Era Perdagangan Perempuan

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman – Pemerhati Masalah Internasional

Dalam rangka menyiapkan makalah untuk sebuah seminar internasional tentang perempuan yang disponsori Kedutaan Besar Iran di Jakarta, saya menelaah salah satu pidato Iranian Supreme Leader (Rahbar), Ayatullah Khamenei.  Ada hal yang menarik dalam pidato itu. Rahbar mengaitkan pandangan Barat yang salah terhadap perempuan dengan kondisi buruk perempuan pada hari ini. Barat, menurut Rahbar, memandang perempuan sebagai ‘pihak yang dimanfaatkan’ dan laki-laki sebagai ‘pihak yang memanfaatkan’.  Rahbar menyebutkan bahwa salah satu akibat dari pandangan yang salah ini,  hari ini human trafficking (perdagangan manusia), yang di dalamnya meliputi perdagangan kaum perempuan, merupakan industri yang paling cepat pertumbuhannya di dunia.

Entah kebetulan atau memang sudah demikian diatur-Nya,  saya kemudian menonton DVD berjudul  “The Whistleblower”; awalnya hanya untuk sekedar refreshing. Ternyata film itu diangkat dari kisah nyata, menceritakan seorang polisi perempuan dari AS, bernama Kathryn Bolkovac,  yang bergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB di Bosnia, tahun 1990-an. Suatu hari, Kathryn menemukan dua gadis muda dalam kondisi sangat buruk (luka-luka parah).  Rupanya, keduanya  kabur dari sebuah bar.  Kathryn pun berusaha menyelidiki kasus itu.

Ternyata,  di dekat lokasi pangkalan pasukan perdamaian PBB  itu ada sebuah bar yang penuh dengan gadis-gadis muda pekerja seks. Di dalam bar itu, Kathryn menemukan paspor-paspor gadis-gadis itu, dari berbagai negara di Eropa Timur. Selain itu, Kathryn juga mendapati foto-foto sadis: gadis-gadis itu diperlakukan dengan sangat mengerikan (saya berkali-kali memejamkan mata pada adegan-adegan ini, tidak sanggup menatapnya).  Yang membuat Kathryn shock, pelaku kekejaman yang terekam dalam foto-foto itu adalah teman-temannya sendiri, para anggota pasukan penjaga perdamaian.

Kathryn kemudian mendatangi sebuah rumah penampungan gadis-gadis terlantar. Di sanalah kedua gadis yang luka-luka tadi dirawat.  Ibu tua petugas rumah penampungan itu berujar, “Gadis-gadis ini bukan pelacur. Mereka diperlakukan seperti anjing.”

Penyelidikan Kathryn terus bergulir. Dia menemukan bahwa telah terjadi perdagangan perempuan; gadis-gadis dari berbagai negara di Eropa Timur dibawa ke Bosnia, untuk dijadikan pelacur. Dan karena mereka dianggap ‘pelacur’, maka oleh pihak PBB, kegiatan ini dilegalkan. Seperti kata pejabat PBB di Bosnia (dalam film itu), “The girls are the whores of the war. It happens.” Perlu diketahui, pada saat itu ada 21.000 tentara PBB, tentara NATO, birokrat, dan petugas administrasi yang bercokol di Bosnia, demi ‘menjaga perdamaian’. Merekalah yang menjadi pelanggan pusat-pusat seks itu.

Setelah melakukan penelaahan lebih lanjut, saya pun mengetahui bahwa ternyata dalam pandangan Barat, pelacuran adalah sesuatu yang ‘legal’, dalam arti: toh si perempuan yang memilih untuk menjual tubuh mereka; jadi, itu ‘hak’ mereka dan konsekuensinya harus mereka tanggung sendiri.

Situs ‘Not For Sale’ (sebuah jaringan global yang aktif menyerukan dihentikannya perdagangan manusia) menyebutkan bahwa perdagangan perempuan dengan tujuan seks (sex trafficking) memang sering berkedok sedang menjalankan usaha pelacuran. “Karena para pedagang seks itu berkedok pelacuran, publik tidak merasa marah,” demikian tulis situs itu. Padahal kenyataannya, kebanyakan perempuan yang diperdagangkan itu adalah gadis-gadis muda (antara 12-17 tahun). Sungguh sulit diterima, tuduhan bahwa mereka  sendiri yang ‘memilih’ untuk melacur; apalagi melacur dalam kondisi yang sangat berat (disiksa, disekap dll).

