Geopolitik Rangga Warsita, Geostrategi Amnesia

Bagikan artikel ini

Penulis : M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Ini tulisan tahun 2014-an bertajuk “Geopolitik Zaman Edan dan Abstraksi di Era Modern”. Telah dimuat di laman Global Future Institute, Jakarta. Saya revisi kembali karena ternyata substansi kajiannya masih relevan untuk memotret situasi dan kondisi terkini di Bumi Pertiwi. Inilah revisi ulangnya.

Mengingat kembali ujaran Rangga Warsita, sang pujangga dari Kasunanan Surakarta (1802–1873) tentang ajaran eling lan waspada dalam bait Zaman Edan, jika ditelusuri, atau dikaji, kemudian dikomtemplasikan secara out of the box, siapa menyangka bahwa bait-bait dimaksud merupakan ajaran geopolitik tingkat tinggi. Entah dulu ditujukan kepada rakyat kala itu, atau ia persembahkan untuk anak cucu di masa mendatang melalui kiasan (sastra) secara filosofi, sebenarnya tergantung the man behind the gun pada sistem apapun.

Kendati praktiknya kini, oleh beberapa kalangan, ujaran eling lan waspada tersebut lebih dimaknai (dan cenderung dilarikan) ke ranah spiritual. Pertanyaannya adalah, “Kenapa ia tidak dijadikan titik pijak kajian terhadap hal-hal yang lebih besar, kompleks dan strategis?”

Urgensi the man behind the gun di atas, barangsiapa siapa mampu menangkap hal tersirat daripada yang tersurat, dan siapa bisa menguak sesuatu terdalam dari hal-hal yang dianggap paling dalam. Begitulah hakiki ajaran.

Silahkan cermati penggal ajaran yang dikenal dengan sebutan “Zaman Edan”. Konon istilah ini kali pertama diperkenalkan dalam SERAT KALATIDA yang terdiri atas 12 bait tembang sinom. Salah satu bait yang paling terkenal adalah:

amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

Adapun terjemahan bebasnya adalah:

menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Eling itu bahasa Jawa, artinya ingat. Ingat kepada siapa? Secara horizontal, ingat kepada siapa lagi? Yaitu ingat akan jati diri baik selaku pribadi, keluarga, dll terutama ingat akan jati diri sebagai bangsa, sedang paling utama sesungguhnya —secara vertikal— ialah mengingat Tuhannya (wirid/dzikir). Inilah salah satu substansi ajaran sang pujangga.

Sedang abstraksi horizontal misalnya, bahwa selama ini kita —bangsa Indonesia— dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, pasrah, rukun, toleran, dan lain-lain. Inilah ciri bangsa ini dalam percaturan dunia sekaligus sebagai merek bangsa selaku bagian integral warga dunia. Tidak boleh dipungkiri, brand/merek atas kerukunan serta keramahan bangsa ini pernah mengglobal. Maka ibarat koin emas, brand tersebut laku keras dimana saja. Indonesia disukai banyak bangsa-bangsa lain di dunia.

Bahkan Ban Kie Moon, selaku Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun menyatakan secara resmi pada forum United Nation Alliance of Civilization (UNAOC) ke-6 yang diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali, Jumat (29/8/2014), “Indonesia merespentasikan kehidupan yang harmonis di tengah perbedaan, hal itu merupakan cerminan dari semboyan Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika atau Unity in Diversity yang kita angkat sebagai tema UNAOC 2014,” kata Ban. “Lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, saya berharap akan muncul saling pengertian antarbangsa di dunia, menghindari terjadinya konflik dan korban jiwa dari warga sipil, serta mendorong kemajuan yang baik bagi peradaban dunia,” lanjut Ban.

Akan tetapi, secara internal sendiri, justru kini terasa bahwa terdapat warga masyarakat telah berubah “galak.” Ada apakah gerangan? Muncul benih intoleransi, saling curiga bahkan kerapkali terlihat beringas, terutama manakala menyikapi warna-warni perbedaan yang dulu justru dimaknai sebagai ‘taman sari’ Indonesia. Unity in Diversity. Bahkan riskannya kini, sepertinya beberapa kelompok dan golongan mudah ditunggangi oleh anasir-anasir asing yang tidak menginginkan kondisi gayeng dan guyub tersebut.

Betapa sedih, melalui framing dan labeling media, sesama warga terlihat hanyut diadu-domba. Pada gilirannya, perhatian warga masyarakat cenderung tergiring hanya pada hal-hal (persoalan) hilir belaka, mereka tidak lagi mampu — apalagi peduli terhadap hal-hal penting, strategis, dsb yang merupakan persoalan hulu bangsa. Rakyat mudah diperalat guna menindas sesamanya atas nama perbedaan suku, ras, sosial budaya (dan bahkan agama). Gilirannya kian terasa bahwa republik ini —ibarat kapal di tengah samudera—- tengah oleng dihantam badai (konflik) internal. Inilah sekilas tinjauan keadaan negara kini dari perspektif ELING-nya Rangga Warsita.

