Dengan Anggaran Sebesar 183,6 Miliar Dolar AS, Amerika Serikat Mengembangkan Perang Biologis di Asia-Pasifik?

Bagikan artikel ini

Selasa 25 Februari lalu, situs berita Warta Ekonomi mewartakan bahwa Presiden AS Donald Trump meminta kepada Kongres agar menyetujui tambahan anggaran sebesar 2,5 miliar dolar AS, dengan dalih untuk perang menghadapi virus corona.

Lebih lanjut dikatakan oleh Gedung Putih, sekitar 1 miliar dolar AS dari anggaran tersebut akan digunakan untuk mengembangkan vaksin dan sisanya untuk terapi serta pembelian alat pelindung pribadi seperti masker.

Nampaknya pemerintah AS memanfaatkan betul bencana yang sedang diderita oleh Cina menyusul penyebaran wabah virus corona di Wuhan, Cina, sejak Januari lalu, untuk mewujudkan dan mengembangkan agenda strateginya sendiri.

Seperti dikatakan juru bicara Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih, Rachel Semmel, rencana dana tambahan sebesar 2,5 miliar dolar AS tersebut ditujukan untuk mempercepat pengembangan vaksin, mendukung kesiapsiagaan dan kegiatan respons, serta untuk pengadaan peralatan dan pasokan yang sangat dibutuhkan. Begitu menurut versi resmi Washington.

Sisi menarik dari Permintaan Trump kepada kongres terkait dana tambahan anggaran sebesar 2,5 miliar dolar AS untuk memberantas virus corona, bukan pada jumlah anggaran yang diminta pihak Gedung Putih. Permintaan Trump tersebut mengundang kesan bahwa peristiwa penyebaran wabah virus corona merupakan force major yang berada di luar prediksi pemerintah AS. Seakan-akan, fenomena  virus corona atau COVID-19 yang berawal dari Wuhan Cina, merupakan bencana nasional yang sebelumnya di luar perhitungan para perancang strategis keamanan nasional di Washington. Benarkah demikian?

Sama sekali tidak.  Sebuah situs yaitu https://comptroller.defense.gov/Portals/45/Documents/defbudget/fy2020/budget_justification/pdfs/01_Operation_and_Maintenance/O_M_VOL_1_PART_2/CTR_OP-5.pdf menginformasikan bahwa ada anggaran sebesar 183,6 miliar dolar AS yang dialokasikan sebagai anggara untuk Presiden AS. Yang menarik dari fakta yang dirilis oleh situs tersebut di atas adalah, bahwa jumlah anggaran sebezsar 183,6 miliar dolar AS tersebut dialokasikan untuk program pengembangan senjata pemusnah massal atau Weapon of Mass Destruction (WMD), yang berada dalam naungan program kementerian pertahanan (Pentagon) bernama Cooperative Threat Reduction (CTR).

Dalih yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan AS James Mattis pada 2017 lalu, Program Pentagon bernama CTR ini merupakan perangkat Pentagon yang paling komprehensif dan efektif untuk menangkal ancaman nasional yang menggunakan senjata pemusnah massal(to mitigate WMD-related threats). Dan program CTR ini erat kaitanya dengan Doktrin Pentagon yang bernama The National Security Stratetgy yang dirilis pertama kali pada 2017 lalu.

Adapun program CTR yang merupakan salah satu penjabaran dari skema the National Security Strategy Doctrine AS, bertumpu pada dua agenda strategis. Pertama, memperkuat persekutuan negara-negara yang selama ini sudah terjalin dengan AS seperti negara-negara NATO. Kedua, menarik minat negara-negara baru sebagai mitra atau sekutu baru AS.

Ditegaskan melalui skema the National Security Strategy maupun program CTR: Strengthening Alliances and Attracting New Partners) and DoD Geographic Combatant Command (GCC) priorities – namely, building partner capacity to counter the proliferation of Weapons of Mass Destruction.

 Jadi itulah kalimat kuncinya. Membangun kapasitas negara-negara sekutu baru AS dengan dalih untuk menangkal atau mencegah perluasan dari apa yang Pentagon sebut sebagai Senjata Pemusnah Massal.

Salah satu segi yang perlu diwaspadai oleh negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) termasuk Indonesia, program CTR telah mencanangkan akan menghadang ancaman trans-nasional tersebut dengan menggalang kerjasaman membangun capacity building dengan dengan negara-negara mitra/sekutunya, untuk mencegah meluaskan senjata pemusnah massal.

Baca selengkapnya:  Fiscal Year (FY) 2020 President’s Budget Operation and Maintenance, Defense-Wide Cooperative Threat Reduction Program

Berbicara mengenai senjata pemusnah massal, dengan merujuk pada sepak-terjang AS di Indonesia melalui keberadaan Laboratorium bertujuan ganda bernama NAMRU-2 AS, maka program CTR yang berada dalam naungan Pentagon tersebut, patut kita waspadai agar laboratorium ala NAMRU-2 AS jangan sampai terulang kembali di Indonesia.

Sebab ketika kita menyorot tentang Senjata Pemusnah Massal, maka kita bicara mengenai fungsi virus sebagai bahan dasar untuk membuat senjata biologis. Dan senjata biologis, pada perkembangannya, bisa menjelma menjadi salah satu jenis senjata pemusnah massal seperti dimaksud dalam skema the National Security Strategy dan Program CTR seperti dimaksud di awal tulisan tersebut di atas.