Situs ini menganalisis bahwa sex trafficking merupakan salah satu dampak buruk globalisasi. Globalisasi telah membuat manusia dengan mudah melakukan bisnis trans-nasional, melewati batas-batas negara. Kecanggihan alat komunikasi dan jaringan perbankan, membuat para pelaku sex trafficking dengan mudah bertransaksi satu sama lain, meskipun tinggal di jarak yang sangat berjauhan. Perempuan-perempuan muda dari Asia atau Eropa Timur, dengan ‘mudah’ diekspor ke berbagai negara di dunia. Pusat-pusat pelacuran dari berbagai penjuru dunia, dengan mudah mendapat suplai gadis-gadis dari negara manapun yang diinginkan, hanya dengan mengangkat telepon. Situs “Not For Sale” mencatat, dewasa ini ada lebih 30 juta manusia yang dijadikan budak di seluruh dunia (bekerja di berbagai sektor, termasuk bisnis seks).

Kembali lagi ke kisah Kathryn. Kathryn memberikan laporan kepada atasannya, mengenai kasus ini. Jawab atasannya, “Kita tidak bisa menyelidiki kasus ini. Pasukan perdamaian memiliki kekebalan diplomatik.” (!) Bahkan, tak lama kemudian, Kathryn dipecat. Seorang pejabat HAM sedang bertugas di Bosnia, Madeleine Rees, mendukung Kathryn. Dia  memprotes keputusan ini kepada pejabat PBB yang menjawab, “Kita harus melindungi organisasi ini… PBB sangat penting… dan untuk itulah perlu kekebalan diplomatik.” Rees menyanggah, “Immunity [kekebalan], bukan impunity [kebebasan dari hukum].”

Rees kemudian mendorong Kathryn (yang sudah dipecat) untuk membawa kasus ini ke media massa di Inggris. Sempat terjadi kehebohan, dan beberapa ‘oknum’ pasukan ditarik pulang, namun tidak dihukum.

Sungguh absurd. PBB, sebuah lembaga yang konon dibentuk untuk melindungi masyarakat internasional, justru menjadi salah satu pelindung dari kejahatan trans-nasional, dengan berlindung pada dogma ‘kekebalan diplomatik’. Bahkan yang lebih absurd lagi, ternyata, sebagian ‘pasukan penjaga perdamaian’ PBB di Bosnia itu statusnya adalah pegawai dari sebuah perusahaan keamanan swasta bernama DynCorp (di film, disamarkan dengan nama lain).

Jika ditelaah lebih lanjut, dalam berbagai situasi konflik, ternyata ada perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private military company/PMC) yang meraup untung raksasa. Mereka menandatangani kontrak dengan PBB, pemerintahan negara-negara Barat, atau siapa saja yang punya uang, untuk menyediakan ‘tenaga keamanan’.  Menurut buku Corporate Warriors: The Rise of the Privatized Military Industry, dewasa ini PMC beroperasi setidaknya di 50 negara di dunia.

Hukum internasional pun ternyata tidak berdaya dalam menghadapi situasi ini. Status hukum PMC masih abu-abu dan menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum internasional. Bahkan, Mahkamah Internasional belum mencantumkan PMC sebagai subyek hukum (artinya, PMC belum  bisa dituntut ke Mahkamah Internasional). Karena itulah, meski terganjal oleh kasus yang dibongkar oleh Kathryn, DynCorp hari ini tetap melenggang. Pemerintah AS pada tahun 2005 meneken kontrak jutaan dollar dengan DynCorp untuk proyek ‘penjaga perdamaian’ di Irak. Tugas mereka adalah merekrut 1000 ‘ahli keamanan sipil’ untuk diterbangkan ke Irak. Di sana, pasukan DynCorp akan ‘membantu’ warga lokal dalam menangani keamanan.

Belum ada whistleblower dari Irak yang membongkar apakah DynCorp juga melakukan perdagangan manusia di sana (atau di negara-negara lain tempat DynCorp dan perusahaan perusahaan sejenis beroperasi), namun berbagai laporan menyebutkan bahwa human trafficking juga terjadi di Irak.

Kembali ke pidato Rahbar. Uraian di atas setidaknya bisa menjadi bukti bahwa pandangan yang salah terhadap perempuan memang menjadi sumber tragedi kemanusiaan. Ketika perempuan dianggap sebagai properti yang bisa dijualbelikan, perlindungan terhadap  mereka pun dilakukan setengah-setengah dan hanya demi memenuhi tuntutan publik. Kasus sex trafficking di Bosnia hanya diperdulikan setelah ada yang berani membongkar, padahal orang dalam PBB  sudah tahu ada kasus tersebut (bahkan ikut menikmatinya). Mereka terus mencari justifikasi untuk melindungi bisnis milyaran dollar ini. Seperti justifikasi yang dikatakan pejabat PBB itu, “Gadis-gadis itu adalah pelacur dalam (situasi) perang. Itu (biasa) terjadi.”[]

Artikel ini pernah dimuat di IRIB.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com