Kemana Isu Jerusalem Berlabuh?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Sesuai judul ini, saya ingin mengkaji langkah kontroversial —menantang dunia— Donald Trump atas klaim sepihak Jerusalem sebagai ibukota Israel dari perspektif peperangan asimetris (asymmetric warfare) yang berpola isu – tema/agenda – skema atau istilahnya “ITS”.

Perang apapun, entah itu peperangan konvensional yang menggunakan kekuatan militer secara terbuka, atau hybrid war, currency war, dan lain-lain maupun perang asimetris yang kini menjadi metode favorit para adidaya, bahwa skema (tujuan) peperangan dan/atau kolonialisme di muka bumi tidak pernah berubah sepanjang masa yakni penguasaan geoekonomi di negara target.

Apabila di masa penjajahan klasik dahulu, geokonomi diartikan sebagai penguasaan atas tanah atau geografi di negara koloni, sedang pada zaman now, substansi skema di atas adalah penguasaan ekonomi dan pencaplokan minyak (dan gas). Kolonialisme dalam rangka merampas kehidupan bangsa dan negara yang ditargetnya. Jadi, hakikinya tak ada perang agama melainkan karena faktor geoekonomi. Agama hanya dijadikan kedok atas sebuah geostrategi, atau pemicu agar terjadi konflik atau peperangan.

Kembali ke pola perang asimetris: “ITS” di atas, apabila isu dimaksud cuma dianggap metode, maka klaim Jerusalem hanya sekedar test the water. Memancing reaksi publik. Sekedar mapping sekutu atau melihat blok baru dalam rangka tata ulang sekutu dan/atau lawan, atau siapa friendly countries di kawasan. Artinya, jika isu yang ditebar menimbulkan gejolak yang dahsyat, maka isu akan dicabut atau ditarik kembali. Batal. Niscaya gejolak publik pun bakal mereda.

Ketika arus gejolak serta gelompang protes dunia menolak klaim Trump tak kunjung dicabut oleh Gedung Putih, maka boleh ditebak bahwa isu yang ditebar oleh Trump tentang Jerusalem bukanlah “isu sebagai metode,” tetapi yang hendak dimainkan oleh Amerika Serikat (AS) ialah “isu sebagai pola.”

Membaca isu sebagai pola, kita seperti melihat road map dari sebuah grand strategi Paman Sam. Langkah-langkahnya pasti. Isu Al Qaeda di Afghanistan (2001), atau isu senjata pemusnah massal di Irak (2003) adalah contoh “isu sebagai pola”. Kenapa? Karena meski isu tersebut dulu menimbulkan pro kontra di sana-sini, tema/agenda pun tetap dijalankan oleh AS dan sekutu. Dan agenda atau tema yang diterapkan usai isu ditebar di kedua negara (Afghanistan dan Irak) ternyata sama, yaitu keroyokan/invasi militer, sedang skemanya ialah kavling-kavling geoekonomi (minyak dan gas) di Afghanistan dan Irak. Publik global sebenarnya mengetahui pola ini tetapi dunia diam membisu. Pertanyaan kini, “Apakah agenda dan skema yang hendak ditancapkan oleh AS dan sekutu di Palestina?”

Agenda Eksternal, atau Agenda Internal?

Sekali lagi, isu – tema/agenda – skema. Isu ditebar, agenda dijalankan dan skema (kolonialisme) ditancapkan. Itulah pola asymmetric warfare. Kita mulai dari skema (tujuan) atas isu Jerusalem yang ditebar oleh Trump. Tak boleh dipungkiri, apapun jenis modus peperangan di dunia, skema kolonialisme hampir tak berubah yakni mencaplok geoekonomi di negara target melalui pintu kekuasaan. Ya. Menguasai Jerusalem, selain identik menguasai tiga agama samawi (langit) di dunia —ini merupakan pintu kekuasaan— yakni Islam, Kristen dan Yahudi, juga tak kalah penting ialah penguasaan atas ladang-ladang minyak dan gas di Palestina secara total (Lihat gambar). Inilah geoekonomi atau skema kolonialisme yang hendak ditancapkan. Sedangkan “agenda eksternal” yang terbaca adalah diplomasi politik (smart power) dan/atau melalui penggunaan kekuatan militer (hard power). Atau bisa jadi kedua-keduanya. Nah, disini akan terlihat netralitas PBB di panggung global, kemana ia berkiblat.

Sedangkan “agenda internal” yang hendak dijalankan oleh invisible hands adalah pemakzulan (impeachment) terhadap Trump karena kebijakan atas Jerusalem dinilai kontra produktif serta merugikan banyak kepentingan nasional AS di berbagai belahan dunia. Kenapa? Ancaman boikot atas produk AS atas nama solidaritas Palestina sudah di depan mata. Oil shock jilid III bisa melanda Paman Sam lagi yaitu boikot negara-negara produsen minyak yang berakibat pada krisis sebagaimana pernah terjadi oil shock I tahun 1973 dan oil shock II tahun 1979 dulu. Pertanyaan selidik pun muncul, “Kenapa agenda internal justru hendak memecat atau memakzulkan Trump, ada apa?”

Tak boleh dipungkiri, kemenangan Trump atas Hilary Clinton dalam pemilihan presiden (pilpres) 2016 kemarin memang mengejutkan banyak pihak, karena berbagai survei menyebut, bahwa Hilary akan menang telak atas Trump. Lagi-lagi, politik praktis itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat (Pepe Escobar, 2007). Dan perkembangan (geo) politik itu unpredictable (tak bisa diramalkan) dan bersifat turbulent (tiba-tiba). Dalam hal ini, tampaknya FBI mencium gelagat kecurangan atas kemenangan Trump pada pilpres 2016 di AS. Inilah yang tersirat.

James Comey, Direktur FBI (akan) dipecat oleh Trump karena menggetahui dan menyelidiki hubugan Trump dengan Rusia terkait dengan pemenangan saat pilpres. Inilah aroma busuk menyengat yang tercium hingga kini di AS setelah pilpres 2016. Isu berkembang, pemecatan mendadak Comey sangat terkait penolakannya atas permintaan Trump untuk menghentikan penyelidikan kasus mantan Penasehat Keamanan Gedung Putih, Michael Flynn yang diduga kuat berhubungan secara rahasia dengan Rusia. Ia mengaku ditekan oleh presiden untuk segera menutup berkas (investigasi)-nya Flynn.

Tak hanya soal Flynn, bahkan orang kepercayaan (menantu) Trump yakni Jared Kushner juga dicurigai memiliki hubungan gelap dengan Rusia. Kushner dinilai sebagai mata-mata Rusia, karena ketika pertemuan dengan duta besar Rusia di Washington, ia membahas pembentuk jalur komunikasi rahasia antara Gedung Putih – Kremlin.

Kesimpulan sementara, jika agenda internal lanjutan adalah pemakzulan Trump dari kursi kepresidenan, maka skemanya adalah naiknya sang Wakil Presiden, Mike Pence.

Selanjutnya, apabila yang dijalankan oleh Paman Sam melalui isu Jerusalam adalah “isu sebagai pola (eksternal),” maka agenda dan skema kolonialismenya telah dapat dibaca di atas, tetapi jika yang dijalankan justru agenda internal, maka pertanyaan retorika adalah, “Siapa di belakang Mike Pence?”

Terima kasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com