Kejahatan Perang Jepang di Indonesia

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Global Future Institute (GFI)

Di sela-sela kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Shinzo Abe ke Indonesia, kiranya perlu mengingatkan kembali tiga kejahatan perang Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.

Pada 1 November 2011. Grass Roots House Peace Museum Jepang, melalui Koran Akahata dan Asahi Shimbun, merilis sebuah dokumen soal keterlibatan mantan Perdana Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone (1982-1987) dalam mendirikan Ianjo (Rumah Bordil Militer) Jepang di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Waktu itu Nakasone berusia 23 Tahun, dan bertugas memegang komando 3.000 prajurit di Balikpapan. Menariknya lagi, Suharti, salah seorang korban Ianfu Indonesia yang pernah berada di sana, kini masih hidup.

Pada 2009 lalu, Suharti pernah mencoba mendatangi kantor Nakasone, dengan memakai kursi roda. Turut serta bersama Suharti, beberapa advokator Ianfu Indonesia seperti Dr Koichi Kimura, Eka Hindrati, Anugrah Saputra, Fumiko Kawata, dan Yamaguchi.

Bisa jadi karena memang merasa bersalah dan tidak mampu mengelak dari fakta sejarah kelam dirinya sewaktu bertugas sebagai perwira tentara Jepang di Balipapan, Kalimantan Timur, waktu itu Nakasone tidak berani menemui Suharti.

Dari dokumen yang dirilis Grass Roots House Peace Museum Jepang tersebut, nampaknya sulit dibantah bahwa Nakasone termasuk kategori PENJAHAT PERANG pada Perang Dunia II. Dan fakta yang nampaknya sulit dibantah adalah dia penjahat perang tentara Jepang yang ada di Indonesia.

Sekelumit kisah tentang mantan Perdana Menteri Jepang Nakasone, hanya sebuah ilustrasi kecil betapa perekrutan kaum perempuan Indonesia sebagai “budak seks” tentara Jepang, memang didasarkan pada sebuan kebijakan yang dibuat secara sadar dan terencana.

Sekadar mengingatkan kembali sejarah hitam Jepang di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang sekitar 200.000-400.000 perempuan Asia berusia13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. Para perempuan itu direkrut dengan cara halus dengan dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan hingga dengan cara kasar dengan meneror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga.

Tentang Romusha

Kalau menyangkut Romusha, cerita paling otentik berasal dari Bung Karno, Presiden pertama RI, dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Berikut penuturan Bung Karno:

Selagi menggali pokok persoalan yang menyakitkan seperti itu baiklah kita bahas masalah romusha. Jepang memerlukan tenaga kerja untuk proyek-proyek mereka di daerah pendudukan di luar Indonesia. Romusha adalah para pekerja laki-laki yang dipungut secara acak oleh militer Jepang dari pinggir-pinggir jalan dan desa-desa. Di berbagai daerah, di mana tidak ada lagi orang laki-laki yang berumur 16 dan 60 tahun, kaum perempuan terpaksa membajak, mencangkul dan lain-lain pekerjaan yang berat-berat. Karena wajib militer terhadap ratusan ribu orang dapat menimbulkan pemberontakan besar-besaran, Dai Dippon lebih suka membujuk penduduk menjadi romusha dengan janji-janji upah yang menarik dan gelar ‘Pahlawan Kerja’.  Pada kenyataannya mereka dijadikan budak dan akulah salah seorang yang ditunjuk untuk mendaftar mereka.”

Bahkan Bung Karno pun mengakui, bahwa ribuan orang tidak kembali. Mereka gugur di negeri asing. Seringkali para romusha itu diperlakukan dengan kejam, seperti dibelenggu berdampingan dengan tahanan perang untuk membuat jalan raya Birma yang terkenal ini.

Maka, inilah kesaksian Bung Karno. “Ya, aku mengetahui keadaan mereka. Ya, ya, ya, aku tahu bahwa mereka diangkut dalam gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dan ribuan dijejalkan sekaligus. Aku tahu, mereka tinggal kulit pembalut tulang. Dan aku tidak bisa menolong mereka.

Terlepas sudut pandang dan versi cerita Bung Karno yang terkesan membela diri, namun secara faktual Bung Karno mengakui bahwa Jepang memang melakukan kejahatan perang di Indonesia.

Penuturan Bung Karno mendapat konfirmasi melalui serangkaian artikel terkait kejahatan perang yang ditulis oleh Batara R Hutagalung, investigator sejarah kolonial di Indonesia. Menurut Batara, selama masa pendudukan tentara Jepang di bekas jajahan Belanda, selain juga menguras kekayaan Bumi Nusantara, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Jepang memaksa para pemuda untuk dijadikan pekerja-paksa (Romusha), yang dikirim a.l. ke Birma, untuk membangun jembatan dan bangunan-bangunan yang diperlukan oleh Jepang.

Untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajuritnya, pimpinan militer Jepang menangkap gadis-gadis untuk dipaksa menjadi budak pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis tersebut dinamakan “wanita penghibur” atau Jugun Ianfu.

Kejahatan terbesar yang dilakukan oleh tentara Jepang adalah pembantaian ribuan kaum intelektual pribumi di Kecamatan Mandor, dekat Pontianak, Kalimantan Barat. Di Mandor terjadi pembantaian atas kaum intelektual serta  tokoh-tokoh masyarakat, yang dianggap menentang kebijakan tentara pendudukan Jepang. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang sehubungan dengan hal ini.

