AS dan Israel Dalang di Balik Demo Massa di Iran(?)

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Laporan berita baru-baru ini menunjuk pada apa yang disebut “rencana rahasia” untuk menghancurkan Iran dan merupakan tahapan awal dari apa yang disebut sebagai Revolusi Warna.

Faktanya adalah bahwa rencana untuk melakukan perang terhadap Iran telah terpampang di papan gambar Pentagon sejak pertengahan tahun 1990an sebagaimana diungkap guru besar emeritus Universitas Ottawa yang juga peneliti Global Research, Michel Chossudovsky, dalam sebuah artikel tahun 2010 silam.

Kenapa Menargetkan Iran?

Demontrasi yang terjadi di Iran belakangan ini patut dicermati secara seksama. Apakah aksi tersebut murni lahir dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Iran ataukan memang ada campur tangan asing sebagaimana klaim Rusia bahwa AS terlibat turut andil dalam aksi di negeri Mullah tersebut.

Hal yang patut dicermati, sebagaimana ulasan penulis sebelumnya bahwa persiapan perang untuk menargetkan berada dalam keadaan siap. Sistem senjata berteknologi tinggi termasuk hulu ledak nuklir telah dikerahkan sepenuhnya, terutama oleh AS dan sekutu-sekutunya.

Peta jalan peperangan global sejak lama sudah dibuat oleh Pentagon pada pertengahan 1990an. Irak berhasil “dikondisikan” terutama oleh pemerintahan Bush pada saat itu dan kemudian Iran sesuai dengan dokumen Komando Sentral AS 1995 yang telah direklasifikasi.

Eskalasi merupakan bagian dari agenda militer. Sementara Iran pada 2010, merupakan target berikutnya bersama dengan Suriah dan Lebanon, penempatan militer strategis ini juga mengancam Korea Utara, China dan Rusia. Sayangnya, Iran hingga kini masih kokoh dan sulit untuk dihancurkan.

Sejak tahun 2005, AS dan sekutu-sekutunya, termasuk mitra NATO Amerika dan Israel, telah terlibat dalam penyebaran dan penumpukan sistem persenjataan canggih. Sistem pertahanan udara AS, negara anggota NATO dan Israel terintegrasi sepenuhnya.

Ini adalah usaha terkoordinasi Pentagon, NATO, Angkatan Pertahanan Israel (IDF), dengan melibatkan militer aktif beberapa negara mitra non-NATO termasuk negara-negara Arab, yang tergabung dalam Dialog Mediterania dan Inisiatif Kerjasama Istanbul), Arab Saudi, Jepang, Korea Selatan, India, Singapura, Australia, bahkan Indonesia. NATO terdiri dari 28 negara anggota dimana 21 negara lainnya adalah anggota Dewan Kemitraan Euro-Atlantik (EAPC), Dialog Mediterania dan Inisiatif Kerjasama Istanbul yang mencakup sepuluh negara Arab plus Israel.

Peran Mesir, negara-negara Teluk dan Arab Saudi (dalam aliansi militer yang diperluas) sangat relevan. Mesir mengendalikan transit kapal perang dan kapal tanker minyak melalui Terusan Suez. Arab Saudi dan negara-negara Teluk menempati garis pantai barat selatan Teluk Persia, Selat Hormuz dan Teluk Oman. Pada awal Juni 2010 silam, “Mesir dilaporkan mengizinkan satu kapal Israel dan sebelas kapal A.S. untuk melewati Terusan Suez … sebuah sinyal yang jelas diarahkan ke Iran. … Pada tanggal 12 Juni, media-media setempat melaporkan bahwa Saudi telah memberi Israel hak untuk terbang di atas wilayah udaranya … “(Muriel Mirak Weissbach, Israel’s Insane War on Iran Must Be Prevented., Global Research, July 31, 2010)

Dalam doktrin militer pasca 9/11, penyebaran perangkat keras militer secara besar-besaran ini telah didefinisikan sebagai bagian dari apa yang disebut “Perang Global Melawan Terorisme”, yang menargetkan organisasi teroris “non-negara” termasuk al Qaeda dan mereka yang dianggap sebagai “sponsor negara terorisme”, seperti Iran, Suriah, Lebanon, Sudan.

