Indonesia Tidak Masuk Daerah Aman Bila Terjadi Perang AS vs Korut

Bagikan artikel ini

Pemaparan Bobby Adhityo Rizaldi, Komisi I DPR RI pada Seminar Terbatas bertajuk Membaca Kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia, Kamis (9 November 2017) di Wisma Daria, Jakarta Selatan.

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Pertama kali saya mengucapkan terima kasih kepada mas Hendrajit dan Tim Global Future Institute yang telah memberikan kesempatan untuk bisa kita bisa sama-sama sharing pada siang ini.

Ijin pak Yoedhi dan para narasumber yang lain saya duluan bicara karena setelah ini saya ada keperluan.

Jadi bagaimana bisanya pendekatan kami di Komisi I dalam merespon dinamika-dinamika yang terjadi, baik itu fungsi kami sebagai legislasi, penganggaran dan juga monitoring.

Saya sendiri di Komisi I sudah 3 tahun dan saya juga masuk dalam Badan Anggaran DPR RI.

Kita berkeyakinan tidak ada perang konvesional dalam kurun waktu 20 sampai 30 tahun kedepan. Sehingga konsep penganggaran, formasi postur pertahanan ini mengejar ketertinggalan, di mana tahun 1998 sampai 2004 di era reformasi, ditemukan sampai tahun 2008 tidak ada penambahan postur pertahanan Indonesia. Sehingga kita tertinggal di tingkat regional.

Asumsi-asumsi tersebut kalau bisa dikatakan ujung-ujungnya apa sih gunanya asumsi-asumsi itu. Bagi kami jelas, bagaimana anggaran itu harus dialokasikan. Bagaimana legislasi yang diperlukan untuk merespon kegiatan-kegiatan yang ada, termasuk didalamnya dinamika yang terjadi. Bagaimana proses monitoring kita, pengawasan sampai eskalasi yang tadinya rendah menjadi eskalasi yang bisa membahayakan pertahanan negara kita.

Pertama pendekatan kita terhadap Korea Utara, kita ingin memastikan. Memang opsi-opsi itu banyak. Banyak lembaga-lembaga, pengamat dan juga badan-badan kajian strategis itu mengopsikan beberapa dampak dari dinamika global saat ini. Paling utama pendekatan kita pada pendekatan fisik, yaitu apakah itu perang atau tidak Perang dan eskalasi seberapa jauh.

Ini membuat kita bisa paling tidak membaca situasi dan bisa dijewantahkan menjadi suatu kebijakan-kebijakan, baik itu dalam penganggaran, legislasi ataupun monitoring kita.

Pertama pendekatan kita adalah kekuatan arsenal antara Korea Utara dengan Amerika Serikat (presentasi film kekuatan militer sumber Youtube)

Dibidang nuklir mereka jauh, hanya memiliki 4,8 miliar sementara Amerika 5100. Pun roket yang mereka coba itu tidak akan pernah bisa mencapai daratan Amerika. Sudah bisa diintersepsi dari Jepang, Korsel dan juga di Guan. Kemampuan militernya juga bukan tandingan Amerika.

Korut hanya punya hacker 1800, Amerika investasi sangat besar. Jadi gambaran seperti ini, Amerika dengan budget sekitar 8 ribu triliun itu bukan tandingan Korut. Betul seperti yang disampaikan mas Hendrajit itu, sepertinya omong doang. Mungkin bisa antara Amerika dengan Cina, apalagi aliansi utama Korut adalah Cina.

Tahun 2017 Cina sudah menganggarkan 215 miliar dolar. Amerika turun dengan 603 miliar dolar tetapi Donald Trump berjanji akan menambah 10 persen lagi. Perbandingan pesawat tempur antara antara Amerika dengan Cina 3 ribu melawan 13500 unit. Pengembangan militer udara Cina masih jauh dari Amerika.

Intinya, kalau Amerika melawan Cina juga secara arsenal militer, plus dari nuklir itu sangat jauh. Masih dalam perbandingan 60-70 persen Amerika memenangkan perang.

Belum lagi yang paling utama adalah Amerika memiliki 54 aliansi pertahanan lewat perangkat NATO. Sedangkan Cina hanya memiliki Lima aliansi utama. Dan ini juga nantinya akan berdampak terhadap penempatan-penempatan arsenal kekuatan militer Amerika yang lebih diuntungkan karena mempunyai pangkalan-pangkalan yang bisa lebih dekat ke daratan Cina. Sedangkan kemampuan untuk menjangkau Amerika itu masih sangat jauh. Singkatnya, masih sulit Cina untuk mengalahkan Amerika secara kekuatan militer. Bagaimana efeknya bagi Indonesia?

