Etnis Tatar Tetap Dimainkan Negara-Negara Blok Barat untuk Aksi Destabilisasi terhadap Rusia

Bagikan artikel ini

Pada 2014 lalu, Global Future Institute sempat menyorot secara khusus etnis Tatar yang bermukim di Crimea. Waktu itu, beberapa tokoh etnis Tatar dari seluruh dunia berkumpul di kota Bakhchysaray untuk menggelar Qurultai atau kongres yang akan memutuskan nasib sekitar 300.000 warga Tatar Muslim yang tinggal di semenanjung Laut Hitam itu.

Kongres tersebut nampaknya secara terencana dan sistematis memang dimaksdukan untuk membentuk dan menyusun gerakan separatisme menentang hasil referendum pada Maret 2014 lalu, yang mana penduduk Crimea memilih bergabung dengan Rusia.

Seperti terungkap melalui pernyataan Refat Chubarov, yang mewakili kelompok separatis etnis Tatar tersebut, bahwa mereka ingin warga Rusia di Crimea diberi hak menentukan nasibnya sendiri. Dengan kata lain, etnis Tatar yang mencakup 12 persen dari penduduk Crimea, hendak digiring untuk lepas dari kedaulatan nasional Rusia dan bergabung kembali kepada Ukraina. Seperti kita ketahui, Ukraina yang dulunya merupakan salah satu wilayah Uni Soviet, kemudian memerdekakan diri menyusul runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an dan dukungan luas dari Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.

Maka dari itu, negara-negara blok Eropa Barat seperti Jerman dan Perancis, nampaknya sangat mendukung gerakan separatisme etnis Tatar yang dilancarkan melalui berbagai forum internasional maupun propaganda pembentukan opini publik melalui beberapa media massa yang mendukung gerakan etnis Tatar.

Meskipun terkesan tidak terlalu antusias mendukung gerakan separatis etnis Tatar pimpinan Refat Chubaroy, namun secara pihak Barat berharap nampaknya menggiring etnis Tatar untuk memperlunak tuntutannya, agar mencapai kesepakatan membentuk pemerintahan otonomi luas, daripada terlalu bersikukuh pada untutan pengembalian Crimea ke wilayah Ukraina.

Dalam pertimbangan negara-negara blok Eropa Barat, etnis Tatar pasca tumbangnya Uni Soviet memiliki hubungan baik dengan pemerintah pusat di Kiev, Ukraina. Sejumlah tokoh Tatar seperti Dzhemilev pernah menjadi anggota parlemen Ukraina dan Majelis Tatar juga memiliki hubungan baik dengan berbagai partai pro pemerintah pusat Ukraina.

Kira-kira begitulah dalih yang menjadi dasar dukungan negara-negara Blok Barat mendukung otonomi luas Tatar. Namun pada prinsipnya tetap saja, Blok Barat ingin agar Tatar tidak berada dalam kendali Rusia melalui skema bergabungnya Crimea kepada Rusia. Tetap saja hakekatnya pihak Barat mendukung gerakan separatisme Tatar terhadap Rusia. Padahal, gerakan separatis etnis Tatar pimpinan Refat Chubaroy, tidak bisa dibilang mewakili aspirasi etnis Tatar di Crimea.  Buktinya, dalam Qurultai atau kongres yang digelar pada April 2014 lalu tersebut, pihak Rusia berhasil menghadirkan Ketua Dewan Mufti Rusia yang memiliki hubungan dekat dengan Moskow. Namun karena pada dasarnya kongres tersebut memang sudah drancang untuk menggolkan aspirasi kaum separatis Tatar tersebut, maka makaq kehadiran Ketua Dewan Mufti Rusia tersebut gagal mencapai kesepakatan antara pihak Rusia dan kelompok separatis Tatar tersebut.

Menyorot  Von Mende, Aktor Intelektual Politik Pecah-Belah Rusia

Untuk mengurai keruwetan dari gerakan separatisme etnis Tatar, ada baiknya kita telisik sejarahnya secara selintas. Kalau cerita bisa dipersingkat, maka Gerhard von Mende lah aktor intelektual generasi pertama yang mengilhami munculnya gerakan separatisme Asia Tengah dan Kaukasus untuk memisahkan diri dari Uni Soviet (baca: Rusia).

