Geopolitik-Energy Security untuk Kepentingan Nasional RI (Bagian 3 / Habis)

Bagikan artikel ini

 M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Sekilas Energy Security di Indonesia

Menilai ketangguhan energy security negeri tercinta ini, mari breakdown dahulu 4A-nya sesuai rekomendasi Dirgo D. Purbo di atas. Dari aspek availability misalnya, bahwa ketersediaan energi dari produk sendiri hanya 950 barel, selebihnya impor 1,5 juta barel. Betapa tidak, kebutuhan energi 2,450-an juta barel/hari guna memenuhi konsumsi 220-an juta warga di wilayah seluas 9,5 juta km dan tersebar pada 17.504 pulau, sementara laju penduduk sekitar 1,49% per tahun pada satu sisi, diperkirakan menjadi salah satu pemicu pertambahan konsumsi energi setiap tahunnya, sedangkan di sisi lain —yang mengkhawatirkan— penyebaran penduduk tidak merata karena hampir terkonsentrasi di Jawa.

Kondisi kebutuhan dalam negeri saat ini diimpor dari 18 negara, seperti Arab Saudi, Aljazair, Malaysia, Cina, Yemen, Australia, Vietnam, Nigeria, Brunei, Papua New Guen (PNG), Pakistan, Rwanda, Oman, Angola, Thailand, Irak, Iran dan lain-lain dengan kombinasi crude oil, bahan bakar minyak (BBM), dan lainnya. Tak hanya minyak, gas alam pun ternyata impor untuk feedstock pembangkit tenaga listrik juga pabrik pupuk. Adapun komposisi kebutuhan energi sekitar 40 %-nya tercukupi dari dalam, sementara 60%-nya impor. Inilah data yang tak bisa dielak, dan mutlak disadari bersama bahwa semenjak tahun 2004-an, Indonesia telah menjadi bagian (masalah) atas tingginya harga minyak dunia karena mengimpor lebih 1 juta barel/hari, yang identik mengambil 1% jatah permintaan dunia.

Hal lain yang menarik, meskipun dikenal sebagai pengekspor gas alam (LNG) tetapi kenyataannya justru defisit (energy gap) di dalam negeri sehingga harus impor LNG. Sungguh miris, negeri dua musim dalam lingkaran sabuk api (ring fire) yang seyogyanya berkelimpahan minyak, gas dan tambang lain namun malah mengimpor minyak bahkan gas alam itu sendiri. Sisi kebijakan mana yang salah?

Selanjutnya pada telaah acceptibility sebenarnya tidak ada yang menonjol. Data-data selama ini pihak pemerintah mampu membagi variatif energi yang dibutuhkan, seperti berapa persen crude oil, berapa BBM, gas bumi dan lain-lain, sehingga dari sisi lingkungan maupun keamanan dapat diterima oleh semua pihak. Sementara tinjauan accesibility yang terlihat agak ‘rawan’ terutama bagi ketahanan energi maupun pangan. Dengan kata lain, kelak jika muncul ketersendatan proses pemenuhan niscaya berdampak signifikan pada berbagai industri di masyarakat, ataupun dapat mengacaukan lalu lintas barang dan jasa di Indonesia —semacam kemacetan bidang sosial ekonomi— akibat pasokan berkurang.

Betapa impor 60% energi berasal dari 18-an negara melalui kapal-kapal tanker sehingga otomatis bergantung situasi keamanan jalur perairan. Artinya ketika timbul gejolak atau “gonjang-ganjing” baik di negara (asal) produsen maupun pada jalur transportasi seperti Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, dan lainnya niscaya berdampak negatif pula terhadap pasokan energi di republik ini. Secara taktis, Indonesia harus memiliki dan mutlak merencanakan pipanisasi energi dengan para pemasok, terutama negeri tetangga seperti Brunei, Malaysia, PNG, dan lain-lain karena secara profit dianggap aman dan lebih menguntungkan. Hal tersebut terkait juga affordibility, artinya keterjangkauan biaya maupun daya beli, kendati daya beli itu sendiri tergantung sejauh mana kemampuan pemerintah menyediakan cash money dalam rangka (oil bills) impor. Pertanyaannya kini: bagaimana keterkaitan antara energy security dengan geopolitik dan kepentingan nasional?

