Indonesia dan ASEAN Harus Bersatu dan Solid Menentang Desakan AS Embargo dan Sanksi Ekonomi terhadap Korea Utara

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Melalui isu program senjata nuklir dan rudal balistik antarbenua Korea Utara, Amerika Serikat nampaknya sedang menggalang dukungan mitranya dari ASEAN, termasuk Indonesia, untuk bersama-sama mengembargo dan mengisolasi Korea Utara.

Nampaknya itulah misi khusus atau hidden agenda Patrick Murphy, Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Tenggara, dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini. Sebagaimana disampaikan  Murphy kepada para wartawan beberapa hari lalu, program rudal balistik antarbenua yang bermuatan nuklir yang dilancarkan Korea Utara, selain berbahaya karena bisa menjangkau wilayah-wilayah kedaulatan AS, pada saat yang sama juga harus dipandang sebagai ancaman terhadap kawasan Asia Tenggara.

“Dan kami melihat ancaman tersebut kian meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun dan bulan terakhir ini,” begitu tutur Murphy dalam perbincangan dengan beberapa wartawan di Jakarta minggu ini.

Mengaitkan isu persenjataan nuklir dan program pembuatan rudal anti rudal yang dilakukan pemerintahan Pyongyang, nampaknya memang bagian dari manuver diplomatik yang dilancarkan Washington untuk membujuk negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Dan pastinya, Indonesia merupakan sasaran utama untuk dipersuasi agar mendukung manuver diplomatik AS di berbagai forum internasional, untuk melancarkan embargo ekonomi dan isolasi terhafap Korea Utara.  Posisi dan kewenangan Patrick Murphy sebagai Deputi Asisten Menlu AS untuk urusan Asia Tenggara, maka jelas pernyataannya di Jakarta baru-baru ini harus dipandang cukup serius. Dan merupakan indikasi kuat adanya desakan dan tekanan diplomatik kepada Indonesia dan ASEAN agar mendukung gerakan AS untuk mengisolasi dan mengembargo Korea Utara dengan dalih ancaman program nuklir Korea Utara.

Bagi Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, harus waspada dan hati-hati merespons manuver diplomatik AS tersebut. Indonesia sebagai penganut azas politik luar negeri Bebas dan Aktif, dalam pengertian netral dari pengaruh tarik-menarik persaingan global antara AS versus Cina di Asia Pasifik dan Semenanjung Korea. Pada saat yang sama Indonesia pun harus menyadari bahwa spirit terbentuknya ASEAN pada Agustus 1967, sejatinya merupakan upaya dari Indonesia dan keempat negara pendiri ASEAN lainnya (Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina), untuk menetralisasi pengaruh negara-negara adikuasa baik dari Blok Barat maupun Blok Timur, agar masuk ke salah satu orbit pengaruh negara-negara adikuasa tersebut.

Dengan begitu, Indonesia dan seluruh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN harus bersatu dan solid menentang campur-tangan dan pengaruh AS agar ASEAN melancarkan kebijakan mendukung sanksi ekonomi dan isolasi internasional terhadap Korea Utara.

Mungkin melalui peran aktif Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, ASEAN bisa didorong untuk bersikap netral namun pro aktif dalam menggagas penyelesaian Krisis di Semenanjung Korea. Baik antara AS versus Korea Utara, maupun antara Korea Selatan versus Korea Utara yang sudah berlangsung sejak awal Perang Dingin pada 1950-an.

Kiranya bagi Indonesia, krisis dan konflik di Semenanjung Korea, tidak bisa sekadar dipandang sebatas sebagai konflik regional di kawasan Asia Timur atau Semenanjung Korea belaka.

Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, merupakan sentra geopolitik yang bakal menjadi sasaran dan medan perang/the theatre of war baru antara Amerika Serikat versus Cina. Bagi Indonesia, yang sejak awal kemerdekaan menganut azas Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif, sejatinya tren global tersebut merupakan momentum yang amat bagus untuk memotori kembali penyusunan Strategi Perimbangan Kekuatan Baru di kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN.

Maka itu, adalah fatal dan merupakan kesalahan strategis, jika Indonesia dan ASEAN ikut serta mengecam program nuklir dan pembuatan rudal balistik antarbenua Korea Utara. Berarti, Indonesia harus merevitalisasikan kembali Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif seraya mengingatkan kembali negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mempertahankan terus Netralitas ASEAN.

Jika Indonesia menyerah terhadap desakan dari Amerika dan blok Barat, maka bisajadi ini akan mengancam Netralitas ASEAN dan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif.

Selain itu hendaknya juga disadari bahwa pergeseran pesaingan global antar negara-negara adikuasa pada kenyataannya memang sudah beralih ke kawasan Asia-Pasifik dan utamanya Asia Tenggara.

Kedua, pula hal ini menggambarkan dengan terang-benderang bahwa Amerika Serika dan blok Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, mulai menaruh kekhawatiran yang cukup besar bahwa persekutuan strategis Cina-Rusia, ditambah lagi India yang bersama-sama dengan Brazil telah menjalin persekutuan strategis dengan Cina dan Rusia melalui skema Shanghai Cooperation Organization (SCO), pada perkembangannya akan semakin terjalin kerjasama-kerjasama strategis yang semakin solid dengan ASEAN sebagai mitra strategis.

Bagi Indonesia, yang pada April 1955 memotori terbentuknya Solidaritas bangsa-bangsa di kawasan Asia-Afrika melalui terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung, maupun Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, sudah seharusnya  kembali kepada konsepsi Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif.

Sebab untuk memotori penyusunan Strategi Perimbangan di Asia Tenggara menyusul bergesernya persaingan global negara-negara adikuasa di Asia Tenggara, para stakeholders kebijakan luar negeri RI harus dijiwai oleh Dasa Sila Bandung 1955 dan komitmen Gerakan Non Blok 1961.

Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif sebagaimana dimaksud dalam kerangka pemikiran ini adalah, Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif.

Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif, dalam menjabarkan tantangan global dan nasional yang kita hadapi sekarang. Juga dapat didefinisikan: “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok.”

Juga bisa diartikan Bebas dalam artian tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis secara giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.

Dalam konteks zaman sekarang yang sejatinya komunitas internasional sedang dihadapkan pada suatu skema Kutub Tunggal alias Unipolar yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa, maka para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI sudah saatnya menjabarkan konsepsi Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif dengan didasari  gagasan untuk membendung dan menetralisasikan skema Uni Polar AS dan Uni Eropa tersebut.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, kami dari Global Future Institute (GFI) mendesak Kementerian Luar Negeri maupun para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI pada umumnya, agar tetap menjaga netralitas Politik Luar Negeri RI sehingga tidak condong ke salah satu kutub.

Atas dasar kerangka pemikiran tersebut di atas, maka para pemangku kebijakan luar negeri RI baik Kementerian Luar Negeri maupun kementerian-kementerian terkait, untuk secara imajinatif mengimplementasikan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif, sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman yang kita hadapi dewasa ini.

Baik terkait perkembangan politik internasional di kawasan Asia Pasifik, Timur-Tengah, Semenanjung Korea, Afrika Utara, Eropa Barat dan Eropa Timur, dan barang tentu, Amerika Serikat dan Amerika Latin.  Maupun dalam menyikapi berbagai isu global seperti krisis Suriah, Ketegangan di Irak dan Turki, Kemandirian Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebagai aspirasi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, Ketegangan antara Amerika Serikat-Uni Eropa dalam krisis Cremea dan sebagainya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com