak di dekat Selat Hormuz serta merupakan pelabuhan paling sibuk untuk jalur pelayaran minyak, sejak Februari 2013. Cina menanamkan investasi sebesar US $ 250 juta untuk mengambil alih operasional perusahaan dalam rangka meraih keuntungan yaitu mengurangi biaya pengiriman barang dari Cina ke Timteng dan Afrika. Namun, langkah Cina juga dapat diartikan memberkan warning kepada AS bahwa geopolitik utama Cina telah dialihkan ke kawasan Asia Pasifik. Pada saat bersamaan, AS meningkatkan kekuatan militernya di Singapura dan Filipina. Di New York, AS, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Lin Yifu mengatakan, perekonomian Cina mampu tumbuh 8% per tahun selama 20 tahun ke depan, namun Cina harus melakukan reformasi.
Harian berbahasa Mandarin, Yinni Xingzhou Ribao melaporkan, periode Januari s/d November 2012, investasi langsung Cina ke luar negeri (merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai US $ 62,5 miliar (naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar US $ 102,4 miliar (naik 18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar US $ 128,8 miliar (naik 12,9%). Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Cina akan mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina akan menjadi negara hegemonik baru.

Persaingan kedua negara juga memaksa mereka terus menerus meningkatkan kemampuan militernya untuk meminimalisir situasi yang tidak terduga. Di Beijing, Cina, Pejabat Urusan Luar Negeri Kemlu Cina, Qian Linhua mengatakan, perkembangan kerjasama Rusia, AS dan Eropa mengalami kemajuan dalam menjaga keamanan internasional, namun perjuangan menyelesaikan persoalan Laut Cina Selatan harus menguntungkan Cina. Qian Linhua menegaskan, Kemhan Cina fokus menyiapkan langkah dan strategi memperkuat militer mereka. Sementara itu, media massa Mandarin, Renmin Ribao melaporkan, Presiden AS Barrack Obama telah menandatangani persetujuan anggaran bagi sektor pertahanan dengan nilai mencapai US $ 633 miliar, mencakup klausul tentang Kepulauan Senkaku/Diaoyu dan penjualan pesawat tempur F-16 C/D kepada Taiwan.

Cina Lebih Kuat

Perkembangan skenario global terutama dipengaruhi oleh faktor kemunduran hegemoni AS yang memicu terjadi kompetisi strategis antara AS dan Cina.  Kemunduran hegemoni AS ditandai terjadinya stagnasi ekonomi sejak tahun 2008. Stagnasi ekonomi ini membuat semakin besarnya defisit anggaran dan perdagangan AS yang melemahkan posisi mata uang dollar sebagai mata uang internasional dibandingkan yuan. Kemunduran hegemoni AS ini juga diikuti dengan terjadi kompetesi strategis antara AS dan Cina, terutama di sektor keamanan energi. Manuver Cina mencari minyak dan gas dari Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara bersinggungan dengan kepentingan liberalisasi ekonomi dan politik AS di wilayah ini.

Salah satu kunci Cina lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi Jinping (Presiden Cina) dan Li Keqiang (PM Cina), maka Cina-Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Cina dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism. Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.

Cina dalam menerapkan prinsip nasionalisme kultural tetap menganggap orang-orang diluar Zhungguo (Cina) adalah barbar dengan sebutan yang tidak enak seperti ”Yang Guizi atau Guilao”, ”Fanyin” atau ”Fangui”. Meskipun demikian, persaingan memperebutkan hegemoni pengaruh ini tidak akan menyeret keduanya melalui perang.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com