Indonesia: Tujuan Imperialisme dan Kolonialisme Global

Bagikan artikel ini

Tulisan ini lanjutan artikel terdahulu yang berjudul Indonesia dalam Perspektif Geopolitik Global.

“Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”. Falsafah Timur Tengah ini mengajarkan kepada kita, bahwa Tuhan adalah tujuan semua makluk, entah ia binatang, jin, gondoruwo, wewe gombel, MANUSIA, malaikat, dan sebagainya. Bagi makluk yang beriman (percaya), semua ingin mendapat ridha-Nya.

Dalam konteks kehidupan bernegara, kenal diri dimaknai sebagai kenal akan geopolitik negeri baik sisi potensi, ancaman, peluang, kekuatan, dsb dari berbagai elemen astagatra yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan [posisi]geografi, demograf serta aspek SDA. Sun Tzu menyebut, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, kau akan memenangkan banyak pertempuran.”  Inilah prolog catatan tak ilmiah ini.

Mencermati data potensi Indonesia secara geopolitik baik dari aspek atau elemen politik, ekonomi, SDA, (posisi) geografi, pariwisata, dll sebagaimana diurai di atas — dalam perspektif kolonialisme, maka Indonesia dianggap zona yang mutlak harus aman bahkan wajib steril dari serbuan militer (hard power) negara-negara manapun, kenapa?

Betapa faktor-faktor tadi sangatlah dahsyat di mata global terutama geoposisi silang, kendati faktor satu ini belum dioptimalkan secara serius oleh negara cq elit penguasa. “Belum mensyukuri nikmat.” Bahwa takdir geopolitik tersebut, meniscayakan republik ini menempati posisi selain (1) sebagai pemasok raw material bagi banyak negara industri maju; (2) sebagai pasar potensial karena faktor demografi, dll juga diletak (3) sebagai kawasan untuk memutar ulang kembali atas kapital yang telah diakumulasi oleh negara-negara industri maju. Artinya, serangan militer terhadap Indonesia, atau ada peperangan militer seperti di Syria, Libya, misalnya — akan berimplikasi buruk bukan hanya kepada Indonesia tetapi terhadap semua negara yang memiliki kepentingan atas ketiga hal tersebut.

Australia misalnya, ia akan menjerit jika Indonesia “tidak aman” sebab hampir 80% APBN-nya tergantung Indonesia. Belum lagi Cina, atau Jepang, Amerika, Prancis, dan lain-lain. Sistem transportasi ekspor impor negara-negara akan terganggu, “pasar”-nya lenyap, pasokan bahan baku untuk keperluan industri akan tersendat, atau aktivitas putar ulang kapital akan berhenti, dan lainnya.

Kedahsyatan takdir geopolitik tadi — selain dapat meletakkan Indonesia sebagai aktor kunci dalam setiap kerjasama apapun di kawaan Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik, tak boleh disangkal bahwa ia juga akan menjadi ‘kawasan tujuan kolonialisme (dan imperialisme)’ negara manapun, siapapun, dan kapanpun untuk mengekspoitasi, menguasai dan mencaplok baik SDA maupun aspek-aspek ekonomi lainnya. Hal inilah yang harus dikenali serta disadari bersama oleh berbagai elemen bangsa. Tak boleh tidak. Akan tetapi karena faktor geoposisi silang, maka modus dan pola imperialisme para negara (adidaya) dipastikan akan secara non militer (asymmetric warfare), bukan secara militer (hard power) sebagaimana terjadi di Irak, Afghanistan, Libya, Syria, dan lain-lain.

Persepsi ancaman seperti inilah yang akhirnya diartikan keliru serta dimaknai salah oleh beberapa lembaga kajian, bahwa Indonesia tidak perlu membesarkan peran militer. Buku Putih Pertahanan Indonesia (BPPI) contohnya, panduan resmi (Blue Print) dari Kementrian Pertahanan RI guna penyusunan doktrin, strategi pertahanan, dan pengadaan alutsista TNI terkait pertahanan Indonesia. Ia disusun berbasis UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. BPPI terbit pertama pada tahun 2003, kemudian setelah melalui revisi terbit kedua tahun 2008. Namun celakanya, salah satu rekomendasi BPPI 2008 menyebut:

” .. bahwa ancaman invasi atau agresi militer negara lain terhadap Indonesia kecil kemungkinannya, sehingga kemampuan perang modern tidak perlu dimiliki oleh TNI.”

Astaga! Mungkin inilah jawaban sementara mengapa alutsista TNI ketinggalan zaman selain daripada penganggarannya terbilang kecil, kenapa? Karena skema pembangunan militer Indonesia direkomendasi demikian: “Kemampuan militer modern tidak perlu dimiliki oleh TNI.”

Ngono-ngono ning ojo ngono, kata ujaran Jawa. Logika geopolitik memang kecil terjadi serangan militer dari luar, namun bagaimana dengan sistem pengawasan dan pengamanan perairan, selat-selat, atau pengamanan daerah perbatasan yang luas lagi berpulau-pulau? Semua itu membutuhkan strategi handal, peralatan militer modern, kapal-kapal, pesawat tempur canggih, anggaran besar, dll. Kiranya kerangka pikir keliru secara sistematis dalam konsepsi pertahanan negara ini mutlak harus segera diubah total demi tetap tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (Jenderal Soedirman, 1947).

Terkait asumsi bahwa Indonesia merupakan tujuan imperialisme dan kolonialisme global karena faktor geopolitiknya, maka pola serta modus peperangan asimetris di muka bumi mutlak harus diajarkan kepada segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, baik mulai tingkat sekolah dasar (es de), es empe, dsb hingga tingkatan doktoral kalau perlu. Hal ini dilatar-belakangi keprihatinan, bahwa Indonesia kemarin, kini dan mungkin kedepan — tengah dijadikan ajang medan tempur (proxy war) oleh para adidaya secara asimetris (nirmiliter), tetapi justru banyak tokoh agama, tokoh adat, kaum akademisi, generasi muda dll tak menyadari bahkan larut pada skema yang sedang dijalankan oleh kepentingan asing.

Ketika segenap elemen bangsa ini gaduh soal korupsi, bukankah kita telah masuk dalam perangkap asing agar bangsa ini hanya sibuk di tataran hilir? (Baca: Korupsi di Indonesia Diciptakan oleh sistem), sementara persolan bangsa di hulu berupa kontrol ekonomi dan penguasaan SDA oleh asing justru kian kuat tertancap. Nyaris tanpa gugatan.

Manakala kita selalu gaduh menegakkan freedom dan HAM, bukankah berarti anak bangsa ini tengah menjalankan geostrategi milik asing; apakah di negara-negara yang telah menjadi sekutu Barat (Arab Saudi misalnya), ada HAM dan demokrasi?

Tak bisa tidak. Sesuai prolog tulisan sederhana ini, kita mutlak harus mengenal diri (geopolitik) sendiri, maka niscaya akan mengenal Tuhannya (tercapai tujuan negara). Inilah yang harus segera dilangkahkan oleh segenap anak bangsa!

Bangkitlah bangsaku!

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com