FREEPORT

Bagikan artikel ini

Dr. Dina Y. Sulaeman, Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES)

Saya belum membaca pembahasan mengenai KK vs IUPK yang menjadi sumber konflik antara Freeport dengan Pemerintah. Jadi saya tidak akan sok tahu membahasnya. Tapi, mengingat sejarah bercokolnya Freeport di Indonesia, ketika Freeport sampai main ancam akan mengadukan Indonesia ke arbitrase internasional, artinya pemerintah kita sedang melakukan sesuatu yang berani, yang merugikan Freeport. Artinya, dalam hal ini pemerintah harus didukung/dibela, kalau perlu demo besar-besaran menentang Freeport, supaya pemerintah mampu terus bertahan di tengah tekanan besar.

Pada tahun 1965, Presiden Sukarno mencabut UU Penanaman Modal Asing No. 78 tahun 1958, dan menggantinya dengan UU No. 16 Tahun 1965 yang secara tegas menolak penanaman modal asing. Dalam butir 3 UU tersebut dinyatakan, “bahwa untuk melaksanakan prinsip berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi dan prinsip Deklarasi Ekonomi untuk membangun ekonomi nasional yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan feodalisme, harus dikikis habis penanaman/operasi modal asing di Indonesia sehingga dapat memperbesar produksi nasional guna mempertinggi tingkat penghidupan rakyat Indonesia.”
Lalu, terjadilah peristiwa G 30 S 1965. Berbagai intrik politik yang terjadi sebelum dan setelah peristiwa itu, dapat dibaca di berbagai buku. Berbagai bukti disodorkan oleh buku-buku ini terkait keterlibatan CIA, yang menunjukkan bahwa target utama operasi G 30 S adalah penggulingan Sukarno dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan AS.
Pro-kontra atas catatan sejarah ini tentu sah-sah saja. Namun, siapapun yang melakukannya, dari pihak manapun korbannya, kenyataannya, ada ratusan ribu anak bangsa yang tewas dipicu (dihasut) oleh pro-kontra ideologi. Bisa dibayangkan, dalam carut-marut konflik dan perseteruan di antara sesama anak bangsa; di tengah dendam, rasa sakit, kehilangan, dan duka cita, ada hal-hal sangat penting yang terabaikan dari perhatian publik. Di antaranya, segera setelah Sukarno diturunkan dari kekuasaan dan Suharto menjadi presiden, terjadi ‘perampokan’ besar-besaran terhadap kekayaan alam Indonesia.
‘Perampokan’ itu terjadi tahun 1967. John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World” menulis sebagai berikut.
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top.
Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. “Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler,” kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. “Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana kapitalis global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.” [1]
Dan Indonesia hari ini pun masih belum ‘aman’ dari praktik kolonialisme modern ini. Kekayaan alam Indonesia masih sangat banyak dan masih jadi incaran. Apalagi sebuah lembaga think tank AS bernama Rand Corporation, yang merupakan partner Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon), pada tahun 1998 merilis sebuah paper yang merekomendasikan bahwa Indonesia perlu dipecah menjadi 8 bagian, yaitu Timor Timur (yang sudah ‘berhasil’ diwujudkan tahun 1999), Aceh, Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, dan Bali. Sisanya, tetap menjadi bagian Indonesia. [2]
Dan cara yang paling efektif untuk memecah-belah Indonesia sesuai skenario itu, tentu saja, melalui perang saudara. Triggers atau pemicu konflik yang digunakan bisa beragam, dan paling efektif adalah kebencian atas nama agama, berdasarkan pengalaman Indonesia 1965, dan Suriah selama 5 tahun terakhir. Inilah yang sangat penting diwaspadai oleh bangsa Indonesia.
 ===
 [1] saya copas dari buku saya sendiri, Prahara Suriah
[2]dikutip dari buku ‘Tangan-Tangan AS’ (Hendrajit/Global Future Institute)
Foto: Penandatangan Kontrak Karya Freeport 7 April 1967 (sumber foto: The Netherlands National Press Agency, saya ambil dari wall Johny Budiyono)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com