Ketika NAMRU-2 AS berhasil terbongkar kedoknya sebagai sarang operasi intelijen Angkatan Laut AS untuk pengiriman virus H5-N1 dari Indonesia ke luar negeri dengan memanfaatkan hak kekebalan diplomatik para karyawan NAMRU-2, maka terbukti sudah bahwa apa yang diklaim oleh pihak Pentagon sebagai program untuk menangkal meluasnya senjata pemusnah massal, pada kenyataannya justru Pentagon memanfaatkan kerjasama kesehatan antara RI-AS sebagai sarana untuk program pengembangan senjata biologis di Los Alamos, AS.

Pada saat para anggota Komis I DPR-RI mendatangi Kompleks Laboratorium Namru-2 AS, setidaknya ada 20 warga negara AS yang bekerja sebagai peneliti bersama 168 warga negara Indonesia. Laboratorium Namru-2 yang seluas 150 ribu kaki persegi itu, beralamat di jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.

Gedung Laboratorium yang secara resmi milik Kementerian Kesehatan itu, jadi semakin misterius dan mencurigakan ketika Menteri Kesehatan saat itu, Ibu Siti Fadila Supari, tidak diizinkan masuk pada 2008 lalu. Hal ini jelas mengindikasikan ada sesuatu rahasia yang disembunyikan oleh pemerintah AS, terutama oleh pihak Angkatan Laut AS.

Memang kelak terbukti kecurigaan Menteri Kesehatan Supari memang cukup beralasan. Transfer virus H5N1 yang tidak transparan dan illegal dengan berlindung pada status kekebalan diplomatik karyawan Namru-2 yang berkewarganegaraan AS, ternyata selain untuk tujuan komersial kepentingan korporasi farmasi global yaitu pembuatan vaksin, juga sebagai bahan membuat senjata biologis.

Dengan demikian, kiprah dan sepak-terjang laboratorium bertujuan ganda ala Namru-2, bukan saja harus diwaspadai dan dicegah keberadaannya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara ASEAN maupun Asia Timur. Sebab sebelum beroperasi di Indonesia, Namru-2 atau Navy Medical Research Unit Two ternyata pernah beroperasi juga di setidaknya tiga negara.

Awalnyta, Namru-2 didirikan Angkatan Laut AS dengan bekerjasama dengan Rockefeller Institute di Guam, salah satu pangkalan militer AS di Pasifik selama Perang Dunia II. Pada 1955, Komando Namru-2 dipindahkan ke Taipei, Taiwan, yang ketika itu masih berada di bawah perlindungan politik AS

Menyusul jatunya Presiden pertama RI Sukarno, pada 1968 pihak AS mulai membicarakan rencana mendirikan semacam laboratorium cabgn setingkat detasemen untuk Namru-2 di Jakarta. Detasemen ini dimaksudkan untuk memudahkan penelitian mengenai penyebaran virus penyakit di kawasan Asia Tenggara. Pada 1974, laboratorium cabangt itu pun resmi berdiri di Jakarta. Sedangkan pada 1979, pemerintah AS memindahkan laboratorium pusat NAMRU-AS ke Manila, Filipina.

Cerita soal Namru-2 ini tidak berhenti sampai di situ saja. Pada 1990, setelah melalui serangkaian pembicaraan antara Angkatan Laut AS dan Departemen Luar Negeri AS, maupun dengan Departemen Kesehtan dari pihak Indonesia, laboratorium Komando Namru-2 resmi dipindahkan ke Jakarta dengan dalih untuk mendukung kepentingan riset kesehatan AS dan menjadi salah satu mesin diplomatic AS di Asia Pasifik.

Sebagai sarang operasi intelijen angkatan laut, Namru-2 nampaknya cukup efektif dengan berkedok sebagai sebuah laboratorium penelitian wabah penyakit dan penyebaran virus. Betapa tidak. Dengan berkedok sebagai laboratorium yang berkegiatan mencari informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan penyebaran virus dan wabah penyakit, intelijen Angkatan Laut AS bisa mengumpulkan informasi maupun pemetaan lapangan.

Misalnya pada saat terjadi tsunami di Aceh pada 2004 lalu, Namru-2 sebagai laboratorium yang resminya meneliti penyebaran virus dan wabah penyakit, Namru-2 ke Aceh melakukan penelitian terkait kemungkinan penyebaran wabah penyakit pasca gempa tsunami. Patut diduga, melalui sarana ini, intelijen Angkatan Laut AS melancarkan Operasi Pengintaian Tersembunyi.

Meskipun tidak lagi bernama Namru-2, keberadaan dan kemungkinan beroperasinya kembali laboratorium bertujuan ganda ala Namru-2 AS, nampaknya patut diwaspadai dan perlu diambil langkah-langkah strategis untuk mencegahnya. Apalagi saat ini Namru-2 telah mengembangkan aktivitas penelitian dan laboratoriumnya di beberapa negara lain di Asia Tenggara (ASEAN) seperti Laos, Singapura, Thailand, Kamboja dan Vietnam.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com