Berdasarkan buku Ian Johnson, A Mosque in Munich, ada beberapa fakta menarik dan penting seputar peran sentral Gerhard von Mende. Von Mende lahir pada1904, dari keluarga minoritas Jerman berpengaruh di Riga, Latvia, yang mana para leluhurnya sudah menetap di sepanjang pantai Baltik sejak abad pertengahan.

Pada 1927, von Mende kuliah di Universitas Berlin, yang kala itu punya reputasi sebagai pusat kajian Rusia yang cukup bermutu dan kelas dunia. Berkat sejarawan Otto Hoetzsch, berhasil mengubah universitas Berlin sebagai magnet bagi para mahasiswa berbakat, termasuk diplomat kawasan Amerika pasca Perang Dunia II, George F Kennan, yang kelak dikenal sebagai pakar studi Rusia atau Sovietologist, dan pencipta teori Pembendungan (Containment Theory), yang kemudian diterapkan sebagai dasar penyusunan kebijakan luar negeri Presiden Harry Truman.

Von Mende, yang kala itu memusatkan minat dan perhatiannya pada studi Rusia Kontemporer dan Ekonomi, sangat fasih menguasai bahasa Rusia, Swedia, Norwegia dan Latvia. Bahkan, disebabkan kemampuan naluriahnya untuk mempelajari bahasa-bahasa baru, selama masa kuliahnya juga berhasil menguasai bahasa Turki, termasuk aneka dialek Turki yang digunakan Uni Soviet, selain juga bahasa Arab, Prancis, dan Inggris.

Setelah menekuni studi Rusia kontemporer, pada 1933 von Mende berhasil memperoleh gelar doctor, dan kemudian menulis sebuah buku hyang menjelaskan kerumitan penatuan etnis Uni Soviet. Tiga tahun kemudian, pada 1936, von Mende menerbitkan buku karyanya yang paling berpengaruh: “ The National Struggle of the Turkic Peoples of Russia, A Contribution to the Nationalities Question in soviet Russia.
Tak pelak, dari judul bukunya saja, sudah tergambar betapa intisari bukunya bermaksud menggugah dan mendorong peningkatan kesadaran nasional politik kaum minoritas non-Rusia. Melalui bukunya, von Mende mengondisikan penyatuan bangsa-bangsa Turki (Uzbek, Kazakh, Kirgiz, dan Tatar), untuk memisahkan diri dari Rusia sebagai negara induknya. Tak berlebihan jika von Mende kita pandang sebagai aktor intelektual geerakan separatis Asia Tengah untuk memisahkan diri dari Soviet Russia.

Menurut Mende dalam bukunya itu, tanpa bantuan dari luar negeri, bangsa-bangsa Turki itu tidak akan bisa mencapai kemerdekaannya melalui usaha sendiri, karena kesatuan politik Uni Soviet yang kuat sejak 1917 semasa Vladimir Lenin, sangat kuat, baik dari segi konsentrasi kekuasaannya, maupun mata-rantai ekonomi dari semua  bagiannya. Apalagi semasa kejayaan Soviet, bangsa-bangsa Turki itu menjadi negara-negara kecil seperti saya uraikan di awal tulisan tadi. Alhasil, sebuah perubahan dalam kedudukan kelompok-kelompok etnis Turki hanya bisa diharapkan ketika Uni Soviet menghadapi goncangan besar atau dahsyat.

Prediksi Mende nampaknya benar dan cukup jitu. Pada 1990-an awal, akibat goncangan besar, Soviet runtuh, dan benarlah ramalan Mende, maka wilayah-wilayah di kawasan Asia Tengah itu, kemudian berdiri sebagai negara-negara merdeka. Yang mana secara geoekonomi kaya akan sumberdaya alam minyak dan gas.

Ketika Adolf Hitler berkuasa, von Mende semakin masuk ke orbit pengaruh ideologi fasisme dan Nazi dan anti Yahudi. Salah satu titik tolak Mende dalam mengembangkan gagasan-gagasannya semasa pemerintahan Nazi Jerman pimpinan Hitler, harus ditelisik melalui apa yang dinamakan sebagai Kementerian Pendudukan Timur atau Ostministerium.

