Kebijakan Baru BI Hanya akan Sedikit Berdampak terhadap Suku Bunga Kredit

Bagikan artikel ini

Rachmat Adhani

Peraturan baru Bank Indonesia tentang kewajiban bank umum mengumumkan suku bunga kredit mulai tanggal 31 Maret nampaknya tidak akan efektif menurunkan suku bunga kredit, menurut survei yang dilakukan oleh PricewaterhouseCooper (PwC).

Sekitar setengah dari bank-bank yang disurvei (49%) mengatakan bahwa besaran net interest margin (NIM) mereka akan tetap stabil, 27% memprediksi turun dan 22% memperkirakan naik.

Bank tidak percaya bahwa regulasi tersebut akan efektif dalam mendorong penurunan suku bunga, pasalnya struktur ’pricing’ antar bank itu berbeda-beda. Mereka hanya akan menunggu dan melihat dampak dari peraturan tersebut.

Berdasarkan peraturan baru BI, bank dengan aset lebih dari Rp10 triliun (US$1,15 miliar) harus mengumumkan suku bunga dasar mulai tanggal 31 Maret untuk mendorong persaingan sehat.

Bank masih berselisih tentang apa yang dimaksudkan sebagai prime lending rate, khususnya apa yang harus diungkapkan dan jatuh tempo-nya. Sebenarnya, bank tidak perlu menurunkan NIM mereka karena permintaan kredit terus tumbuh. Tidak ada tingkat persaingan yang tinggi dari sisi kredit yang akan berdampak terhadap penurunan NIM.

Bank umum di Indonesia memiliki NIM rata-rata 5,6% pada Januari, tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara. Mayoritas bank memiliki dua alasan mengapa NIM relatif tinggi. Salah satunya adalah inflasi yang relatif tinggi dibandingkan dengan seluruh negara Asia Tenggara.

Kedua adalah adanya premi risiko yang perlu dimasukkan dalam perhitungan NIM. Risiko kredit adalah risiko terbesar dalam industri perbankan, namun di sisi lain jumlah kredit bermasalah (NPL) mampu dikendalikan di kisaran 3–5% sesuai ketentuan bank sentral.

Gubernur BI Darmin Nasution berjanji akan terlibat langsung dalam memonitor suku bunga bank, karena efisiensi adalah fokus utama bank sentral tahun ini. Menurut Darmin, NIM dalam industri perbankan Indonesia tinggi karena inefisiensi dimana biaya tersebut dibebankan kepada nasabah.

Terkait soal inefisiensi ini, survei PwC menemukan bahwa efisiensi biaya tetap menjadi masalah besar bagi bank di Indonesia, dengan 24% dari bank mengungkapkan kesulitan dalam mengetahui dimana dan bagaimana untuk melakukan penghematan biaya.

Survei juga menunjukkan bahwa 78% bank-bank mengatakan mereka akan meningkatkan belanja teknologi informasi pada tahun 2011 dibandingkan 2010. Inovasi TI tersebut diharapkan akan mendorong efisiensi dan mengarah pada keunggulan kompetitif.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com