Kekuatan Politik Religius Meningkat Jelang Pilpres 2019

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Dengan jumlah massa sekitar 100.000 orang yang melakukan demonstrasi di pusat kota Jakarta menyusul pengakuan Presiden AS Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel sepertinya menunjukkan kekuatan baru, yang menurut kalangan akademisi disebutnya sebagai enterpreneur politik-religius.

Itu adalah demonstrasi pro-Palestina terbesar di Jakarta, meski jumlah tersebut tidak sebesar dengan massa yang melakukan aksi demo terhadap gubernur DKI Basuki Purnama (Ahok) pada bulan November dan Desember 2016, yang menyebabkan kejatuhannya.

Namun, dalam konteks politik saat ini, pengaruh tokoh-tokoh agama di Indonesia, yang pertama kali muncul dalam pemilihan gubernur terakhir pada April silam, dapat memberi implikasi serius bagi Presiden Joko Widodo menjelang pilpres 2019 mendatang.

Bertolak dari sejumlah survei yang dilakukan sebelum dan sesudah mobilisasi massa Islam yang berakhir dengan kekalahan Ahok, sebuah laporan baru mengatakan bahwa keberhasilannya dalm memobilisasi massa tersebut disinyalir juga berasal dari kemampuan para tokoh yang sama dalam mengatur sebuah narasi yang efektif.

Ditulis oleh Associate Professor Australian National University Marcus Mietzner, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Rizka Halida, pihaknya menyebut bahwa aksi demonstrasi 2016 merupakan “sebuah pergeseran penting dalam politik Indonesia” dan menyebut bahwa oposisi terhadap kalangan non-Muslim yang memegang posisi-posisi politik baru mengeras sejak saat itu.

Laporan tersebut mengidentifikasi calon presiden Prabowo Subianto, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) yang mengasingkan diri Rizieq Shihab dan rekan-rekan Muslim garis keras Bachtiar Nasir dan Al-Khaththath sebagai pemain kunci dalam mengaduk persepsi Muslim tentang kemerosotan politik dan ekonomi.

Para analis sudah berspekulasi mengenai potensi koalisi antara Prabowo dan SBY pada 2019, dengan mantan putranya, Agus Harimurti (39), dalam daftar calon pasangan Prabowo capres dan cawapres mendatang.

Meskipun Agus adalah kandidat yang gagal dalam pemilihan gubernur di DKI, tentara pensiunan tersebut ternyata mampu membantu Prabowo menarik 80 juta generasi milenial yang merupakan bagian besar dari pemilih Indonesia yang berjumlah kurang lebih 185 juta orang.

Para analis percaya bahwa ketidaksetaraan yang muncul dalam masyarakat Indonesia dan kegagalan pemerintah presiden Jokowi untuk menciptakan lapangan kerja bagi lulusan sekolah menjadikan kelompok-kelompok yang kurang mampu untuk mempertimbangkan sejumlah alternatif dari apa yang mereka lihat sebagai sistem kapitalis yang gagal, termasuk mempertimbangkan untuk tidak memilih kembali pencalonan Jokowi pada pilpres 2019 mendatang.

Dalam Laporannya Global Wealth Report ketujuh, yang dirilis tahun ini, Credit Suisse Research Institute menggambarkan Indonesia sebagai negara keempat yang paling tidak setara di dunia, dimana 1% teratas dari populasi orang dewasa yang berusia 164 juta mengendalikan separuh dari kekayaan negara yang bernilai USD 1,8 triliun.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com