KALAP

Bagikan artikel ini

Chairil Gibran Ramadhan

TERORIS IRLANDIA. PADA pertengahan dekade 1970-an, di tengah berlangsungnya konflik Irlandia Utara, kepolisian Inggris benar-benar sedang kalap. Pengeboman-pengeboman yang terjadi di wilayah Inggris Raya yang menyebabkan berjatuhannya korban luka dan korban jiwa, membuat mereka panik dan kewalahan. Terlebih masyarakat Inggris terus menuntut supaya mereka lebih sigap bekerja dengan sesegera mungkin menangkap para pelaku teror. Telunjuk pun diarahkan kepada IRA (Irish Republican Army), yang dalam beberapa kasus memang mengaku bertanggungjawab atas pengeboman yang terjadi. Dengan malu dan amarah yang memuncak, polisi pun akhirnya asal tangkap. Puluhan orang Irlandia dan juga Inggris, ditangkap tanpa bukti kuat (atau bukti-bukti palsu yang mereka buat belakangan). Para tersangka menerima siksaan fisik dan psikis untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan—sebelum dikirim ke pengadilan yang penuh fitnah dan kebohongan.

Tiga kasus yang paling mengemuka (dengan sebutan untuk masing-masing “kelompok” saat mereka diadili):

The Birmingham Six, masing-masing Hugh Callaghan, John Walker, Noel Richard McIlkenny, Robert Gerard Hunter, Patrick Joseph Hill, dan Willian Power. Mereka dituduh sebagai anggota IRA yang melakukan pengeboman atas pub The Mulberry Bush dan The Tavern in the Town di Birmingham pada malam 21 November 1974. Bom meledak pada pukul 20:25 dan 20:27, dan merupakan kasus pengeboman paling berdarah saat itu. Tercatat 10 orang tewas di Mullberrry, dan 11 di Tavern. Sedangkan 162 lainnya luka-luka. Sasaran ketiga, sebuah bank di Hagley Road, urung diledakkan.

Pada pengadilan tanggal 15 Agustus 1975, kelima lelaki asal Belfast, Irlandia (kecuali John Walker) penganut Katholik Roma ini dijatuhi hukuman seumur hidup. Dua kali upaya mereka untuk naik banding gagal (Maret 1976 dan Januari 1988). Baru pada yang ketiga, tahun 1991, upaya itu berhasil berkat Gareth Peirce, wanita pengacara kelahiran Inggris 1940. Noel Richard McIlkenny wafat pada 21 Mei 2006 di sebuah rumah sakit di Dublin, Irlandia, setelah lama menderita kanker.

The Guildford Four, masing-masing Patrick Armstrong alias Paddy Armstrong (25), Paul Michael Hill alias Paul Hill (21), Gerard Patrick Conlon alias Gerry Conlon (21), dan Carole Richardson (18), seorang Inggris. Mereka dituduh sebagai anggota IRA yang melakukan pengeboman atas dua buah pub di kawasan Guildford dan Woolwich.

Pada pengadilan bulan Oktober 1975, keempat hippies yang kerap melakukan pencurian kecil-kecilan ini dijatuhi hukuman 30-40 tahun penjara. Sesungguhnya pada Pebruari 1977—selama proses pengadilan untuk kasus Balcombe Street Gang—empat anggota IRA melalui pengacara mereka sudah mengatakan kepada polisi bahwa Gerry Cs tidak bersalah. Begitu juga dengan Joe McAndrew, anggota IRA yang tertangkap dan mengaku sebagai pengebom di Guildford. Tapi polisi yang telanjur malu pada masyarakat Inggris, tak mempedulikan informasi ini. Gareth Peirce, pengacara handal itu, akhirnya pada 1989 secara tak sengaja menemukan bukti baru bahwa berkas pada kasus The Guildford Four ada yang disembunyikan polisi dari pengacara. The Guildford Four pun dibebaskan dengan segera. Setahun kemudian Gerry Conlon menuliskan kisah hidupnya dalam buku Proved Innocent (Tahun 1993 sutradara asal Irlandia, Jim Sheridan, memindahkannya kedalam film In the Name of the Father. Aktor Daniel Day-Lewis bermain gemilang sebagai Gerry Conlon dan Emma Thompson sebagai Gareth Peirce). Ibunda Gerry, Sarah Conlon, yang berjuang selama 16 tahun untuk membersihkan nama suami dan anaknya, wafat pada 20 Juli 2008.