Geopolitik dan KENARI 

Masih ingat kajian Deep Stoat? “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Itulah kontribusi strategis Stoat kepada negara-negara (maju) yang menempatkan “minyak” sebagai kepentingan nasional. Singkat kata, jika ingin memahami kondisi geopolitik maka ikuti aliran minyak. Lantas, darimana menyimak aliran minyak, maka silahkan cermati konsep energy security suatu negara. Mungkin itu maksudnya. Kendati menurut Dirgo, ada tiga komponen saling terkait (interchange) guna menetapkan suatu kebijakan politik yakni supplydemand dan technology, dimana keterkaitan dimaksud memiliki peran sentral dalam geopolitik. Artinya bila putus salah satu komponen dari ketiganya maka akan amburadul praktek operasional energy security suatu negara!

Terkait geopolitik, penulis mencoba sisi lain. Dari perspektif konflik misalnya, membikin kacau-balau Cina teramat mudah, yaitu kacaukan jalur transportasi di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya, oleh karena hampir 80% aktivitas impor dan ekspor baik energi, barang dan jasa maupun raw material lain melalui jalur tersebut. Setidaknya terjawab sudah, kenapa Negeri Tirai Bambu bersikeras terhadap klaim atas Kepulauan Spartly dan Paracel sebagai bagian teritorinya, semata-mata faktor geopolitik dan geostrategi. Artinya karena posisi dan letak kedua pulau tersebut. Ya. Barang siapa menguasai keduanya identik menjadi “pengendali” bagi lalu lintas kapal-kapal di Laut Cina Selatan dan sekitarnya. Itulah urgensi geopolitik dalam energy security. Dan tidak bisa disangkal, bahwa String of Pearl merupakan strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan  energy security-nya!

Mengakhiri artikel tidak ilmiah ini, ada beberapa pertanyaan yang mutlak harus dijawab oleh stakeholders, pemangku kepentingan dan terutama para pengambil kebijakan di republik tercinta ini:

Pertama, sudahkan para elit merumuskan Kepentingan Nasional RI (KENARI) yang berserak baik di daerah, di kementerian, instansi, maupun pada lembaga-lembaga negara lain untuk selanjutnya dikawal, dilindungi, serta diamankan capaiannya hingga ke tingkat global?

Kedua, adalah rancangan energy security secara nasional dalam rangka menjamin kepastian atas pasokan energi bagi masyarakat, bangsa dan negara?

Ketiga, sudahkan para elit dan segenap komponen bangsa ini “sadar geopolitik” serta mengoptimalkan geostrategi dalam rangka mengamankan KENARI serta energy security —- mengingat takdir geopolitic leverage Indonesia di antara dua benua dan dua samudera?

Terimakasih

Bacaan dan Link:

* Dirgo D. Purbo, “Energy Security” dalam Konteks Kepentingan Nasional RI, disampaikan pada Forum Duta Besar RI (FDB-RI), di Pusdiklat KEMLU RI, Jakarta, 24 Januari 2012,  Makalah –

* The Global Review, Indonesia, Rusia, dan G-20, The Journal of International Studies, 3 Mei 2013, Buku –

* The Global Review, Merobek Jalur Sutera Menerkam Asia Tenggara, The Journal of International Studies, 2 Januari 2013, Buku —

* Dr. Susaningtyas Kertopati, POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN TANTANGAN GLOBALISASI, Anggota DPR-RI, 2012, Artikel –

* M Arief Pranoro, Mencermati Ulah AFRICOM: Apa khabar INDOCOM di Indonesia? http://www.theglobal-review.com/
* CONNIE RAHAKUNDINI: Kekaisaran Militer AS, Bagaimana Indonesia Bersikap? http://17-08-1945.blogspot.com/2012/08/koran-digital-connie-rahakundini.html

* United States Africa Command, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Africa_Command

* United States Central Command,http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Central_Command

* United States Northern Command,http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Northern_Command

* United States European Command, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_European_Command

* Unites States Southern Command, https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Southern_Command

* United States Pasific Command, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Pacific_Command

http://atmonobudi.wordpress.com/2011/12/08/mengapa-keamanan-energi-merupakan-unsur-penting-dalam-menetapkan-kebijakan-energi-nasional/

http://id.articlestreet.com/environment/what-does-energy-security-really-mean.html

* Pointers diskusi di Global Future Institute, Jakarta, pimpinan Hendrajit —

* Pointers diskusi di forum terbatas KENARI, Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo —

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com