GFI: Pemerintah Indonesia Harus Satu Suara Dalam Perang Diplomasi Hadapi Freeport

Bagikan artikel ini

Rusman, Peneliti Ekonomi-Bisnis, Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute

Menjelang berakhirnya kontrak karya Freeport berakhir pada 2021, sungguh ironis ketika beberapa menteri dalam kabinet Jokowi-JK justru mempertunjukkan ketidakkompakan dan tidak satu visi dalam perang diplomasi menghadapi Freeport McMoran.

Hal ini terlihat melalui simpang-siur dan berubah-ubahnya arah kebijakan baik dipertunjukkan oleh beberapa menteri yang berwenang dalam negosiasi dengan Freeport, maupun pernyataan sikap dari otoritas tertinggi Freeport itu sendiri.

Mari kita telisik beberapa keanehan tersebut. Seperti dilansir beberapa media beberapa waktu lalu, Chief Executive Officer Freeport-McMoRan, Richard C Adkerson menyetujui semua tuntutan pemerintah Indonesia ihwal perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK), pembangunan smelter dalam 5 tahun, divestasi 51% serta peningkatan pendaptan negara dari pajak dan royalty.

Tentu saja hal ini mengejutkan mengingat seminggu sebelumnya, Freeport, melalui juru bicaranya, membantah klaim Menteri ESDM Ignatius Jonan bahwa Freeport sudah menerima divestasi saham 51%.

Namun cerita tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah pernyataan persetujuan pihak otoritas Freeport tersebut, kembali mencuat kabar adanya surat tanggapan Freeport kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, yang menolak semua usulan Pemerintah Indonesia terkait mekanisme dan penetapan harga saham.

Yang lebih mengherankan lagi, mengingat kenyataan bahwa dalam negosiasi dengan Freeport itu yang memainkan peran sentral adalah Menteri ESDM Jonan, surat tanggapan penolakan usulan Pemerintah Indonesia tersebut dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Ada apa sebenarnya di internal pemerintahan Jokoiwi-JK?

Fakta ini selain mengkhawatirkan juga sangat misterius dan tidak lazim. Di negeri manapun, dalam menghadapi kepentingan korporasi asing, apalagi kaliber raksasa seperti Freeport, para menteri terkait dalam negosiasi dengan korporasi tambang raksasa AS tersebut seharusnya bersatu dan satu visi.

Salah satu keberatan Freeport dalam surat keberatannya yang ditujukan kepada Kementerian Keuangan adalah mengenai usulan pemerintah dalam penetapan harga divestasi 51% saham yang memperhitungan asset dan cadangan hanya hingga 2021. Dalam suratnya, Freeport tetap bertahan bahwa penetapan harga divestasi saham yang mencerminkan nilai saham pasar wajar harus memperhitungan asset dan cadangan hingga 2041.

Persoalan materi keberatan dari kesepakatan terkait harga divestasi 51 persen saham sebenarnya wajar-wajar saja mengingat kepentingan nasional Indoensia dan AS memang beranjak dari titik-tolak yang berbeda. Namun ketika sikap penolakan Freeport tersebut dipertontonkan kepada publik, yang mencuat kemudian justru tidak satu-padunya di kalangan para menteri itu sendiri.

Surat penolakan usulan pemerintah Indonesia yang oleh pihak Freeport dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal  Kementerian Keuangan, mengindikasikan adanya ketidakserasian antara Menteri ESDM Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Meskipun dengan manuver Freeport mengirim surat penolakan usulan pemerintah kepada Kementerian Keuangan bisa kita pandang sebgai usaha untuk melakukan pecah-belah tingkat tinggi di dalam tubuh pemerintahan Jokowi-JK, namun adalah terang-benderang pula bahwa di dalam ring satu istana ada perbedaan agenda strategis terkait negosiasi perpanjangan Freeport tersebut.