Selanjutnya makna waspada pada “geopolitik”-nya Rangga Warsita adalah kecermatan dan sikap (budi) kehati-hatian terhadap lingkungan yang senantiasa bergerak dan berubah. Gerak memang keniscayaan, perubahan adalah kepastian. Dan keduanya tak bisa dicegah. Dengan kata lain, siapapun “kita,” tidak akan mampu menghindar dari perubahan (dan kemajuan) itu sendiri. Disini tersirat pesan sang pujangga, bahwa kita mutlak harus memiliki kewaspadaan atas segala sesuatu yang datang dan pergi silih berganti, terutama kewaspadaan atas nilai-nilai luar (asing) yang masuk. Lebih khusus lagi, masuknya nilai-nilai, aliran dan ideologi apapun yang tak selaras dengan local wisdom dan kepribadian bangsa. Intinya, bangsa ini tak boleh lupa akan jati diri. Kenapa? Karena status orang lupa itu hukumnya seperti orang yang gundah hati, bingung pikirannya. Sudah barang tentu, ketika bersikap dan bertindak — orang bingung cenderung menuruti (ego) sendiri. Sak karepe dewe. Merasa hebat, ingin benarnya sendiri, mau menang sendiri, dan seterusnya padahal hakiki orang bingung itu justru karena ia tidak paham akan jati (diri)-nya sendiri.

Dari uraian fenomena di atas, sang pujangga telah mengingatkan jauh-jauh hari melalui bait-bait sastranya:

“ …sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.”

Pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi bangsa bahagia (dan makmur), sedang kita sendiri gagal mengingat (lupa)? Orang lupa niscaya akan cenderung dan mudah terseret arus dan (bingung) terombang-ambing ombak (globalisasi), lingkungan yang selalu berubah. Dimana kewaspadaan sebagai diri dan bangsa?

Milan Kundera berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan (zalim) adalah perjuangan ingatan melawan lupa.” Inilah urgensi sejarah sebagai sarana bangsa untuk melawan lupa. Bangsa yang tidak mempelajari sejarah, akan mengalami amnesia, dan niscaya terjengkang pada lubang (kekeliruan) yang sama. History repeat itself. Sejarah berulang, hanya aktor, modus dan waktunya berbeda. Jas Merah, kata Bung Karno (BK), “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Berbasis data serta pengalaman empirik, salah satu pola kolonialisme ialah ‘menghancurkan dulu sejarah negeri yang dijajah’ — maka pantas apabila tata cara seperti itu dijadikan metode baku dalam kolonialisme.

Juri Lina, penulis Swedia menyatakan dalam buku Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry (2004), “Bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri, antara lain:

(1) kaburkan sejarahnya; (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.”

Dan tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, (17/1/2013) cenderung menebalkan asumsi Lina. GFI mensinyalir, ada hal-hal berulang dalam kolonisasi di muka bumi yaitu “pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah).” Itulah agendanya.

Menurut GFI, langkah-langkah pengaburan histori bangsa terjajah melalui beberapa tahapan, antara lain:

Pertama, penghancuran bangunan fisik agar generasi baru tidak dapat mengenali (bukti-bukti) kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak bisa menarik hikmah dan mengutip nilai-nilai emas histori sebagai teladan sebab tidak bisa dibuktikan secara ilmiah;

Kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya bodoh, primitif, tidak beradab, penyembah berhala, dan lain-lain;

ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.

Inti kedua asumsi di atas sepintas identik, hanya GFI menambahkan poin: ‘dibuat sejarah baru versi penjajah’ — hal inilah yang tidak terlintas di benak Juri Lina. Entah mengapa, atau mungkin sebab negaranya tidak pernah dijajah? Boleh jadi. Memang ada beberapa negara yang tidak pernah dijajah seperti Arab Saudi, Islandia, SWEDIA, Nepal, Denmark, Norwegia, Thailand, dan Turki.

Dalam konteks (geopolitik) global, Indonesia dianggap mengalami amnesia. “LUPA AKAN JATI DIRI.” Contohnya, betapa negeri agraris beriklim tropis dengan dua musim dan curah hujan tinggi, kenapa mesti mengimpor berbagai komoditi yang sebenarnya berlimpah ruah di Bumi Pertiwi? Celakanya lagi, komoditi yang diimpor justru berasal dari berbagai negara empat musim bahkan secara geografi lebih kecil. Sungguh ironi. Bukankah peluang untuk cocok tanam dan berproduksi lebih besar di negeri dua musim —takdir Ibu Pertiwi— daripada di negeri-negeri empat musim?

