Hentikan kekerasan SARA, Bangun Nasionalisme Sejati

Bagikan artikel ini
Arif Rahman, pemerhati masalah kekinian Indonesia. Tinggal di Bandar Lampung
Sementara itu, aksi bentrok antar kelompok massa yang dipicu masalah sosial budaya menggambarkan bahwa masih banyak kelompok masyarakat/pemuda yang dalam pergaulan sosialnya kurang memahami etika sosial, sehingga terjadi benturan sosial. Terus terjadinya konflik antar kelompok masyarakat/pemuda perlu diantisipasi dan pendidikan terkait pluralisme dan multikulturalisme agar terwujud kehidupan masyarakat yang harmonis.
Sedangkan, amuk masa berbau Suku. Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) yang mudah terjadi dimanapun seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Medan pada awal Juli 2016 dan dalam skala kecil seperti yang terjadi pada 5 Agustus 2016, di Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi perkelahian atau tawuran antar kelompok remaja berbeda suku, yang sudah terjadi ketiga kalinya jelas merupakan gambaran kita harus segera membenahi sikap kita dalam hidup bermasyarakat, terutama bernegosiasi menghadapi dan menyikapi pluralisme akan menjadi faktor penting mencegah kerusuhan SARA. Termasuk rekonsiliasi masyarakat di daerah-daerah yang rentan konflik perlu dikedepankan, apalagi rekonsiliasi di daerah yang terjadi kerusuhan SARA segera diwujudkan dengan dukungan pemerintah dalam bentuk memberikan jaminan keamanan paska konflik kepada masyarakat.
Harus diakui bahwa masih belum banyak keterlibatan masyarakat yang bersedia menjadi penyampai informasi dan mengajak anggota masyarakat mengenai pentingnya kerukunan antar umat dalam upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban, kondusifitas serta menolak segala bentuk anarkis di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Provokator Terlatih
Maraknya amuk massa dan bentrok massa di beberapa daerah, jelas mengindikasikan para provokator terlatih sudah berada di tengah masyarakat. Mereka dengan lihai langsung memanfaatkan setiap insiden sekecil apapun terkait SARA menggunakan media sosial guna memprovokasi massa. Kondisi ini diperburuk dengan kurang banyak emotional question (EQ) dan spiritual question (SQ) masyarakat kita.
Jajaran aparat negara diakui atau tidak, kurang intens atau kurang sering dalam memberikan “counter propaganda” terhadap hasutan provokator yang semakin marak di media sosial. Aparat negara kalah cepat dalam merespons atau mengcounter ulah provokator di media sosial.
Aparat negara sebaiknya melakukan hal yang sama, memperingatkan warga terkait kemungkinan yang akan terjadi untuk mengimbangi dengan apa yang dilakukan kelompok masyarakat tertentu yang sering memprovokasi masa. Provokator menyampaikan pesan menyesatkan mengajak masyarakat melakukan aksi brutal, aparat bisa mengimbanginya dengan menyampaikan pesan-pesan damai memanfaatkan media sosial yang sama jika terjadi insiden kecil terkait SARA, karena aparat keamanan selalu ada disetiap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Jika waktu itu ada informasi lain dari aparat di media sosial setempat mengingatkan masyarakat agar tidak terprovokasi insiden dimaksud, kemungkinan besar masyarakat tidak terprovokasi dengan isu searah tidak akurat berasal dari provokator.
Terus berlanjutnya bentrok antar kelompok masyarakat mengindikasikan bahwa tokoh-tokoh formal maupun informal telah gagal dalam perannya sebagai mediator dalam menangani persoalan-persoalan di masyarakat. Hal ini disebabkan semakin pudarnya nilai-nilai kearifan lokal, sehingga kohesi sosial dalam hidup bermasyarakat menjadi melebar dan rentan menimbulkan konflik sosial.
Konflik berbau SARA sudah sering terjadi di tanah air, karena itu pemerintah perlu memiliki suatu formula bagaimana mencegah jangan sampai peristiwa seperti itu terjadi lagi di kemudian hari di daerah lain.
Untuk mengatasi permasalahan itu secara nasional, tidak bisa hanya mengandalkan kepolisian saja, tetapi seluruh unsur keamanan harus turut terlibat termasuk pihak intelijen serta Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pemerintah Daerah juga diharapkan memanfaatkan Komite Intelijen Daerah (Kominda) serta Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) untuk mengefektifkan sistem early detection dan early warning di daerah.
Selain melakukan pengawasan, hal penting yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan literasi media kepada masyarakat. Kepolisian sudah menghimbau masyarakat supaya tidak sembarangan dan seenaknya berbuat di Medsos karena ada konsekwensinya. Masyarakat harus menjalankan aturan dan norma yang melarang melontarkan kata menghina, menista, berbohong atau menyebarkan konten negatif lainnya.
Dalam Medsos perlu dibangun empati kepada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan jika terjadi suatu kasus, masyarakat yang sudah sadar akan bahaya konflik dapat menggunaan media sosialnya untuk memunculkan pesan yang menyejukkan guna melawan pesan menyesatkan dari provokator.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com