Terkait arah kebijakan Freeport ini, Menteri Jonan maupun Menteri BUMN Rini Sumarno, nampaknya punya sikap yang sama. Menteri Jonan mengatakan di media bahwa tugas Kementerian ESDM dalam berunding dengan Freeport sudah selesai pada saat Freeport telah menyetujui perubahan dari KK ke IUPK. Perundingan selanjutnya terkait mekanisme dan metode penetapan harga divestasi 51% saham dan penetapan tax regime merupakan tugas Menteri keuangan.

Kalau mengikuti alur berpikir dan cara pandang Menteri ESDM Jonan, nampak jelas bahwa menteri keuangan Sri Mulyani dipandang hanya berperan untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah digariskan oleh Menteri Jonan selaku otoriitas tertinggi terkait soal pertambangan.

Bagaimana dengan Menteri Rini Sumarno? Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan hal yang serupa bahwa tugasnya hanya menyiapkan Holding BUMN Tambang, yang akan melakukan divestasi, jika perundingan Freeport dengan Jonan dan Sri Mulyani sudah selesai.

Kalau kita cermati, maka titik krusial dari kekisruhan ini nampaknya terletak pada arah kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang nampaknya tidak sejalan dengan arah kebijakan Jonan dan Rini.

Kalau ketiga menteri tersebut satu visi dan satu sikap, maka seharusnya tidak ada pemisahan tegas antara soal persetujuan Freeport mengubah status kerjasama dari KK menjadi IUPK, mekanisme dan metode penetapan harga divestasi 51% saham maupun penetapan tax regime.

Ketiga item tersebut seharusnya dibahas secara terintegrasi dalam keranka kebijakan strategis pertambangan pemerintah dalam berunding dengan korporasi tambang raksasa asing seperti Freeport.

Menyadari situasi yang cukup krusial tersebut, ketiga menteri strategis dalam pos ekonomi pemerintahan Jokowi-JK tersebut, haruslah bersatu dan jangan mau dipecah-belah oleh Freeport yang ketahui bersama merupakan korporasi yang menegara bahkan di negrinya sendiri, AS, berhasil merasuki arah kebijakan strategis pertambangan Gedung Putih. Sehingga beberapa bulan lalu, sampai-sampai mengirim broker tingkat tinggi-nya, mantan Presiden Barrack Obama.

Tipu daya nampaknya merupakan modus operandi Freeport dalam perang diplomasi terhadap Indonesia. Misal, dalam divestasi saham tipu daya pernah diterapkan oleh Freeport ketika menjalankan kewajiban divestasi 10% saham pada tahun lalu. Dalam penetapan harga saham yang ditawarkan kepada pemerintah, Freeport memasukkan variabel asset dan cadangan hingga 2041. Kali ini, tipu daya yang sama nampaknya juga coba dimainkan dalam negosiasi yang sedang dilakukan kali ini.

Kalau pemerintah Indonesia masuk jebakan skema ini, maka Freeport lah yang memenangkan perang diplomasi tersebut. Betapa tidak. arga jual saham Freeport sangat tinggi, bahkan dinilai over value. Pada saat itu, Freeport menawarkan 10,64% sahamnya senilai 1,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp. 22,1 triliun (US$ 1 setara Rp. 13.000). Dengan harga setinggi itu, pemerintah tidak sanggup untuk membelinya, Akhirnya, Freeport tetap saja menggegam mayoritas saham sebesar 90,64%, sedangkan Indonesia hanya 9,36% selama 50 tahun terakhir.

Maka itu, Global Future Institute berpandangan, pemerintah harus tetap tegas untuk mempertahankan tuntutannya dalam perundingan dengan Freeport. Kalau Freeport tetap saja menolak metode penetapan harga usulan pemerintah, maka pemerintah bisa mengajukan opsi untuk mengambil alih Freeport pada 2021, pada saat KK berakhir.

Intinya, dalam menghadapi Freeport, kita harus berprinsip bahwa kita akan berunding untuk menang. Bukan bernegosiasi semata-mata untuk bernegosiasi itu sendiri.

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com