Indonesia itu anak kandung matahari dimana sinar mentari tidak pernah bosan menyinari buminya. Tetapi agaknya, para elit politik dan segenap pengambil kebijakan di negeri ini enjoy saja menjalani paradoks geopolitik semacam ini. Kenapa? Adakah mereka benar-benar tidak memahami (takdir) geopolitik negerinya sendiri, atau pura-pura tidak paham karena faktor fee dari berbagai impor jika dibanding dengan melemahnya martabat, tergerus nilai kedaulatan dan terpuruknya nasib para petani, warganya?

Hidup memang pilihan. Pertanyaannya, “Pilih menjadi komprador atau nasionalis?” Silahkan memilih. Adalah hak setiap warga negara, kendati tidak sedikit yang enjoy sebagai pengkhianat, namun banyak pula yang rela gelisah menyaksikan carut marut bangsa ini akibat laku komprador. Mereka tetap memilih gelisah sebagai kaum nasionalis dibanding komprador. Ingat! Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak ‘kembang sore’ dan ‘bunga–bunga sedap malam’.

Saya memiliki keyakinan, bahwa kejayaan Indonesia sudah di depan mata. Bagi segenap anak negeri, nasionalisme itu pilihan utama, sedangkan kompradorisme sebenarnya cuma pelarian atas jiwa-jiwa kompromis, blandis dan (mungkin) KEGUGUPAN MENGHADAPI HARI TUA akibat hedonisme yang membadai sebagaimana penggalan syair (geopolitik) Rangga Warsita:

“… menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian..”

Dan tampaknya, situasi dan kondisi seperti inikah yang tengah menerjang Ibu Pertiwi?

Sekarang mari membahas penitrasi nilai dan ideologi asing di Indonesia dari perspektif “geopolitik eling lan waspada”-nya sang pujangga. Tak boleh dipungkiri, di satu sisi, meski secara de jure, ideologi bangsa ini adalah Pancasila namun dalam implementasi hanya slogan (apalagi diamalkan?). Di sisi lain, liberalisme sebagai nilai bahkan ideologi asing telah “diterima masyarakat” hampir tanpa kritik tanpa selidik. Inilah yang kini berlangsung.

Menurut Dina Y Sulaeman, salah satu research associate GFI dalam artikelnya bertajuk “Tentang Liberalisme Ekonomi: Membongkar Kerapuhan Asumsi Liberalisme”. Bahwa benang merah liberalisme yang telah merambah di segala sektor dapat dilacak muaranya. Misalnya, ketika liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik, lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpin dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri.

Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar bebas: biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.

Sebagaimana isyarat di muka, geliat ekonomi pasar bebas niscaya membuat siapapun tidak dapat menghindar arus modal asing masuk di internal negeri, yang gilirannya akan cenderung ikut pula menguasai aset-aset negara. Inilah keniscayaan skema. Kita tidak perlu xenophobia, tetapi juga jangan terbawa oleh arus besar, karena hal tersebut —jika terseret arus— membuat lupa jati diri. Kita tak boleh lupa dengan pakem nusantara dan konstitusi negara (UUD 1945). Jika lalai, maka ibarat orang tersesat, meski sudah tahu bahwa rute yang dijalani keliru tetapi terus (ndableg) menyusuri jalan dengan tata cara menduga-duga. Tentunya akan kian jauh tersesat. Seyogyanya apabila tersesat, siapapun mestinya kembali ke titik awal.

Sudah mengerti bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu harus dikuasi negara, ini justru diserahkan pengelolaannya ke asing; apakah mereka —para komprador— tidak paham bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat?

Semakin lama negeri ini kian terjerumus di lubang imperialisme modern berkedok soft loan, atau structural adjustment programmes (SAPs), skema investasi asing dan lain-lain. Lagi-lagi — karena faktor lupa, bangsa ini menjadi lengah dan tidak mampu melihat modus kolonialisme terbaru melalui gerak investasi asing, liberalisme, pasar bebas, dan seterusnya. Inilah bentuk lain dari jalan yang menyesatkan tetapi terus juga dilalui oleh elit-elit bangsa dengan berbagai alasan, justifikasi teori, dan lain-lain. Seyogyanya kita kembali ke titik awal (UUD 1945) agar tidak tersesat kian dalam.

Telah beberapa pemilihan umum digelar, tidak juga datang patriot sejati memimpin negeri ini. Sebaliknya, sejak dekade 2000-an melalui model pemilu langsung, atau pemilihan kepada daerah (pilkada) berpintu one man one vote dalam skema otonomi daerah justru melegitimasi penjahat jadi pejabat publik, mengubah syetan duduk sebagai tuan-tuan bahkan seringkali menjadi ‘tuhan’. Banyak Petruk dadi Ratu di antero negeri. Memang tak boleh gebyah uyah dalam menilai, kenapa? Karena tidak semuanya begitu. Tak sedikit sosok patriot lahir dari model pemilihan semacam ini. Namun secara umum, bangunan asumsi pada sistem politik sekarang, bahwa dengan bermodal pencitraan, rakyat cenderung tertipu. Keliru memilih, lalu menyesali atas pilihan sendiri.

