Jangan Lagi Bicara Politik atau Hukum sebagai Panglima

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Mencermati banyak kejadian di tahun politik ini, bila merujuk pada kredo politik: “Bahwa politik praktis itu bukanlah hal yang tersurat melainkan apa yang tersirat”, maknanya bahwa apa yang terjadi/terlihat di publik bukanlah hal yang sesungguhnya terjadi atau berlangsung.

Jadi, apakah peristiwa yang sedang terjadi itu sebuah deceptiön? Bisa jadi. Atau cuma isu permulaan? Boleh juga. Atau, hanya test the water, memancing reaksi publik? Bisa juga begitu.

Niscaya ada skema besarnya. Jika skema dalam politik praktis itu bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, sedangkan skema dalam geopolitik intinya mengendalikan geoekonomi (menguasai pangan dan energi) melalui ‘pintu kekuasaan’. Control oil and you control nation, control food and you control the people (Henry kissinger). Terdapat dua narasi/ skenario berjalan beriringan. Pertama, skenario berbasis skema politik. Ini skema lokal. Dan kedua, narasi berdasar geopolitik. Ini skema globalnya.

Jika di era dulu, topik kajian berkisar masalah hukum dan politik, dengan retorika — apakah hukum bagian dari politik; atau sebaliknya, politik bagian dari hukum? Makanya dulu ada istilah ‘politik sebagai panglima’ dan/atau ‘hukum sebagai panglima’. Tetapi itu bahasan tempo doeloe. Zaman old. Kenapa? Geopolitik zaman now mengajarkan bahwa power concept (penggunaan kekuatan) dalam dinamika geopolitik terdiri atas tiga hal, antara lain: “Powerpolitik, power ekonomi dan power militer.” Inilah yang kini berjalan pada dinamika (geo) politik global dimana juga mengimbas ke lokal. Retorikanya, “Apakah ada power hukum dalam implementasi power concept di atas?” Tak ada. Tapi bukan tidak penting. Maknanya, hakiki hukum adalah kesepakatan bersama. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali. Tidak ada perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan yang telah ada. Itu titik awal. Azas legalitas hukum.

Dalam power concept, Jepang misalnya, lebih cenderung memainkan powerekonomi di setiap kebijakannya meski akhir-akhir ini ia mulai membesarkan postur militernya akibat pergeseran geopolitik ke Asia Pasifik. Cina pun demikian, ia kini juga menonjolkan aspek politik dan power militer selain powerekonomi yang telah berjalan duluan

Kalau Amerika Serikat (AS) jelas. Paman Sam mengimplementaaikan ketiga-tiganya secara simultan dengan intensitas berbeda, tergantung situasi.

Tak boleh dielak, bahwa kerap kali politik lokal adalah bagian dari (geo) politik global. Dengan kata lain, dinamika politik di suatu negara tidak lepas dari kontrol serta kendali para aktor global —entah aktor negara dan/atau aktor nonnegara— terutama bagi negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya (alam) energi yang besar.

Demikian pula apa yang terjadi di Indonesia kini. Sulit menafikan bila potret dinamika politik hari ini tidak terkait dengan tahapan menuju Pilpres 2019. Pilpres merupakan pintu masuk utama. Bagi kepentingan asing, Pilpres adalah pintu gerbang hajatan guna menguasai dan mengendalikan geoekonomi Indonesia yang kaya raya. Naiknya suhu politik dari waktu ke waktu merupakan isyarat atas kondisi tersebut.

Lagi-lagi, rakyat akan terbelah semakin dalam pada posisi saling berhadapan akibat sistem one man one vote (pilihan langsung) —pro ini, pro itu. Dan kegaduhan politik hari ini, bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, niscaya ada remote dari kejauhan para aktor global agar bangsa ini senantiasa gaduh dan gaduh sehingga abai terhadap apa yang sejatinya sedang terjadi.

Jadi, jangan lagi bicara politik sebagai panglima atau hukum sebagai panglima, karena ada yang lebih urgen daripada sekedar hal itu, yakni keselamatan negara!

Terima kasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com