Ironi Papua: Kaya Sumberdaya Alam dan Seluas Setengah Eropa tapi Tidak Berdaulat

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.com

Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan Lembagan Studi Strategis Indonesia (LSSI), pada Kamis 28 Desember 2017 menggelar diskusi akhir tahun bertajuk “Peran Media Dalam Memotret Papua dari Perspektif Politik-Keamanan, Sosial-Ekonomi dan Media Massa.”

Menghadirkan beberapa narasumber: Letjen Marinir (purn) Suharto, Pakar Ekonomi-Politik Universitas Bung Karno, Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso, dan Wartawan Senior Pos Kota Grup dan Budayawan M Djoko Yuwono.

Ada beberapa gagasan strategis yang mendorong digelarnya diskusi akhir tahun yang mengangkat isu Papua. Hendrajit selaku Direktur Eksekutif GFI dalam sambutan pembuka mengatakan, saat ini Papua masih tetap jadi sorotan internasional dengan memainkan isu hak-hak asasi manusia sebagai instrumen politik untuk menekan kebijakan luar negeri Indonesia.

Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Foreign Relations Authorization Act (FRAA) yang dikeluarkan Kongres Amerika Serikat, yang mana siapapun presiden yang berkuasa di Gedung Putih, secara berkala harus menyampaikan Progress Report kepada Kongres terkait pelanggaran HAM di Papua. Selain itu, gerakan menginternasionalisasi isu Papua di Parlemen Eropa maupun berbagai organisasi internasional, terus gencar dilakukan elemen-elemen pro kemerdekaan Papua yang didukung oleh komunitas internasional.

Sayangnya, Hendrajit juga mengingatkan, bahwa terlepas dari adanya gerakan intensif menginternasionalisasi isu Papua, di dalam negeri sendiri tidak ada sinkronisasi kebijakan maupun penyikapan berbagai kementerian maupun instansi pemerintah. Sehingga pada perkembangannya justru membuka ruang gerak yang semakin luas kepada elemen-elemen pro kemerdekaan maupun komunitas internasional untuk semakin gencar memainkan isu internasionalisasi Papua.

Letjen Marinir (purn) Suharto yang pernah menjabat Komandan Jenderal Korps Marinir pada saat genting-gentingnya Rusuh Mei 1998 yang bermuara pada lengsernya Presiden Suharto, mengingatkan bahwa Papua bukan sekadar medan tempur antar negara-negara adikuasa seperti AS versus Cina. Bahkan merupakan the Theatre of War. Medan perang dalam arti yang seluas-luasnya. “Maka itu saya sangat prihatin bahwa dari segi kemampuan militer untuk melindungi kedaulatan Papua dari ancaman militer asing, kita sama sekali tidak punya Coast Guard atau pasukan penjaga pantai. Ini jelas sebuah ironi besar, mengingat Indonesia sejatinya merupakan negara maritime dan kelautan,” begitu penegasan Letjen Suharto yang saat ini aktif sebagai Ketua Fron Nasional.

Dalam analisis Pak Harto, dengan tidak adanya Coast Guard penjaga pantai, berarti kebijakan pertahanan di negeri kita masih merujuk pada cara pandang geopolitik pemerintah kolonial Belanda. Bahwa daerah jantung Indonesia adalah Jawa. Menguasai Jawa berarti menguasa Indonesia. Menurut alumni Akademi Militer Nasional angkatan 1969 itu, sudah sangat ketinggalan zaman alias kadaluarsa.

Alhasil, Papua yang kaya sumberdaya alam seperti tambang-batubara, belum lagi luas wilayahnya yang merupakan setengahnya Eropa, sangat rawan dari segi kedaulatan nasional. Artinya, sangat rawan untuk ditembus oleh serangan asing dari segi kemiliteran.