Di tengah gelombang amnesia bangsa ini, pilihan-pilihan publik selalu dilandasi sensasi dan tampilan citra sosok yang berbasis modus tebar sembako, money politic, pengheroan di media mainstream, banyaknya banner, riuhnya baliho, dan lain-lain maka “Jadilah!” Bimsalabim!

Bukankah citra itu realitas semu; bukankah sensasi itu belum bekerja dan tidak membuat sejahtera? Ia tak nyata. Keduanya, baik sensasi maupun pencitraan itu semacam aroma masakan, baru tercium baunya belum rasanya! Atau juga seperti sihir, mimpi di siang bolong.

Asumsi GFI menyikapi dinamika politik sekarang ini bahwa yang sejatinya berkuasa adalah pemilik modal, yaitu mereka para donatur di balik layar. Pertanyaannya, “Kenapa semua terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya sederhana, “Kita abai terhadap ajaran ‘eling dan waspada’-nya Rangga Warsita.” Substansi ajarannya malah dilarikan oleh anak cucu ke ranah spiritual dalam konteks mikrokosmos. Jagad cilik, jagad gede!

Mundur sejenak untuk mengulas nasehat Milan Kundera tentang perjuangan melawan lupa. Bahwa hakiki Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung (1955) misalnya, intinya juga ber-ruh “geopolitik eling dan waspada”. Tak bisa tidak. Eling atau selalu ingat —ini ujud perjuangan melawan lupa— supaya bangsa-bangsa di Dunia Ketiga khususnya, agar senantiasa menggelorakan SEMANGAT ANTI-IMPERIALISME. Bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan di muka bumi. Itu pesan tersirat yang harus diingat. Dan juga mutlak WASPADA terhadap lingkungan yang senantiasa berubah. Artinya, berbekal pakem eling dan waspada inilah sebuah bangsa akan mampu mempeta (mapping) apapun baik pergerakan pola, perubahan bentuk maupun modus-modus penjajahan model baru nantinya.

Agaknya, cuplikan pidato Bung Karno (BK) pada konferensi di Bandung masih sangat relevan guna memotret fenomena yang sekarang berlangsung di beberapa negara Asia-Afrika, terutama skema kolonialisme gaya baru yang menimpa Indonesia, “Kolonialisme juga memiliki penampilan yang modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan juga kontrol fisik yang dilakukan sekelompok kecil orang asing dalam sebuah bangsa” (1955).

Apabila ingin mengkaji statement BK di atas, pertanyaan selidiknya adalah, “Apakah ekonomi kita sekarang dalam kendali asing; benarkah sebagian tokoh, elit, pengambil kebijakan dan kaum intelektual Indonesia dalam kontrol pihak luar?” Lalu, apa saja bentuk kontrol fisik oleh asing terhadap bangsa kita? Ini dulu yang harus dijawab dan mutlak di-breakdown sebelum membahas hal-hal yang lebih dalam.

Banyak dari kita lupa pada semangat itu. Semangat anti-imperialisme. Akibatnya kian lama justru semakin dalam terjajah. Tanpa sadar, kekayaan alam (SDA) dijual habis-habisan, lalu ditawar-tawarkan kepada bangsa luar atas nama investasi, menarik modal asing, IPO dan lain-lain. Kondisi di atas, mengingatkan penulis pada ucapan BK terkait antisipasi kolonialisme jenis baru di era modern kelak, “Biarlah kekayaan alam kita tersimpan sampai nanti putra-putra bangsa ini mampu mengolahnya sendiri”.

Menyikapi hal tersebut, ada empat retorika yang tak mampu dibendung, “Apakah kebijakan (obral SDA dan aset negara) tersebut, semata-mata demi kemakmuran rakyat, atau hanya pencitraan, atau karena politik balas budi, atau jangan-jangan untuk meraih fee yang tak seberapa bila dibanding nasib generasi penerus nantinya?” Entahlah. Dan tampaknya, para elit dan segenap pengambil kebijakan di republik ini lupa atas tampilnya kembali neo-imperialisme sesuai isyarat BK di atas.

Ya, geopolitik memang dapat dipandang sebagai doktrin, (ilmu) teori, wawasan, konsepsi, dan lain-lain, akan tetapi bila geopolitik diabstraksikan sebagai KEADAAN TERTENTU, maka sesungguhnya Indonesia kini telah masuk ke dalam kubangan “Zaman Edan” sebagaimana ujaran Rangga Warsita, sang pujangga.

Ayo, bangun dan bangkitlah bangsaku!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com