The Maguire Seven, masing-masing suami-istri Anne Maguire (40) dan Paddy Maguire (42), keduanya divonis 14 tahun; anak mereka, Patrick Maguire (14) divonis 4 tahun dan Vincent Maguire (17) divonis 5 tahun; William Smyth (37) adik Anne Maguire; Patrick O’Neill (35) teman keluarga Maguire; Giuseppe Conlon (52) ayah Gerry Conlon dan juga ipar Anne Maguire, ketiganya divonis 12 tahun. Mereka dituduh sebagai anggota IRA yang meracik bom di rumah Anne Maguire di Inggris. Padahal Giuseppe Conlon misalnya, datang dari Belfast ke Inggris lantaran ingin melihat peradilan atas anaknya. Ia yang telah lama menderita sakit paru-paru, akhirnya wafat pada Januari 1980 (ia satu sel dengan anaknya). Tahun 1991, keenam orang lainnya dalam The Maguire Seven akhirnya dibebaskan. Pada 9 Februari 2005, PM Inggris, Tony Blair, meminta maaf kepada The Guildford Four dan Maguire Seven.

TERORIS INDONESIA

DI TENGAH Indonesia kini yang sedang ramai dengan isu terorisme dimana umat Islam utamanya Jemaah Islamiah yang menjadi sasaran tembak, agaknya ketiga kasus di atas perlu menjadi cermin bagi kita untuk berpikir dan bertindak secara hati-hati. Kita sebagai masyarakat, dan kita sebagai polisi. Masyarakat jangan asal menuntut polisi untuk sigap menangkap para pelaku teror. Sebab membongkar jaringan terorisme tak semudah membongkar jaringan pencopet bus kota. Kecuali lewat bukti-bukti palsu, fitnah-fitnah, atau bisikan-bisikan. Dikhawatirkan, lantaran terlalu didesak (termasuk oleh dunia internasional khususnya Amerika), polisi akhirnya menjadi gelap mata dan kalap hingga melakukan tindakan seperti yang dilakukan polisi Inggris: Mengirim ke penjara mereka yang tidak tahu apa-apa. Bukankah tidak ada orang yang tahan menerima siksaan saat diinterogasi?

Bagi polisi, langkah yang salah dalam menyikapi aksi teror tadi bisa-bisa malah menuai anti-pati masyarakat khususnya kaum muslim yang kini terasa sekali sedang diobok-obok. Polisi pun bisa bukan dicap sebagai “peacemaker” tapi malah “troublemaker”. Dan adalah kebodohan yang nyata bila masyarakat dan polisi percaya bahwa penampilan fisik seperti jenggot dan atribut-atribut muslim seperti gamis dan celana ngatung merupakan ciri bahwa seseorang itu teroris. Sebab bila benar image teroris adalah seperti yang selama ini dibangun lewat media cetak dan elektronik, maka alangkah akan begitu mudahnya kerja polisi kita. Mereka tinggal menunggu di masjid-masjid tiap hari Jumat atau saat peringatan Maulid Nabi, atau ketika digelar majelis dzikir. Karena dalam satu tempat, ratusan orang pasti bisa ditangkap. Kita juga cukup miris jika polisi dan masyarakat kemudian mencurigai suatu agama dan mencapnya sebagai teroris. Ini mengingatkan kita pada dekade 1970-an dan 1980-an saat orde baru begitu represif terhadap kaum muslim. Hanya saja waktu itu tidak dengan sebutan “teroris” tetapi “pengacau”—dari gerakan makar yang akan menggoyang pemerintahan yang sah.

Teroris sesungguhnya pihak yang menyebabkan ketidak(ny)amanan, ketidaktentraman, dan ketakutan. Siapa mereka?

Depok, 140909

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com