G20: Sarana Baru Imperialisme Barat

Bagikan artikel ini

Hidayatullah Muttaqin, dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Catatan Redaksi: Tulisan ini dimuat di Jurnal Al-Waie Edisi November 2009. Namun The Global Review menilai artikel ini masih cukup relevan untuk kita angkat mengingat hegemoni Amerika Serikat dalam mengatur tata ekonomi dunia masih tetap kuat hingga kini.

Pengantar

KTT G-20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat 24-25 September lalu menjadi babak baru bagi perekonomian dunia dengan diubahnya status forum ini menjadi permanen. Otomatis G-20 menghapus G-8 sebagai kelompok ekonomi terbesar di dunia. G-20 menghimpun dua pertiga penduduk dunia dengan nilai ouput mencapai 90% PDB global dan menguasai 80% transaksi perdagangan internasional.

KTT G-20 di Pittsburgh juga menghasilkan keputusan meningkatkan keterlibatan negara-negara berkembang di IMF. Di samping itu, G-20 tetap mempertahankan langkah stimulus, meningkatkan kuantitas dan kualitas modal bank, pemangkasan gaji dan bonus para eksekutif di sektor perbankan, dan penghapusan tempat bebas pajak (tax heaven). Anggota G-20 juga sepakat untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil yang memperparah pemanasan global.

G-20 merupakan sebuah forum baru yang mempertemukan negara-negara kaya yang sebelumnya terhimpun dalam G-8 dengan negara-negara berkembang dengan skala ekonomi yang cukup besar. Keberadaan G-20 didorong oleh pukulan krisis keuangan global yang “bersumbu” di AS. Apa yang melatarbelakangi G-20 dan siapa yang memanfaatkan keberadaan organisasi ini? Bagaimana posisi Indonesia serta konsekwensinya bagi perekonomian dunia? Tulisan ini berusaha mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Melemahnya Hegemoni AS

Sejak didaulat memasuki resesi pada Desember 2007 hingga September 2009, jumlah pengangguran di negeri Paman Sam meledak dari 7,6 juta orang menjadi 15,1 juta orang (Bureau of Labor Statistics U.S. Department of Labor, News Release: The Employment Situation – September 2009). Di sisi lain, biaya krisis yang sudah dikeluarkan AS menyebabkan defisit terburuk sejak 1945. Sejak pemerintahan Obama dimulai, AS mengalami defisit APBN hingga US$ 1,4 trilyun (cboblog.cbo.gov, 7/10/2009).

Jumlah hutang pemerintah AS pun bertambah US$ 2,75 trilyun sejak resesi Desember 2007. Di awal resesi hutang AS mencapai US$ 9,15 trilyun dan kini sudah menyentuh US$ 11,90 trilyun (treasurydirect.gov). Akibatnya beban pembayaran bunga juga bertambah besar tiga kali lebih banyak dari anggaran pendidikan AS. Kondisi ini menyebakan hegemoni AS di bidang ekonomi melemah.

Sikap penentangan terhadap dominasi AS secara terang-terangan ditunjukkan oleh negara-negara Kapitalis Eropa daratan (continental). Jerman dan Perancis mengecam dominasi AS dalam sistem keuangan global. Jerman menegaskan krisis telah menggerus status AS sebagai adidaya di bidang ekonomi sedangkan Perancis menginginkan diakhirinya sistem pasar bebas tanpa kontrol (euobserver.com, 26/9/2009).

Ada Apa dengan G-20?

Dalam forum G-20, AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Karena itu arah strategi AS dalam penyelesaian krisis keuangan global tidak bertumpu pada perombakan sistem Kapitalisme. AS fokus pada pembiayaan dampak krisis keuangan yang dialaminya dalam bentuk bailout dan stimulus bukan merombak sistem keuangan. Begitu pula AS berupaya agar seluruh dunia terlibat dalam pendanaan dampak krisis sehingga partisipasi internasional dapat meringankan bebannya.