Bila kita melihat dampak fisiknya. Okelah kita tidak tau, namanya orang nekat perang, apa sih dampaknya secara fisik. Fisiknya itu diradio aktif. Ada kemungkinan karena nuklir itu bisa memancarkan partikel-partikel radio aktif yang tersebar melalui udara. Kenapa? Karena perang di kawasan itu hanya berjarak 2200 kilometer dari Papua dan 4700 kilometer dari Jakarta. Bila terkontaminasi banyak, bisa mutasi genetik. Saya tidak tau apakah ini bohong atau tidak, tapi yang bicara adalah orang Bapeten yang bicara di Kemhan sekitar bulan Juni.

Jadi bagaimana solusinya. Sampai hari ini posisinya alhamdulillah Indonesia masih belum punya alat detektor radio aktif untuk udara. Tetapi di tahun 2018 sudah dianggarkan untuk 6 lokasi, Makassar dan arahnya lebih ke kiri ke arah utara yang akan dioperasikan BMKG. Itu sudah dianggarkan untuk digunakan oleh Bapeten, itu di Komisi VII kalau tidak salah.

Jadi paling tidak dalam politik anggaran, kita sudah mulai ada konsideran terhadap hal tersebut. Walaupun jangan dilihat dari nilainya masih kalah dengan dana desa. Tapi saya boleh sampaikan disini kalau ada yang pernah mendengar bahwa kita memulai pembangunan dari desa.

Untuk Komisi I dan Kemeterian Pertahanan adalah yang memiliki anggaran terbesar dari seluruh kementerian dan lembaga, nomor satu. Nomor dia baru infrastruktur. Jadi konsideran ini menempatkan bahwa kedaulatan itu adalah tetap nomor satu bagi pemerintah Indonesia saat ini.

Dampak ekonominya. Paling utama karena bila dilihat geografisnya Korut kalau terjadi ketegangan yang paling utama adalah harga energi. Lalu lintas kita, penjualan LNG kita ke Korsel, ke Cina, ke Jepang itu kemungkinan akan macet. Minyak kita ekspor mungkin akan macet.

Ini yang membuat potensi ancaman secara ekonomi adalah harga energi kita berfluktuasi. Berfluktuasi tetapi ini sudah ada solusinya juga. Semoga dengan konsolidasi yang dilakukan Kementerian Energi SDM ini jika sekiranya terjadi perang di kawasan, baik itu di Cina Selatan atau Korut, semua ekspor energi itu harus bisa dengan cepat dialihkan ke dalam negeri. Untuk memastikan tidak ada energy gap akibat dampak perang.

Itu Kalau terjadi perang. Tetapi asumsi dasar yang selama ini sudah berkembang dan tadi sempat disinggung moderator, saya setuju. Sepertinya kalau kita membaca banyak berita tapi tidak informasi. Atau informasi yang sudah disampaikan ini sepertinya ada sesuatu di belakangnya. Kalau kita lihat dari asumsi perspektif dasar bahwa tidak akan ada perang kawasan Korea dan sekitarnya.

Pertama, tidak ada yang menginginkan perang. Korut, miskin itu negara. Ingin perang lagi, ingin seperti apa.

Lantas kedua. Kalau kita melihat gestur-gestur diplomatik itu yang lebih penting dibandingkan omongan-omongan saja. Jadi apa yang disampaikan perang mulut antara Kim Jong Un dengan Donald Trump itu tidak disertai oleh gerakan gestur-gestur diplomatik. Kalau tidak disertai oleh gestur-gestur diplomatik menurut kami terjadi perang masih sangat jauh.

Lantas yang ketiga. Amerika sudah pernah dalam situasi ini di tahun 1994. Sehingga gertakan-gertakan itu sejak dulu seperti itu saja. Tidak akan sampai perang. Malah dengan gertakan itu, malah Korsel malah beli senjata lebih banyak lagi dari Amerika. Jadi ujungnya “UUD” juga, ujung-ujungnya dunia dagang juga.

Bagaimana tantangan bagi Indonesia. Disini lah Indonesia harus cantik bermain. Amerika dengan aliansi 54 negara dibandingkan RRC dengan aliansi Lima negara.

Bila dilihat dari banyak negaranya, jelas lebih besar aliansi Amarika dibandingkan aliansi Cina. Tetapi tantangannya bahwa investasi Cina ke Indonesia itu 5 banding 1 pada saat ini.

Kalau kita melihat di berita media, 10 negara terancam bila terjadi perang nuklir antara Amerika dan Korut pecah. Sayangnya, tadi sudah disampaikan karena kita sudah masuk di Asia Pasifik. Kita ini tidak masuk daerah aman bila terjadi perang. Jadi kita pasti terlibat Kalau Amerika dengan Korut perang.