Pembentukan basis militer baru AS, penumpukan sistem senjata canggih termasuk senjata nuklir taktis, dan lain-lain dilakukan sebagai bagian dari doktrin militer defensif yang bersifat pre-emptive di bawah payung “Perang Global Melawan Terorisme”.

Perang dan Krisis Ekonomi

Implikasi yang lebih luas dari serangan yang dilakukan AS bersama NATO dan Israel terhadap Iran jauh jangkauannya. Namun yang patut dicatat adalah bahwa perang dan krisis ekonomi sangat erat kaitannya. Perekonomian perang dibiayai oleh Wall Street, yang berdiri sebagai kreditor pemerintah AS. Produsen senjata AS adalah penerima kontrak pengadaan jutaan dolar AS untuk sistem persenjataan canggih. Pada gilirannya, “pertempuran untuk minyak” di Timur Tengah dan Asia Tengah secara langsung berkepentingan dengan raksasa minyak Anglo-Amerika.

AS dan sekutu-sekutunya tengah “menabuh genderang perang” pada puncak depresi ekonomi dunia, belum lagi bencana lingkungan yang paling serius dalam sejarah Dunia. Buktinya, salah satu pemain utama di papan catur geopolitik Timur Tengah Tengah, yang sebelumnya dikenal dengan Anglo-Persian Oil Company, adalah aktor di balik bencana ekologis di Teluk Meksiko.

Sebagaimana penulis paparkan dalam artikel sebelumnya bahwa saat ini Iran memang menjadi target langsung pemerintahan presiden AS Donald Trump dan menjadi agenda militer global. Hal ini ditandai dengan ditempatkannya pasukan AS yang bukan hanya terkonsentrasi di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Pengerahan pasukan koalisi dan sistem persenjataan canggih oleh AS, NATO dan mitranya terjadi bersamaan hampir di semua wilayah utama di dunia.

Maka, seperti dalam salah satu simpulan dari seminar terbatas GFI belum lama ini, sepak terjang militer AS di lepas pantai Korea Utara termasuk adanya perang di kawasan memang sepertinya menjadi bagian dari desain global itu.

Simpulan GFI itu sangat beralasan, mengingat dalam mengimbangi pengaruh dan kekuatan Rusia dan Cina di kawasan misalnya, AS, NATO, termasuk adanya latihan militer sekutu atau latihan perang, penyebaran senjata, dan lain-lain dilakukan secara bersamaan di lokasi yang selama ini menjadi hotspot geopolitik utama.

Sebut saja misalnya bahwa apa yang terjadi di Semenanjung Korea, Laut Jepang, Selat Taiwan, Laut Cina Selatan sangat mengganggu kepentingan Cina. Begitu juga dengan penyebaran rudal Patriot di Polandia, pusat peringatan dini di republik Ceko, termasuk penyebaran angkatan laut di Bulgaria dan Rumania di Laut Hitam yang berpotensi mengancam Rusia. Belum lagi penyebaran pasukan AS dan NATO di Georgia dan penempatan angkatan laut yang tangguh di Teluk Persia termasuk kapal selam Israel yang sengaja diarahkan untuk menyerang Iran.

Pada saat bersamaan apa yang terjadi di Mediterania Timur, Laut Hitam, Karibia, Amerika Tengah dan wilayah Andean di Amerika Selatan adalah wilayah militerisasi yang saat ini sedang berlangsung. Adapun, di Amerika Latin dan Karibia, ancaman diarahkan terhadap Venezuela dan Kuba.

Dari gambaran di atas, maka jelas bahwa setelah AS-Israel dan sekutu-sekutunya berhasil menargetkan Iran, sasaran “tumbal” berikutnya adalah Rusia dan Cina yang memang kerap mendukung Iran dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh AS, Israel dan sekutu-sekutunya. Maka menyusul situasi yang terjadi di Teheran saat ini, Rusia melalui Kementerian Luar Negeri secara tegas mengatakan adanya campur asing–AS dan Israel melalui CIA dan Mossad–dan menyatakan, situasi di Iran mengkhwatirkan dan tidak dapat diterima.

“Interferensi eksternal (dalam urusan internal Iran) yang dapat mengganggu kestabilan situasi tidak dapat dibenarkan,” kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Sputnik belum lama ini. Patut kita tunggu, apakah AS, Israel dan sekutu-sekutunya terutama melalui CIA dan Mossad memang dalang di balik semua aksi demo massa dan destabilitas yang terjadi di Iran.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com