Dalam wawancara dengan Financial Times, Kepala Penasehat Ekonomi Gedung Putih, Lawrence Summers menyerukan para pemimpin dunia lebih banyak mengucurkan dana stimulus sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan global (ft.com, 8/3/2009). AS juga telah menganggarkan US$ 11,56 trilyun untuk memerangi krisis, di mana US$ 2,90 trilyun di antaranya dikeluarkan sebagai paket bailout dan stimulus ekonomi (bloomberg.com, 25/9/2009).

Sebaliknya, Jerman dan Perancis yang mewakili Uni Eropa berupaya menggeser dominasi AS dalam sistem keuangan global. Kedua negara ini mengarahkan G-20 pada reformasi sistem keuangan global, seperti masalah transparansi, pengurangan bonus “gila-gilaan” para eksekutif bank, penghapusan negara bebas pajak (tax heaven) yang menjadi surga penggelapan pajak, dan pembatasan transaksi derivatif (bbc.co.uk/indonesian, 1/4/2009).

Berdasarkan konstelasi geoekonomi tersebut, maka pertemuan demi pertemuan para pemimpin G-20 pada dasarnya hanya untuk merealisasikan visi kedua kutub ekonomi dunia ini. Karena itu deklarasi yang dihasilkan pada akhirnya hanyalah berisi poin-poin kompromi kedua belah pihak, bukan menyelesaikan sebab fundamental krisis keuangan global.

Meskipun demikian negara independen seperti China dan Rusia juga memiliki kepentingan terhadap G-20. China misalnya berkepentingan agar AS dan dunia tetap memiliki kekuatan permintaan dalam perdagangan internasional. Sebab jika terjadi penurunan permintaan AS dan dunia secara siknifikan dan berkelanjutan, maka imbasnya kembali ke negeri tirai bambu tersebut dalam bentuk penurunan ekspor, out put, dan tentu saja bertambahnya pengangguran.

Posisi Indonesia

Sejak keterlibatan Indonesia dalam pertemuan G-20 di level kepala negara, ada semacam kebanggaan Indonesia sudah setara dengan negara-negara maju, lebih strategis, dan gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh Presiden SBY juga diadopsi menjadi keputusan G-20. Pandangan ini salah kaprah. Dengan berpijak pada konstelasi geoekonomi G-20, dapat kita lihat di mana posisi Indonesia.

Dalam KTT G-20 di Washington (15/11/2008), Presiden SBY menyampaikan proposal solusi krisis jangka pendek dengan menjamin tersedianya dana likuiditas dan menjaga kepercayaan perbankan. Untuk jangka menengah, SBY mengusulkan  perlunya langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan jangka panjang, SBY mengusulkan reformasi sistem arsitektur keuangan global dengan melibatkan lebih besar lagi peran negara-negara berkembang (emerging market) ke dalam institusi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia (presidensby.info, 16/11/2008).

Gagasan yang disampaikan Presiden SBY tersebut sesuai dengan visi AS dalam G-20. Pertama, pada solusi jangka pendek yang dilontarkan presiden, searah dengan kebijakan AS yakni jaminan dan bailout negara atas institusi keuangan/bank untuk memulihkan kepercayaan dan terjaganya likuiditas.

Kedua, solusi jangka menengah sesuai seruan AS agar negara-negara di dunia meningkatkan pengeluaran dalam bentuk stimulus fiskal dan ekonomi.

Ketiga, solusi jangka panjang dalam bentuk reformasi arsitektur keuangan global yang digagas presiden sebenarnya bukanlah sebuah gagasan untuk melakukan perubahan fundamental. Gagasan Indonesia justru memperkuat sistem keuangan global yang didominasi AS. Seperti tentang perlunya keterlibatan negara-negara berkembang dalam proporsi yang lebih siknifikan dalam IMF ataupun Bank Dunia, serta keterlibatan yang lebih luas dalam mensupport pendanaan bagi kedua lembaga Bretton Woods.

