Ilmuwan dan Spionase

Bagikan artikel ini

Dr Emeraldy Chatra, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas, Sumatra Barat

Dulu Inggris mengalami kesulitan menaklukan penguasa Arab. Mereka tidak paham bagaimana karakter penguasa jazirah Arab tersebut karena tidak banyak referensi yang dapat dibaca. Lalu mereka mengirim Thomas Edward Lawrence (kemudian dikenal dengan Lawrence of Arabia), seorang arkeolog dan juga tentara ke Arab untuk melakukan penelitian.

Melalui Lawrence of Arabia inilah kemudian Inggris dapat membaca kelemahan penguasa tanah Arab dan mulai menyusun strategi dan taktik untuk menaklukannya.

Ketika masih menjajah kita, Belanda mengalami kesulitan menaklukan orang Aceh. Mereka kalah dalam berbagai pertempuran. Bila perang terus dilancarkan, Aceh tidak akan dapat ditaklukan. Oleh sebab itu Belanda mengirim Snouck Hurgronje ke Aceh. Tugasnya mencari kelemahan orang Aceh. Beberapa tahun kemudian jatuhlah Aceh ke tangan Belanda.

Tahun 40an Amerika Serikat gerah melihat Jepang dan ingin menaklukannya. Tapi mereka tidak mau gegabah. Jepang itu kuat. Sementara informasi tentang Jepang masih sangat sedikit. Waktu itulah Ruth Benedict memainkan peranannya. Ia punya pengetahuan tentang Jepang, yang kemudian diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt.

Tahun 1945 Jepang menyerah kepada Amerika Serikat

Pengetahuan tentang sebuah bangsa adalah modal dasar menaklukan bangsa itu. Amerika Serikat juga pernah membuat proyek spionase berkedok riset ilmiah untuk menaklukan Amerika Latin yang diberi nama Project Camelot. Proyek yang punya nama asli The Special Operations Research Office (SORO) itu menelan biaya sekitar $4 – 6 juta.

Siasat menguras informasi dari negara yang dijadikan sasaran penaklukan kemudian berubah. AS dan negara-negara Eropa memberikan beasiswa kepada anak-anak muda di negara sasaran untuk kuliah di negara mereka. Tidak ada makan siang yang gratis. Anak-anak muda itu kemudian disuruh melakukan penelitian di negara mereka masing-masing untuk tesis atau disertasi. Dengan demikian informasi mengalir ke tangan pemberi beasiswa.

Sekarang metodenya lebih canggih. Mereka membuat jurnal ilmiah bereputasi internasional. Melalui saluran birokrasi para akademisi di negara sasaran dipaksa menuliskan hasil penelitian mereka di jurnal tersebut. Hasilnya menakjubkan. Sekali tepuk dua nyawa. Bisnis jurnal bereputasi internasional mendulang keuntungan karena para akademisi korban harus membayar, di sisi lain mereka mendapatkan pula informasi tanpa harus mengeluarkan biaya.

Sekarang mereka tertawa-tawa. Sementara para akademisi yang berhasil dikadali tersenyum bangga, tanpa sadar bahwa mereka sebenarnya sudah membantu negara lain menemukan kelemahan bangsanya sendiri.

Hemat saya pemerintah jangan ngasal (asal-asalan) dalam mendorong publikasi internasional. Sekarang ini terkesan ngasal: yang penting anda nulis di jurnal internasional, asal jurnalnya mau menerima. Ini bahaya. Harus ada filter di internal negara ini untuk menentukan mana yang boleh dipublikasikan secara internasional dan mana yang tidak. Keamanan negara harus diperhatikan

Kalau pemerintah ngasal begini dikuatirkan banyak temuan penelitian yang berpotensi industri kelak akan dimanfaatkan asing karena kita sendiri tidak mampu memanfaatkannya. Ilmuwan kita bertungkus-lumus menemukan sesuatu yang baru, tapi karena lemahnya kemampuan industri dalam negeri untuk melakukan pengembangan, akhirnya temuan itu dimanfaatkan negara lain.

Tak kurang berbahayanya kalau publikasi itu memaparkan sedemikian rupa potensi budaya kita yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik asing. Potensi budaya itu akan menjadi base-line data untuk memproduksi sejumlah program yang kelak dijual ke Indonesia dengan tujuan melemahkan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com