Selain itu dalam konteks Politik-Keamanan dalam lingkup yang lebih luas dan strategis, Pak Harto merasa gusar dengan adanya pelemahah internal NKRI, yang berakibat pelemahan kedaulatan NKRI. Dan salah satu yang paling krusial saat ini adalah di Papua.

Dalam situasi yang demikian, Papua sebagai salah satu wilayah kedaulatan NKRI, sehingga rentan dikuasai oleh pemegang keuangan/ekonomi/pemodal kuat untuk mengatur negara/pemerintah. Kalau tren ini semakin menjadi-jadi, maka keberadaan Indonesia sebagai negara berdaulat tidak akan ada lagi.

Maka Letjen Suharto memandang Papua saat ini ironis dan tragis. Wilayahnya seluas setengah kawasan Eropa dan kaya sumberdaya alam, namun potensi kekayaan yang diperkirakan mampu menghasilkan Rp 5000 triliun itu, hingga kini kekayaan Papua yang melimpah ruah tersebut sama sekali tidak dinikmati rakyat Papua.

“Papua dengan kekayaan alamnya apalagi Freeport yang telah mengeruk kekayaan alam Papua sebanyak +/- Rp 8000 triliun, tetapi kenapa pemerintah tidak bisa memberikan penduduk yang +/- 3 juta dengan 1 juta rumah layak untuk kesejahteraan masyarakat Papua?”

Padahal itulah salah satu dari upaya untuk mengamankan wilayah dengan kesejahteraan, apalagi ditambah dengan diberikan 1 pasang babi dan atau 1 pasang sapi setiap keluarganya, yang setiap tahunnya kesejahteraan setiap keluarga akan semakin meningkat lagi.

Dalam pandangan Pak Harto, yang tersisa dari Papua saat ini tinggal adakah good will atau niat pemerintah Indonesia untuk untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Demikian pemaparan Letjen Suharto dari perspektif Polkam.

Pakar Ekonomi-Politik UBK Salamudin Daeng, punya cerita yang cukup mengagetkan para peserta diskusi. Daeng mulai dengan sebuah catatan yang cukup informatif mengenai asal-usul Papua yang sempat bernama Irian Jaya.

Dalam website Papua.co.id disebutkan bahwa Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea. Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk belahan mur negara tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.

Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia An -Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berar rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.

Pada era reformasi nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).

Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia bagian mur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat. Papua bergabung dengan Indonesia tahun 1963 setelah melalui serangkaian tekanan militer kepada Belanda (1961) dan diplomasi yang melibatkan pihak Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa Bangsa.

Dalam paparannya, lebih lanjut Daeng menggambarkan Papua merupakan wilayah yang kaya, sama seperti wilayah Indonesia lainnya. Papua memiliki sumber daya alam terlengkap, seperti kekayaan mineral, minyak, gas, hasil hutan dan perkebunan. Kekayaan alam Papua yang terbesar adalah pertambangan emas perak dan tembaga. Namun setiap jengkal tanah Papua ini telah habis dibagi bagikan dalam bentuk kontrak dan ijin eksploitasi kekayaan alama kepada perusahaan tambang, perusahaan minyak, perusahaan kehutanan dan perusahaan perkebunan.

Celakanya, menurut Daeng, pulau terbesar dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini telah dikuasai oleh perusahaan swasta dan sebagian besar adalah swasta asing.

Sekedar gambaran secara lebih rinci. Penguasaan investor atas kekayaan alam Papua sebagai berikut, Kontrak Karya (KK) Freeport seluas 2,6 juta hektar, Hak Penguasaan Hutan (HPH) seluas 15 juta Hektar, Hutan Tanaman Indistri (HTI) seluas 1,5 juta hektar, ijin Perkebunan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) seluas 5,4 juta hektar.

Seluruh ijin ekploitasi kekayaan alam tersebut luasnya setara dengan 57 persen luas daratan Papua. Belum termasuk kontrak migas. Sebagaimana diketahui bahwa perusahaan minyak terbesar yang sekarang beroperasi di Papua adalah British Petroleum (BP) yang menguasai Gas Tangguh di Teluk Bintuni Papua Barat.