Di KTT G-20 London (2/4/2009), secara tidak langsung Presiden SBY kembali menegaskan dukungannya yang luas untuk kepentingan AS. Di London, Presiden SBY mengharapkan keterlibatan yang lebih luas bagi negara-negara berkembang pada institusi keuangan global. Dalam “bahasa SBY”, agar KTT G-20 dapat mewadahi kepentingan negara-negara berkembang (lihat presidensby.info, 3/4/2009).

Di Pittsburgh, Indonesia kembali memfokuskan G-20 pada keterlibatan negara-negara berkembang dalam penanganan krisis keuangan global dan resesi dunia, serta keinginan Indonesia agar G-20 menjadi forum permanen (presidensby.info, 25/9/2009). Dengan langkah ini, Indonesia berkonstribusi menjerumuskan negara-negara berkembang secara lebih dalam kepada imperialisme Barat di bidang ekonomi.

Jelaslah, keberadaan Indonesia memiliki peran penting untuk merealisasikan visi AS. Indonesia didesain menyampaikan gagasan-gagasannya secara independen tidak lain hanya untuk memperkuat posisi AS dalam forum G-20.
G-20 sebagai Sarana Imperialisme

Harapan agar G-20 memiliki peran yang besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya ilusi. Sebab G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial melainkan lebih terarah untuk mempertahankan Kapitalisme baik Kapitalisme ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Perancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.

Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario ini justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantung pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.

Keberadaan G-20 juga bukan untuk menggantikan peran IMF dan Bank Dunia. Namun, G-20 dibutuhkan Barat untuk menutupi ketidakmampuan dua lembaga ini dalam meredam dampak krisis keuangan global. Dengan G-20, Barat memiliki kekuatan lebih untuk mengorganisir kebijakan dan menghimpun dana dalam menyokong institusi keuangan global tersebut. Sebagaimana kesepakatan KTT G-20 di London yang menggalang sumber daya global untuk meningkatkan pembiayaan IMF tiga kali lipat menjadi US$ 750 milyar

Di G-20 negara-negara berkembang tetap menjadi subordinasi negara-negara maju. Mereka mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Barat sebagaimana mereka dilarang melakukan proteksionisme dan harus meliberalisasi perekonomian domestik. Padahal negara-negara maju melakukan proteksionisme terselubung terhadap lembaga keuangan dan korporasi raksasa mereka dengan dana trilyunan dollar.

Melalui G-20 negara-negara berkembang terperangkap pada penghapusan subsidi bahan bakar fosil dengan alasan menanggulangi perubahan iklim. Aneh, pemanasan global yang diakibatkan konsumsi BBM secara rakus oleh negara-negara maju terutama AS yang menghabiskan seperempat konsumsi BBM dunia setiap harinya harus ditanggung oleh rakyat di belahan bumi selatan. Lebih aneh lagi Indonesia sangat bangga karena gagasan tentang mengatasi dampak perubahan iklim datang dari Presiden SBY yang memperkuat usulan penghapusan subsidi bahan bakar fosil berasal dari Presiden Obama.

Penutup

Secara ideologis, negara-negara Barat tidak dapat bertahan hidup untuk membiayai “kerakusan” sistem ekonominya kecuali melakukan penjajahan atas negara lain. Sebagaimana pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, penjajahan merupakan metode baku Kapitalisme, sedangkan yang berubah hanya cara (uslub) dan sarananya.

Krisis keuangan global telah memunculkan G-20 sebagai sarana baru bagi Barat untuk mengatasi dampak krisis sekaligus mengefektifkan penjajahannya atas dunia Islam dan negara-negara berkembang. Patut disayangkan, Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkan penjajahan Barat tetapi juga menjadi “ujung tombak” AS dalam merealisasikan agenda-agenda imperialismennya. Seharusnya Indonesia menjadi pionir bagi dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi Kapitalisme dan menghidupkan kembali sistem Khilafah yang pernah memimpin dunia.[]

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com