Ancaman fisiknya jelas. Dari 2014 sampai 2017 yang selalu disampaikan ada 73 infrastruktur besar. Ada pelabuhan baru, ada airport baru, ada jalan tol baru. Itu adalah konsep pembangunan infrastruktur yang terintegrasi.

Kalau lihat di Morowali bagaimana. Nanti di Sulawesi Utara bagaimana. Kondisi terlihat timur bagaimana. Itu adalah konsep yang terintegrasi dengan OBOR. Kalau pemerintah salah memainkan perannya bisa-bisa investasi tidak jalan dan akhirnya pindah ke Malaysia. Kita baru dapat 6 miliar ribut luar biasa. Ada penyeledupan pekerja, ada cabai mutasi gen. Malaysia sudah dapat 17 miliar. Pakistan sudah dapat komitmen 62 miliar.

Kalau kita maju mundur maju mundur, sudah pasti investasi tidak masuk. Karena untuk masuk investasi ini masih harus Ada sekitar 23 regulasi yang harus diubah. Contohnya sektor kelistrikan bagaimana pemerintah membuat jaminan. Kalau sekarang belum ada jaminan pemerintah.

Kalau ada jaminan pemerintah, investasi dari RRT masih bisa masuk. Kalau ada jaminan, ini yang bisa masuk hanya perusahaan-perusahaan yang perekonomiannya bisa ditopang oleh project-project yang lama.

Hal-Hal seperti ini secara teknis memang sulit sehingga antara pemerintah pusat dengan levelan teknis itu kadang-kadang maju mundur sehingga tidak jadi-jadi. Dan akhirnya lewat tenggat waktu. Inilah tantangan secara fisik.

Ancaman non fisiknya adalah bagaimana bila misalnya memang secara perdagangan kita dengan Amerika itu ada surplus mulai tahun 2012. Dan surplus perdagangan terbesar dengan Amerika di tahun 2016 sekitar 8,5 miliar dolar. Kalau mereka embargo seperti waktu sebelum tahun 2004, F16 tidak bisa terbang, semuanya tidak bisa jalan. Investasi general elektrik powerplain tidak bisa jalan. Bagaimana kita mengatasinya. Walaupun Amerika bukan mitra dagang nomor satu untuk Indonesia tetapi semua barking kita menggunakan dolar bukan yuan.

Ini yang bisa terekspos sehingga kalau dalam badan anggaran itu, dalam asumsi kita menghitung mengenai kemungkinan pemerintah melakukan kuatitatif atau dia menaikkan tingkat bunga. Maksudnya kalau dia menaikkan tingkat bunga berarti investasi uang dolar kita akan balik ke sana. Supaya investasi itu kuat, balik lagi ke Indonesia, kita harus menaikkan bunga kita. Secara moneter dalam situasi seperti ini menaikkan suku bunga kita berarti uang yang beredar di masyarakat akan semakin sedikit.

Proyek dibawah 20 miliar disikat BUMN sudah teler kita. Tidak ada uang cash di masyarakat. Saya beli turun, tutup semua. Apalagi bila dolarnya pindah ke sana semua. Belum lagi capital flat di pasar modal, tutup lagi itu.

Embargo senjata dan produk-produk konsumsi dasar seperti jagung dan berbagai macam produk-produk pertanian. Bagaimana solusinya?

Ini bisa dijewantahkan lagi. Didetailkan lagi oleh Kementerian Luar Negeri bagaimana kita bisa kanan kiri baik. Apa yang ada jangan hilang. Investasi tetap datang, embargo juga jangan.

Dengan Korut walaupun kecil, sahabat Korut itu tidak banyak. Tidak sampai 20 atau 15, termasuk Indonesia disitu. Investasi disini dikit saja. Jadi yang paling utama kita ikut serta masuk dalam perdamaian dunia. Dan yang paling penting adalah bahaya itu jangan ada konflik horizontal.

Pertarungan antara 2 gajah besar ini akan melahirkan suatu proxy agent. Proxy agent itu akan masuk dalam proxy war. Ini sudah kita lihat contohnya dengan jelas. Arab spring, Merawi, kita lihat. Malaysia sudah hampir bunuh-bunuhan juga.

Proxy war ini tidak ada untungnya sehingga yang paling utama kalau misalnya tidak puas kepada pemerintah, tidak puas dengan presiden, tidak puas dengan kebijakan-kebijakan OBOR, tumpahkanlah semua dalam pemilu. Jangan sampai ada konflik horizontal, apalagi berujung pada konflik fisik, itu sangat merugikan kita semua.

Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan. Saya terbuka sekiranya nanti ada pertanyaan bisa diusulkan. Nanti sta akan tinggalkan nomor handphone, whatshap saya kepada moderator.

Walaikumsalam wr. wb.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com