Kementerian Pendudukan Timur (Ostministerium), Sasaran Pokok Untuk Menguasai Rusia atau Uni Soviet Pada Perang Dunia II

Misi Ostministeriium yang dicanangkan oleh Htiler adalah menciptakan sebuah negeri kekaisaran raksasa bagi Jerman, yang akan meluas ke arah Timur menuju Polandia, Belarusia, Ukraina, dan Rusia. Jelaslah sudah, bahwa peran dan keberadaan Ostministerium, diidasari gagasan dan sasaran pokok untuk menguasai Rusia.

Nah atas dasar gagasan itulah, maka atmosfer yang berkembang di lingkungan Ostministerium, diarahkan pada sebuah pemikiran bahwa untuk menghadapi Uni Soviet, Jerman harus bersimpati pada orang-orang non Rusia di Uni Soviet, dan harus memperhitungkan gerakan separatis kuat di Ukraina dan Kaukasus. Hal ini nampak jelas melalui sebuah tulisan dari Alfred Rosenberg, orang Jerman Baltik yang pada 1941 sempat menjadi tokoh sentral di Ostministerium. Dan ikut menyusun konsep penaklukkan Uni Soviet lewat lembaga ini. Salah satu misi Ostministerium ada;aj untuk mengawasi berbagai wilayah seperti Ukraina, Kaukasus dan negara-negara Baltik. Di sinilah, von Mende hadir memperkuat tim-nya Rosenberg.  Von Mende, diberi tugas untuk memimpin bagian Kaukasus di Ostministerium.

Maka, dimulailah aksi destabilisasi terhadap Uni Soviet pada masa Perang Dunia II yang diorganisir oleh von Mende. Von Mende merekrut sekelompok orang pengasingan diri dari Uni Soviet karena terlibat dalam gerakan separatis anti Soviet, yang disebut Promotheus.

Gerakan ini sejatinya dimulai sejak 1925, semasa Soviet masih di bawah tsar Rusia, dan gerakan Prmotheus ini dimaksudkan untuk menghancurkan kekaisaran tsar seraya berupaya membebaskan diri dari bangsa Rusia. Jelaslah sudah bahwa dengan penelisik jejak-jejak gerakan Promotheus sejak 1925, gerakan ini berwatak separatis yang bermaksud memisahkan diri dari negara induk Rusia, menjadi negara tersendiri. Namun karena gerakan ini berhasil ditumpas, para eksponennya lari ke luar negeri.

Gerakan separatis Promotheus ini, rupanya mendapat dukungan internasional dari negara-negara Eropa Barat yang pada dasarnya anti Rusia seperti Prancis, Polandia, Inggris dan Jerman. Maka, para eksponen pendukung gerakan Promotheus dan menjadi pelarian di luar negeri, yang kemudian direkrut oleh von Mende.

Pola Sejarah yang Berulang, Sama-Sama Memainkan Islamisme untuk Tujuan Gerakan Separatisme

Beberapa tokoh sentral Promotheus yang berhasil direkrut von Mende adalah Mikhail Kedia dari Georgia dan Ali Kantemir dari Turkestan. Mereka berdua inilah yang kelak memainkan peran penting dalam keterlibatan von Mende. Termasuk dalam menjalin hubungan dengan Amerika Serikat pada perkembangannya kemudian.

Ada satu lagi, Veli Kayum, aktivis politik yang kelak merupakan tokoh pengasingan Asia Tengah paling terkemuka. Sekadar catatan, Veli Kayum punyak kedekatan politik dengan pemerintahan Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler.

Inilah jaringan Asia Tengah dan Kaukasus yang dirajut oleh Mende untuk melawan Rusia dalam rangka Perang Dunia antara Jerman melawan tentara sekutu. Pada PD II, Rusia berada di pihak sekutu melawan pemerintahan fasisme Jerman dan Jepang. Karena para eksponen anti Soviet yang berasal dari Gerakan Separatis Promotheus ini ingin lepas dari Rusia atau Soviet, maka pihak Jerman melalui Mende, memberi harapan muluk pada para pelarian Asia Tengah dan Kaukasus ini bahwa selepas Jerman berhasil memenangi PD II, maka mereka akan diberi hadiah kemerdekaan. Meskipun Jerman tak punya niat sedikutpun untuk memberi hadiah kemerdekaan pada  gerakan separatis Asia Tengah dan Kaukasus ini.