Pada tataran ini, Salamudin Daeng sependapat dengan Letjen Suharto. Yaitu terjadinya kontras antara kekayaan alam Papua yang begitu melimpah-ruah dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang sangat miskin. Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam namun sebagian besar masyarakatnya miskin.

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam namun sebagian besar masyarakatnya miskin. Memang keadaan yang sama juga dialami oleh daerah lainnya yang kaya SDA seperti Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Barat, Maluku, yang merupakan jejeran daerah termiskin yang kaya sumber daya alam. Hilangnya akses masyarakat terhadap kekayaan alam di sekitar mereka, tingginya eksternalitas akibat dari ekploitasi sumber daya alam termasuk di dalamnya kerusakan lingkungan, serta tidak adanya industrialisasi yang membuka akses lapangan pekerjaan secara luas menyebabkan masyarakat sekitar lokasi investasi jatuh miskin. Meskipun pemerintah pusat telah memberikan alokasi Dana Otonomi Khusus 2 Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang sangat besar. Bahkan APBNP tahun 2016 rencana akan dialokasikan sebesar Rp 7,765 triliun (sebelumnya Rp 7,0 triliun). Namun tidak menolong keadaan.

Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat itu dibagi 70% atau Rp 5,435 triliun untuk Provinsi Papua dan 30% atau Rp2,329 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Selain itu, pemerintah juga memberikan Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Rp3,375 triliun.

Jumlah dana tambahan infrastruktur ini dibagi masing-masing untuk Provinsi Papua sebesar Rp2,261triliun,dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 1,113 triliun.3 Sebagai perbandingan pada APBNP 2015, dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp 2 triliun, dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp 500 miliar.

Namun alokasi dana yang besar tersebut belum berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dan juga Papua Barat.

Rendahnya kemampuan pengelolaan anggaran, masih tingginya penyimpangan dan korupsi menjadi penyebab semakin merosotnya kesejahteraan rakyat Papua. Peningkatan anggaran Otonomi Khusus dari waktu ke waktu tidak memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Inilah gambaran yang sangat ilustrasitf yang disajikan Salamudin Daeng mengenai aspek paling krusial tentang Papua dalam perspektif Sosial-Ekonomi. Untuk lebih lengkapnya, bisa dibaca dalam makalah yang dia presentasikan bertajuk Masa Depan Papua dan Freeport.

Dalam pandangan Daeng, kehadiran Freeport di Papua memang bukti nyata kolonialisme dan imperialisme Amerika di Papua.

Siapa Perusahaan Freeport yang berhasil mengacak acak kedaualatan Indonesia? Freeport merupakan salah satu perusahaan raksasa dalam sektor pertambangan kelas dunia yang beroperasi di
Papua. Satu diantara perusahaan tambang besar multi-nasional yang ada di Indonesia.

Perusahaan tambang raksasa lainnya adalah Newmont (NYSE:NEM), Vale (NYSE:VALE), BHP Billiton (NYSE:BHP), dan ERAMET (EPA:ERA). Perusahaan perusahaan tersebut diatas menyumbangkan sedikitnya 6% terhadap GDP Indonesia. secara keseluruhan pertambangan menyumbangkan 12 terhadap GDP (resourceinves ngnews.com).

Pada mulanya, Freeport McMoRan didirikan pada 1912 untuk menambang belerang (sulphur) di Amerika Serikat untuk penjualan di Italia. Freeport mendapatkan penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat karena menyuplai belerang bagi produksi senjata selama perang dunia pertama (PD I).

Sepanjang hayatnya perusahaan Freeport berganti-ganti nama sesuai jenis penambangan mineral yang dieksploitasinya. Nama Freeport Sulphur Company pada 1971 bergan menjadi Freeport Minerals
Company. Paul W. Douglas jadi presiden pada 1975 dan pada 1981 menemukan tambang emas di Jerrit Canyon, Nevada, mendirikan Freeport Gold Company.

