Dampak Strategi Perluasan Jejaring Jamaah Anshorut Tauhid (JAT)

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia

Munculnya terorisme dan radikalisme tidak bisa dilepaskan dari adanya efek negatif dari globalisasi itu sendiri, khususnya terkait dengan langkah Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya untuk memainkan peranan penting dalam menentukan peta politik dan ekonomi dunia. Oleh karena itu, tidaklah menjadi aneh jika kemudian Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara sekutunya menjadi sasaran terorisme, hal ini disebabkan karena pasca pecahnya Uni Soviet, maka Amerika Serikat harus menciptakan “musuh baru yang menjadi musuh bersama” dimana dalam hal ini mereka menunjuk kepada Islam sebagai “musuh baru” tersebut, dan ini sesuai dengan tesis Samuel Huntington dalam “The Clash of Civilization” yang menyatakan bahwa pasca keruntuhan komunis, maka Islam menjadi musuh Barat.

Sejauh yang sudah terjadi selama ini, AS dan beberapa negara sekutunya sangat berkepentingan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik dalam negeri dunia ketiga. Bukan itu saja, AS tidak jarang melakukan tindakan militer untuk melindungi kepentingannya. Dengan kiprah dan sepak terjang dalam percaturan politik dunia yang dominan itu, menyebabkan ketergantungan dunia ketiga terhadap AS sangat besar, sehingga sangat susah untuk keluar dari dominasi dan hegemoni AS, karena jaring-jaring kepentingan AS yang sudah merasuk ke dalam berbagai sendi kehidupan bernegara.

Tragedi 9/11 memunculkan perubahan paradigma tentang “keamanan dan ancaman nasional”, khususnya bagi AS dan negara-negara sekutunya, dimana kelompok hawkish kemudian berhasil memaksa Presiden George W Bush untuk merealisasikan doktrin “pre emptive strike”, sebuah doktrin yang membenarkan AS untuk menghancurkan pihak manapun yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan nasional mereka artinya siapapun atau negara manapun yang oleh AS dianggap “mengancam” harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.

Sejak 1980-an, terorisme sudah menjadi salah satu istilah yang populer, disamping istilah “fundamentalisme”, “radikalisme” dan “militanisme” yang umumnya dipopulerkan oleh para pakar sosial politik Barat, yang kemudian disebar luaskan oleh media massa tanpa berusaha untuk mencari makna dari istilah-istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut umumnya dikaitkan dengan tingkah laku politik sebagian besar komunitas Timur Tengah yang berkonotasi negatif, dalam arti tidak disukai Barat. Dengan kata lain, setiap tindakan yang sebenarnya bersifat reaktif yang dilancarkan warga Timur Tengah yang tidak sejalan atau bertentangan dengan kepentingan Barat, khususnya AS akan disebut terorisme.

Menurut Tom Pyszczynski, Sheldon Solomon dan Jeff Greenberg, Pasca 9/11 juga menimbulkan reaksi baik secara langsung ataupun tidak langsung.  Reaksi tidak langsung atau proximal reactions antara lain terjadi penyangkalan bahwa teroris tidak akan menyerang AS lagi, munculnya paranoid, munculnya sikap kontra teror dalam masyarakat, membuat film-film yang menunjukkan keperkasaan AS dalam rangka “lari dari ancaman teroris”, mengesampingkan kemerdekaan dalam arti bersedia untuk diperiksa, sabar menanti antrian dll.

Sedangkan reaksi yang langsung atau distal reactions adalah sebagai berikut: pertama, mulai mempertanyakan mengapa terorisme menyerang AS dan mengapa orang membenci AS ? hal ini menimbulkan reorientasi terhadap nilai-nilai AS atau keagamaan ditandai dengan meningkatnya penjualan kitab suci. Kedua, mengintensifkan rasa patriotisme dan nasionalisme, namun bukan sejati hanya untuk melindungi diri serta jika ada pengamat atau politisi yang mengeluarkan statement tidak sesuai dengan mainstream akan dilecehkan dan dijadikan musuh, dinilai tidak patriotik atau “menyalip di tikungan”. Ketiga, mengintensifkan biogetry dimana non white people dan non Christian menjadi sasaran hujatan dll di AS dan akibatnya kohesi sosial menjadi menurun di AS. Sekarang ini, biogetry sudah mulai hilang di AS, namun masih ada “hate”. Keempat, mengintensifkan perilaku yang mau berkorban untuk orang lain (tendensi altruistik) serta adanya pencarian sosok pahlawan baru. Disamping itu, masih ada gejala “us” dan “them”, sehingga kekerasan tetap muncul di AS.

Jihad di beberapa wilayah Timur Tengah mengalami perkembangan yang cukup signifikan pasca 11 September 2001. Tapi, pada dasarnya ideologi jihad  telah lama tersebar disana, begitupun jamaah-jamaah yang telah mengadopsi jihad sebagai jalan perjuangan.

Abu Mu’shab As-Suri mencatat, dalam perang Afghanistan-Rusia, banyak pemuda dari berbagai negara di Timur Tengah yang datang ke Afghanistan untuk berjihad. Sebagian mereka  ada yang sebagai pribadi, namun kebanyakan dari anggota berbagai jamaah jihad. Pasca perang Afghanistan, sebagian dari mereka berpindah ke medan jihad lainnya seperti Chechnya dan Dagestan. Namun, banyak juga yang kembali ke negaranya. Ini menunjukkan bahwa kader jihad telah ada dan merata di banyak negara Timur Tengah.

Oleh karena itu, ancaman terorisme ke depan tetap merupakan ancaman yang sangat mematikan, apalagi tidak menutup kemungkinan kalangan teroris sekarang sudah menguasai bio terorisme dan lain-lain. Apabila sikap sebuah bangsa atau negara yang kurang tegas terhadap ancaman teroris, maka mereka akan menjadi sasaran empuk teror apalagi oleh kalangan teroris, wilayah Asia Tenggara sebagai “the second front” perjuangan mereka.

Perkembangan di tingkat internasional tersebut, akhirnya juga terjadi di dalam negeri, di mana elit politik yang memiliki kekuasaan dengan memanfaatkan wewenang dan kedudukannya untuk melakukan penumpukan kekuatan ekonomi melalui korupsi, kolusi, nepotisme, grativikasi dll.

Indonesia pasca kejadian WTC telah menjadi mitra koalisi dalam memerangi terorisme bersama dengan Amerika Serikat. Salah satu bentuk respons cepat juga telah dilakukan Indonesia khususnya dengan mengeluarkan UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terutama pasca kasus bom Bali.

Perkembangan situasi dan kondisi baik di tingkat internasional maupun nasional tersebut, telah menjadi trigger atau pemicu bagi organisasi semacam JAT berubah menjadi gerakan yang mencoba mempromosikan Islam secara kaffah dalam rangka merespons situasi dan kondisi tersebut dengan gencar mempromosikan atau memperjuangkan dasar-dasar negara harus berdasarkan syariat Islam, di mana ambisi ini mendapatkan simpatisan dan dukungan dari elit politik dan massa Islam dari kelompok organisasi tertentu yang selama ini berjuang mewujudkan negara Indonesia menjadi negara Islam.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com