Kenduri Tumpeng Bernama ASEAN

Bagikan artikel ini

M Djoko Yuwono, Pemimpin Redaksi Tabloid Oposisi

LSM geblek-geblek dalam negeri sering menafikan kenyataan Indonesia punya nilai strategis di dunia. Negeri kita terletak di persimpangan dua benua dan dua lautan, kaya mineral dan hasil hutan (dan ssst... SDM-nya murah!). Eldorado atau surga emas yang diimpikan petualang Spanyol dan Karl May bukan di Amerika Latin, melainkan di areal penambangan Freeport, Papua.

Maka, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menolak fakta itu bisa jadi geblek bin goblok, atau ya antek asing. Bisa dua-duanya sekaligus.

Jelas semua negara ngiler pada posisi Indonesia. Kenyataan strategis itu dianggap ciptaan Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Jelas, banyak orang benci pada rezim represif Orde Baru, ketika militer ikut-ikutan main politik, jadi selalu menang. Tapi, posisi yang bikin negara Barat gatal untuk menguasai Indonesia itu riil, bukan karangan. Tengok sejarah. Negara kita pernah dijajah Belanda dan Inggris. Ternyata Prancis pun pernah menjajah kita lewat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Napoleon mati-matian minta Pulau Jawa dipertahankan dari Inggris, kalau perlu kirim 10.000 pasukan seperti dalam buku Perang Napoleon di Jawa 1811 tulisan Jean Rocher. Sekarang kita “dijajah” satu-satunya negara adidaya, Amerika Serikat.

Dimulai dari “cuci otak” budaya pop yang dicekokkan ke generasi muda sejak dulu, orientasi studi, politik, semua dicantolkan ke Washington, lewat Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) geblek serta berbagai cara termasuk penguasaan informasi. Orang sampai mengejek kita adalah Negara Bagian AS ke-51. Celakanya, ada pemimpin yang suka menyebut AS sebagai negara keduanya. Dasar pemimpin geblek tak pantas jadi panutan negeri.

Ketika Filipina mengakhiri kontrak pangkalan laut Clark dan Subic, AS mengincar Indonesia, tapi ditolak demi menjaga “netralitas” (yaaah… jangan mencolok matalaaaaah). Jenderal Gyap “Sang Penakluk” dari Vietnam dalam kunjungannya ke Indonesia dulu memuji kita yang melarang wilayahnya jadi pangkalan pasukan asing (jelasnya AS) guna menyerang negerinya. Sekarang ada kelompok orang geblek yang mau kerjasama dengan AS untuk “perbaikan” 100 pelabuhan di Indonesia.

Selamat Datang Bos Besar

Begitu strategisnya posisi geografis, politis Indonesia, serta negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura yang sejalur, maka KTT ASEAN harus dihadiri Boss Besar Barack Obama. Juga Boss Kecil, pendek, merenges, PM Jepang, dan pemimpin Cina yang pelat. Katanya, ASEAN perlu dijaga jadi daerah bebas konflik, karena pertumbuhan ekonominya baik. Enak banget, kita punya wilayah orang lain yang mendikte.

ASEAN itu jadi ibarat kue besar yang jadi bahan bancakan atau kenduri negara besar. Itu karena ASEAN sudah jadi boneka negara-negara itu. Geraknya diatur dalang. Apa yang diperjuangkan Sukarno, Nehru, Nkruma, dll dalam Konferensi Asia-Afrika (kemudian ditambah Amerika Latin) agar tiga kawasan ini maju, mandiri, kini telah musnah. Kita jadi nasi tumpeng yang siap setiap saat digeragoti negara lapar karena negerinya sudah bobrok.

Trisakti yang diserukan Bung Karno mengatakan Indonesia harus berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, sekarang semuanya tergantung Bos Besar. Pesawat AS melintas wilayah udara Indonesia tanpa izin. Ketika dicegat, Menteri Luar Negeri AS dulu, Kondorlisa Rice, marah-marah. Aneh to? Lebih aneh lagi, pemimpin kita ikut memarahi prajurit jempolan yang bertugas di lapangan. Geblek.

Nekolim

Ketika Sukarno mengingatkan ancaman Nekolim (neokolonialisme, penjajahan jenis baru), dihajar dan dicaci-maki habis-habisan karena memang wibawa politiknya mulai jatuh. Tapi, pikiran proklamator itu terbukti, sekarang. Kita sudah jadi korban perang generasi keempat bahwa nilai-nilai asing seperti kapitalisme dan neolib serta fundamentalisme agama menggeser Pancasila, ideologi asli kita.

ASEAN, termasuk Indonesia, jatuh di haribaan negara kapitalis, neoliberal. Padahal, ekonomi dan kebudayaan mereka makin bangkrut. Inggris, Yunani, Italia pada keok. Di AS sendiri, biangnya neoliberalisme, ekonominya terseok, terjadi gelombang demo menolak Wall-Street. Satu sistem ekonomi yang didewa-dewakan para pengekor geblek kita dengan simbol dan istilah ekonomi muluk-muluk. Sistem ekonomi yang rakus. Padahal, ekonomi Timur, berdasar gotong-royong, dengan filosofi Pancasila, terbukti tetap tegar. Pedagang pasar tradisional, petani, bertransaksi secara “kuno”, tapi tetap tegak ketika badai krisis menerjang. Yang sok Barat pada kolaps lalu bawa lari uang rakyat yang dikeduk lewat bank-bank mereka.

Sebegitu jauh, justru kita tidak sadar pada kekuatan dan kebijaksanaan lokal kita sendiri, padahal itu hidup ribuan tahun di masyarakat kita. Sistem Pancasila itulah yang seharusnya dipakai, bukan lewat buku-buku motivator, orang yang tak bisa berbuat tapi mengeduk keuntungan dari orang-orang yang terpesona (bagian dari ekonomi Barat).

Sebaiknya para LSM, pemimpin negara, dan politisi geblek-geblek itu tidak memaksakan mencangkokkan sistem asing pada kita. Adalah se-geblek-geblek-nya kaum bila ia melupakan jati diri kaumnya sendiri (riwayat orang jalanan). Kita babak-belur sekarang ini karena pikiran geblek dalam konspirasi mereka.

Teman saya bertanya, “Tumben, Ki Jenggung serius?”

“Tidak, itu hasil kutip sana kutip sini. Saya sih tetap orang dhoif yang berdiri jauh di pinggiran,” jawab saya. – ki jenggung

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com