Perusahaan ini menambang berbagai jenis tambang seperti mangan, uranium, kaolin, belerang, nikel, potassium, fosfat, batubara, emas. Penguasaannya sampai ke Australia (emas, nikel), dan Cuba (nikel). Perusahaan ini juga merambah ke minyak dan gas bumi, pupuk nitrogen. Sayap bisnis Freeport lainnya adalah pembangunan kota, terminal kereta api dan lain-lain.

Freeport memang salah satu perusahaan tambang Amerika Serikat terbesar yang beroperasi di Indonesia saat ini. Perusahaan tambang lainnya yang juga cukup kaya adalah PT Newmont Nusa Tenggara di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kedua perusahaan ini menguasai lebih dari 95 % ekspor tembaga, emas dan perak dari Indonesia.

Dalam laporan keuangan perusahaan Freeport dinyatakan bahwa total aset Freeport-McMoRan Inc. pada tahun 2014 mencapai US $ 58.795 billion menurun dibandingkan 2013 senilai US$ 63.473 billion. Sementara utang perusahaan pada tahun 2014 mencapai US $ 18.970 billion, menurun dibandingkan tahun 2013 senilai US $ 20.706 billion.

Perusahaan nasional yang memiliki aset yang mendekati nilai asset Freeport adalah PT. Pertamina Persero dengan total asset sekitar US$ 50 miliar dan PT PLN sekitar 1 billion dolar. Freeport tidak hanya bergerak dalam sektor pertambangan mineral, namun juga bergerak dalam sektor migas.

Tahun 2014 Freeport McMoran mendapatkan revenue dari tambang tambangnya termasuk minyak di seluruh dunia senilai US $ 21.438 miliar, salah satunya diperoleh dari Indonesia mining senilai US$ 3.071 miliar atau mencapai 14.33 % dari total nilai penjualan perusahaan ini.

Bagi Freeport saat ini lebih memerlukan kepastian dari pemerintah Indonesia atas perpanjangan kontrak mereka. Ini untuk memperbaiki kredibilitas pasar keuangan mereka yang tengah merosot. Harga saham Freeport telah jatuh pada angka yang paling rendah sementara kewajiban yang di mbukan oleh utang perusahaan ke pasar keuangan sangat tinggi. Pantas kalau disebut bahwa tahun ini dan ke depan adalah tahun-tahun kepanikan.

Budi Setyarso, Pemred Harian Tempo, juga punya beberapa pandangan yang cukup menarik. Menurut Setyarso, Papua merupakan daerah tertutup bagi pers. Terutama pers asing. Sehingga dipandang sebagai pembatasan terhadap pers.

Pembatasan PERS di suatu daerah terutama di Papua maka sangat berpotensi adanya terjadinya penyelewengan, tindak kekerasan, dan  penyimpangan karena tidak adanyq fungsi pengawasan yang obyektif dan faktual.

M Djoko Yuwono, wartawan senior yang pernah jadi Redaktur Senior Pos Kota Grup, punya perspektif menarik sebagai pelaku media dalam memandang perkembangan Papua dari segi sosial-budaya,  Media nasional selama ini lebih banyak memberitakan pembangunan Papua dari aspek fisik, yang sebenarnya sesuai RPJMN 2015-2019 juga menekankan upaya peningkatan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK bagi masyarakat Papua.

“Ini patut disayangkan, sebab pendekatan sosial-budaya dan keatifan lokal justru merupakan modal sosial dan modal budaya sebagai landasan untuk membangun kawasan Papua saat ini,” begitu paparan awal Djoko Yuwono.

