Kebijakan Trump tentang Yerusalem Menguap di Majelis Umum PBB

Bagikan artikel ini

Oleh Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Menyusul klaim sepihak Presiden AS Donald Trump yang “mentasbihkan” Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Majelis Umum PBB akhirnya menggelar sidang darurat terkait pengakuannya tersebut pada Kamis 21 Desember 2017 silam. Kebijakan Trump pun kembali menguap di Majelis Umum PBB, di mana mayoritas negara anggota menolak keras keputusan Trump tersebut. Dari 193 negara anggota PBB, sebanyak 128 negara menolaknya, 9 negara setuju dan 35 lainnya memilih abstain.

Sebelumnya, resolusi penolakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah diveto oleh Amerika Serikat dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara Senin lalu. Langkah AS ini patut dibaca sebagai bagian integral dari kebijakan luar negeri AS, yaitu maksud Washington untuk memecah dan memporakporandakan Timur Tengah. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengacaukan stalibitas politik Timur Tengah adalah dengan menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel setelah paket kebijakan terorisme yang disponsori AS-Israel tidak berjalan efektif di kawasan.

Dengan demikian, langkah Trump ini pun sama sebangun dengan proyek besar Zionis untuk Timur Tengah melalui serentetan kebijakan AS yang tidak populis, seperti invasi AS ke Irak pada tahun 2003, perang 2006 di Lebanon, perang 2011 di Libya, perang yang sedang berlangsung di Suriah, Irak dan Yaman, belum lagi krisis politik di Arab Saudi.

Dalam konteks ini AS dan Israel sepertinya memiliki darah ideologi yang identik, yaitu ideologi ekspansionis yang diawali dengan melemahkan dan membuat negara-negara Arab tetangga menjadi unit-unit kecil.

Meski AS melangkah sendirian dan tentu tidak dapat memveto Resolusi Majelis Umum PBB melawan 14 negara lainnya yang memiliki hak yang sama, namun, “nalar” hegemonik AS kerap berjalan, seolah tanpa rintangan, meski harus berseberangan dengan negara-negara adidaya yang lain.

Dalam kapasitas demikian, setidaknya melalui pidatonya jelang pemungutan suara di Majelis Umum PBB, tergambar jelas bagaimana Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, menekankan bahwa AS adalah satu-satunya kontributor terbesar untuk PBB dan badan-badan di bawahnya. Sebagai balasannya, ia pun meminta dukungan dari negara-negara sekutu Eropa Baratnya atau yang tergabung dalam NATO.

“Keputusan tersebut sesuai dengan UU AS yang dikeluarkan pada 1995,” kata dia seperti dikutip dari Independent.

Lagi-lagi, dalih AS pun tidak sehaluan dengan sebagian besar komunitas internasional yang berupaya mencari jalan damai atas konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Dalih AS atas keputusannya yang mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah bagian dari perjuangan kedaulatan AS. Ya, kedaulatan akan karakter ekspansionisnya yang bisa dibaca dalam konteks ini. Hal ini bisa dicermati melalui pernyataan Duses AS tersebut bahwa “AS akan mengingat hari, saat diasingkan di PBB karena memperjuangkan kedaulatannya.”

Haley menambahkan, AS akan menempatkan kedutaannya di Yerusalem. “Pemungutan suara ini akan menentukan bagaimana Amerika memandang PBB, dan bagaimana kami memandang negara-negara yang tidak menghormati AS di PBB.”

Sebaliknya, upaya simpatik Palestina justru disampaikan oleh Menteri Luar Negerinya, Riyad al-Maliki yang menegaskan bahwa negara-negara anggota PBB tidak sedang memusuhi AS.

“Kita bertemu hari ini bukan untuk memusuhi Amerika Serikat, namun karena sebuah keputusan yang dianggap sebagai agresi,’ kata dia.

Al-Maliki mengingatkan bahwa keputusan AS tersebut tidak akan memengaruhi status Yerusalem yang menjadi bagian dari kedaulatan Palestina. Sebaliknya, klaim AS bahwa Yerusalem ibu kota Israel, menurutnya, justru memengaruhi status AS sebagai mediator perdamaian.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com