Tanggal 22 Januari 1942, balatentara Dai Nippon mendarat di Pemangkat, muara sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang, dan kemudian merebut Pontianak tanggal 2 Februari 1942. Tanpa mendapat perlawanan dari tentara Belanda yang segera melarikan diri, dalam waktu singkat tentara Jepang dapat menguasai seluruh Kalimantan Barat. Pemerintahan di Kalimantan Barat awalnya dipegang oleh Rikugun (Angkatan Darat), kemudian sejak 15 Juli 1942, di bawah Kaigun (Angkatan Laut). Penangkapan pimpinan Indonesia yang dianggap menentang kebijakan Jepang dimulai tanggal 14 April 1943, sedangkan penangkapan besar-besaran dilakukan tanggal 24 Mei 1944, dan eksekusi dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 1944.

Kaum intelektual, penguasa setempat (Sultan serta Panembahan), pengusaha, politisi dll. yang menjadi korban tentara Jepang antara tanggal 23 April 1943 – 24 Mei 1944, tidak dapat dipastikan jumlahnya. Angkanya bervariasi antara 1534 orang sampai 1.838 orang. Namun penduduk Kalimantan Barat yang tewas selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 – 1945 berjumlah 21.037 jiwa. Ketika disidangkan di Mahkamah Militer tentara Sekutu pada bulan Oktober – November 1945, Yamamoto, Komandan Kempetai di Pontianak mengakui, bahwa target jumlah pimpinan masyarakat setempat yang akan dibunuh adalah 50.000 orang.

Salah satu kekejaman yang dirasakan rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dengan diberlakukannya program kerja paksa (romusha). Kebanyakan romusha direkrut dari kelompok pemuda desa/petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk dipekerjakan di berbagai proyek pembangunan militer.

Mereka tidak saja dikirim ke Sumatera dan ke pulau-pulau di bagian timur, bahkan banyak yang dikirim sampai ke Birma dan Thailand. Mengenai jumlah yang dikirim, ada beberapa versi, dari mulai 300.00 sampai 500.000 orang. Menurut Prof. W.F. Wertheim, dari sekitar 300.000 orang yang dikirim ke luar Jawa, hanya sekitar 70.000 orang yang kembali ke kampung halamannya. Di banyak tempat, kurangnya tenaga untuk mengerjakan sawah/ladang tentu berakibat negatif bagi penghasilan keluarga; di samping itu, tentara Jepang juga banyak menyita beras serta kebutuhan makanan lain secara paksa dari rakyat.

Kekejaman Tentara Jepang Melalui Unit 731

Kekejaman lain yang dilakukan oleh militer Jepang adalah yang dilakukan oleh Unit 731. Unit  yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Shiro Ishii ini merupakan satu Divisi khusus dari tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia ke II. Markas Divisi 731 terletak di Harbin, Manchuria (Manchukuo) Selatan.

Unit 731 ini melakukan percobaan, pengujian dan pengembangan senjata biologi, namun “kelinci percobaan” mereka adalah manusia. Diperkirakan lebih dari sepuluh ribu orang tawanan perang  yang menjadi subjek eksperimen mereka, baik sipil maupun militer yang berasal dari Cina, Korea, Mongolia, dan bahkan dari Rusia.

Diperkirakan, percobaan seperti ini juga dilakukan di bekas jajahan Belanda di India Belanda. Ribuan orang yang menjadi “kelinci percobaan”meninggal dengan cara yang sangat sadis, a.l. karena penyakit Pes, Antraks, kolera dan penyakit lainnya yang diuji-cobakan kepada mereka. Menjelang akhir Perang Dunia II, di Jakarta terjadi peristiwa di mana sekitar seratusan romusha meninggal karena virus, yang diduga disuntikkan kepada mereka. Direktur Eijkman Institut, Dr. Achmad Mochtar dijadikan kambing hitam oleh Jepang, di mana kemudian Dr. Mochtar dieksekusi dengan dipenggal kepalanya.

Tidak Boleh Melupakan Sejarah Hitam Jepang di Indonesia

Kekejaman yang dilakukan selama tiga setengah tahun, tidak kalah dibandingkan kekejaman yang dilakukan Belanda selama masa penjajahan yang – di beberapa daerah di Indonesia – berlangsung lebih dari 200 tahun. Berbagai kesengsaraan diderita oleh rakyat Indonesia akibat penindasan tentara pendudukan Jepang. Di samping kerja paksa (romusha) yang sangat tidak manusiawi, serta perlakuan yang sangat merendahkan martabat wanita, yaitu memaksa gadis-gadis Indonesia menjadi wanita penghibur (Jugun Ianfu) untuk memuaskan nafsu tentara Jepang.

Karenanya, dosa dan kejahatan perang tentara fasisme Jepang di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Pasifik, memang bisa dimaafkan. Namun pelajaran pahit dan sejarah kelam kebiadaban dan kejahatan perang yang dilakukan Jepang secara terorganisir pada saat menjelang dan saat berlangsungnya Perang Dunia II, rasa-rasanya tak mungkin akan kita lupakan sepanjang massa.

Indonesia boleh saja memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis melalui kerjasama erat dengan pemerintah Jepang. Namun Indonesia tidak boleh memperjualbelikan kesengsaraan dan penderitaan dari para leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, yaitu kesengsaraan dan penderitaan para perempuan Indonesia yang telah dipaksa oleh pemerintah fasisme Jepang untuk menjadi “budak seksual” para serdadu Jepang di Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com