Bagi Djoko Yuwono yang saat ini sangat fokus dalam soal pengembangan bahasa dalam kerangka pemberdayaan budaya nusantara dan kearifan lokal, mendesak pemerintah Jokowi agar mengelola aspek sosial-budaya masyarakat Papua dalam bingkai NKRI. Sebab jika tidak, maka keearifan lokal dan karakteristik –karakteristik masyarakat Papua justru akan menjadi bibit-bibit disintegrasi nasional bangsa dan negara kita.

Maka itu Djoko Yuwono mendesak agar pemanfaatan potensi kebahasaan di Papua sebagai bagian dari  bahasa lokal/daerah harus mendapat perhatian yang ekstra besar dalam rangka merawat dan menegakkan kesatuan Indonesia. Pemaksimalan potensi bahasa dapat dapat menjadikan bahasa-bahasa lokal/daerah untuk memperteguh aneka suka bangsa Indonesia yang sejatinya Bhineka Tunggal Ika itu. Meski berbeda-beda, hakikinya sama.

Yuwono agaknya sangat gusar dengan adanya gerakan untuk memisahkan bahasa-bahasa lokal/daerah di Papua dalam pengelompokkan di luar rumpun Austronesia. Padahal, beberapa penelitian sebelumnya, semua bahasa yang terdapat di Indonesia masuk rumpun Austronesia. Termasuk di Papua.

Salah satu biang keladinya, menurut Yuwono, berdasarkan penelitian yang dilansir oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) berdasarkan buku bertajuk Bahasa-Bahasa di Indonesia, pada 2006. Adanya pandangan dan hasil penelitian seperti ini, menurut Yuwono merupakan titik kriusial dalam upaya integrasi bangsa.

Apalagi dengan semakin kuatnya gerakan eksternal dari berbagai kalangan pro separatisme seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau RMS di Maluku (Rakyat Maluku Selatan). Yang mana riak-riaknya masih terasa dalam denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia.

Strategi SIL melakukan pengelompokkan ulang bahasa-bahasa di Indonesia, agaknya berkaitan dengan pergantian nama Irian menjadi Papua. Nama Irian merupakan pemberian Bung Karno, Presiden RI pertama, ketika wilayah itu kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Di mata Bung Karno, nama Irian memiliki nilai strategi geolinguistik untuk memutus mata-rantai keterkaitan seraya memupuk perasaan bersatu secara emosional kultural antara penduduk yang Irian Barat dan komunitas di bagian Timur Indonesia (Papua Nugini) serta penduduk di negara Kepulauan Indonesia.

Kalau begitu, apakah ini merupakan gerakan untuk menciptakan disintegrasi bangsa? Djoko Yuwono sependapat. Dengan mengutip pernyataan Kepala Bidang Strategi Kebahasaan pada Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK), nampaknya strategi pengelompokkan ulang bahasa-bahasa di Indonesia telah memberi angin bagi kaum separatis di Papua. Sehingga terbentuk sebuah cara pandang baru bahwa bahasa yang digunakan suku bangsa ras Melanesia di wilayah Indonesia Timur tidak termasuk rumpun bahasa Austronesia.

Berarti, ini merupakan bagian dari Pola Perang Asimetris dalam rangka pelemahan internal NKRI dan kedaulatan nasional, melalui pelumpuhan sarana sosial-budaya.

Benang merah dari hasil diskusi keempat narasumber maupun peserta bisa dirumuskan: Masalah krusial Papua juga gambaran dan pancaran nyata di daerah-daerah lain Indonesia. Hulu penyebab adalah sistem politik yang koruptif di semua tingkatan. Produk-produk hukum dan perundang-undangan telah dibelokkan dari pro rakyat menjadi pro korporasi global dan kepentingan swasta lokal. Sehingga dalam kasus Papua, meskipun wilayahnya kaya dan seluas setengahnya Eropa, namun rakyat Papua tetap miskin papa. Makna lain, Papua sesungguhnya tidak berdaulat di rumahnya sendiri.

Sumber: Aktual.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com