Karena dalam menggalang dukungan dan merajut jaringan Asia Tengah ini, merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim, maka Islam kemudian dijadikan alat politik oleh von Mende sebagai perekat ikatan dari kelompok separatis Asia Tengah ini.

Maka ketika di era Perang Dingin, Jerman Barat yang mendukung persekutuan strategis  Amerika Serikat dan Eropa Barat, maka Islam melalui jaringan Asia Tengah dan Kaukasus yang dibina von Mende ini, kembali dimainkan untuk dijadikan kekuatan politik melawan komunisme Uni Soviet. Dalam kerangka inilah, komunitas intelijen CIA dan Jerman Barat banyak membina agen-agen yang berasal dari Tatar, untuk menjadi para propandis

Yang terjadi kemudian, badan intelijen Amerika CIA dan Jerman Barat meniru struktur dan mengisi kantor-kantor penghubung untuk mengorganisir warga Muslim. Begitulah. Berdasarkan skema von Mende, Islam dimainkan bukan sebagai agama dalam dimensi religius dan spiritual, melainkan sebagai alat dalam memupuk harapan dan mimpi untuk mewujudkan identitas nasional seraya memotivasi para pendukungnya bahwa ini merupakan gerakan membela Islam dan identitas etnik yang pada dasarnya semuanya berafiliasi secara kultural dengan Turki.

Inilah skema yang kemudian dikembangkan oleh von Mende secara lebih meluas dengan memberi angin kepada warga Azerbaijan, Tatar Volga, dan Turkestan, sebagai aktivis pergerakan yang seolah-olah sedang melakukan Perang Kemerdekaan melawan Uni Soviet pada Perang Dunia II. Padahal, yang sesungguhnya mereka sedang dimanipulasi oleh Mende demi kepentingan nasional Jerman menaklukkan Uni Soviet, dan Rusia pada khususnya.

Dalam meranpkan skema Jerman ini, von Mende mengandalkan Veli Kayum, dalam membentuk Komite Persatuan Nasional Turkestani, yang kemudian dipimpin langsung oleh Kayum. Adapun identitas yang jadi perekat persamaan mereka adalah bahasa Turki. Bahkan surat kabar andalannya pun berbahasa Turki, Milli Turkistan.

Maka kalau kita cermati bagaimana von Mende mengatur Kayum agar mengatur terselenggaranya sebuah kongres Turkestani di Wina, Austria, dan memilih Kayum sebagai Ketua Komite Persatuan Nasional Turkestani, maka tidaklah mengejutkan ketika Ukraina dengan dukungan Amerika dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman dan Perancis, mendorong warga Muslim Tatar sempalan yang berbasis Islamisme seperti Mejlis of the Crimean Tatar People yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir, untuk mendesak forum Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk dimasukkan dan diakui sebagai perwakilan Tatar di forum OKI tersebut.

Kalau kita mencermati jejak-jejak sejarah keterlibatan Jerman dan von Mende pada Perang Dunia II dalam membina jaringan pelarian Asia Tengah dan Kaukasus yang terlibat gerakan separatisme di Rusia sejak era tsar hingga era Uni Soviet pada Perang Dingin, maka Islamisme yang dijadikan landasan gerakan Mejlis of the Crimean Tatar People, sejatinya merupakan gerakan separtisme dengan mengatasnamakan Islam.

Kiranya konstruksi sejarah terbentuknya jaringan Asia Tengah dan Kaukus yang dirajut oleh von Mende pada Perang Dunia II maupun kemunculanMejlis of the Crimean Tatar People beberapa waktu lalu, nampak sekali kemiripannya dari segi pola gerakan. Karena sejatinya ini merupakan sebuah skema von Mende yang tetap dijalankan oleh CIA maupun Jerman hingga sekarang.

Maka dari itu, Indonesia dan OKI harus menyadari betapa manuver Turki mendukung masukya perwakilan Tatar di OKI, merupakan bukti nyata bahwa Turki, yang notabene mempunyai basis kultural yang sama dengan warga Tatar, sedang berupaya mendorong Gerakan Separatisme dengan mengatasnamakan Islam.

Penulis: Hendrajit, Pakar Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com