Diplomasi Koboi ala Trump di Rusia Ibarat Macan Ompong

Bagikan artikel ini

Penasehat keamanan nasional AS John Bolton adalah seorang Russophobia, seorang pejabat negara yang pro-perang, dan anti-perdamaian dan stabilitas.

Direktur Center for Arms Control dan Non-Proliferasi Alexandra Bell sebelumnya mengatakan Pompeo dan Bolton sejatinya mencerminkan kebijakan luar negeri neo-konservatisme yaitu aliran politik yang lahir di AS pada tahun 1960-an terus mewarnai kebijakan luar negeri AS hingga saat ini.

Februari lalu, sesaat sebelum penunjukkannnya sebagai penasihat keamanan nasional, Bolton menyerukan serangan cyber anti-Rusia yang sangat tidak proporsional. Dia mendesak Trump untuk membiarkan Putin “mendengar gemuruh artileri dan jalur tank NATO, melakukan lebih banyak latihan lapangan bersama dengan militer Ukraina” dekat perbatasan Rusia.

Sebelum menjadi penasihat keamanan nasional Trump, dia mendesak perlu dilancarkankannya teror bom terhadap Iran dan Korea Utara. Bahkan pemberian sanksi kepada kedua negara yang selama ini menjadi musuh AS saja tidak cukup, apalagi diplomasi yang menurutnya hanya “buang-buang waktu.”

Bolton mengklaim “Iran tidak akan merundingkan program (senjata) nuklirnya” yang tidak ada dan mendesak dilakukannya “aksi militer seperti serangan Israel tahun 1981 terhadap reaktor Osirak milik Saddam Hussein di Irak …”

Dia mengatakan juga bahwa langkah Washington untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara adalah demi meluluhlantakkan negara komunis tersebut.

Sumber Russia Today mengatakan penasehat keamanan nasional AS tersebut telah meledakkan hubungan Rusia-AS. Selama dua hari di Moskow topik pembahasan adalah seputar hubungan kedua negara. Ia pertama kali bertemu dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev.

Dalam kaitan ini Kremlin mengatakan “Dalam konteks pengumuman Presiden AS Donald Trump baru-baru ini tentang niat AS untuk mundur dari Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty, pihak Rusia sekali lagi menyuarakan posisi utamanya akan pentingnya mempertahankan perjanjian yang berlaku, dan juga menyuarakan kesiapannya untuk bekerja sama dalam menghilangkan klaim timbal balik terkait dengan implementasi perjanjian tersebut.”

Patrushev mengatakan bahwa risiko penarikan diri AS dari perjanjian tersebut berpotensi merusak keamanan dan stabilitas internasional, dan “akan menjadi pukulan berat bagi seluruh sistem hukum internasional non-proliferasi dan kontrol atas senjata.”

Namun dalam kenyataan selama ini, harus diakui bahwa Washington dan Moskow sama-sama belum bisa menaruh kepercayaannya satu sama sama lain. Sepertinya hampir tidak ada peluang untuk memperkuat kerja sama bilateral dan bahkan hubungan kedua negara cenderung memburuk.

Salah satu buktinya adalah tindakan provokatif NATO di dekat perbatasan Rusia, menggunakan Ukraina sebagai platform anti-Rusia, sembari menuduh Kremlin sebagai pihak yang bersalah dan meninggalkan perjanjian ABM, JCPOA, dan INF. Termasuk juga mendorong terciptanya konfrontasi AS dengan Rusia, Iran, dan Cina.

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com