Kepanikan AS dan Stigma Bergerak

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah-Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Masih ingatkah dengan “strategi komprehensif” Presiden Obama diawal pemerintahannya? Tulisan tak ilmiah ini adalah coretan lama yang hendak memotret kepanikan Amerika Serikat (AS) dari sisi diplomasi dan methode pemberian stigma/cap kepada negara yang dianggapnya musuh.

Ya, bila dicermati, strategi komprehensif Obama doeloe merupakan cermin kekalahan militernya dalam Perang di Afghanistan (2001-sekarang). Pertanyaan kenapa demikian, oleh sebab methode unggulan Amerika Serikat (AS) yaitu INVASI MILITER, ternyata “babak belur” menghadapi kelompok Taliban yang dituding Barat sebagai kaum ekstrimis di negerinya sendiri. Dengan kata lain, seandainya strategi AS di era Bush Jr doeloe berjalan efekfif dan sukses, mungkin Obama tidak sibuk mencari strategi-strategi baru.

Dan agaknya, AS telah mengglobalkan Taliban sebagai ancaman bagi keamanan dunia. Itulah substansi strategi terbaru Obama di Afghanistan. Ini bukan misi Amerika, ini bukan misi NATO, ini adalah misi internasional, ucap Obama pada KTT dan ulang tahun NATO ke-60 di Prancis.

Presiden Sarkozy mengatakan: NATO tidak boleh kalah, karena sebagian kebebasan dunia dipertaruhkan di Afghanistan (BBC, 4/4). Juga termasuk “konferensi Afghanistan” di Den Haag disinyalir sebagai upaya Barat untuk mengglobalkan masalah Taliban via lembaga internasional (PBB).

Kepanikan AS dan sekutu (baca: Barat) menghadapi kaum militan baik di Afghanistan maupun Pakistan, terlihat dari beberapa hal :

Pertama
, kesibukannya merekrut sekutu baru, hingga bersifat trans benua bahkan lintas ideologi. Sebagai contoh adalah Rusia yang sudah jelas-jelas “musuh bebuyutan”-nya sewaktu Perang Dingin, kini justru menjadi mitra. Kesiapan Rusia mengikuti gerak strategi komprehensif Obama disanggupi oleh Medvedev yang menganggap Afghanistan sebagai masalah terbesar di dunia (28/3). Luar biasa. Kemudian Obama merangkul Kuba, Venezuela dan lain-lainnya.

Ajakan kepada Rusia, sesungguhnya bermula dari pasokan logistik NATO tak kunjung tiba di tujuan karena diserang kelompok Taliban di jalan. Rusia membantu sebatas penyediaan jalur supplay logistik ke Afghanistan, bukan yang lainnya. Entah tahap-tahap selanjutnya.

Kedua, perekrutan Albania dan Kroasia dalam aliansi, termasuk juga masuknya kembali Prancis menjadi anggota setelah sekian dekade keluar dari NATO.

Ketiga, salah satu materi konferensi di Den Haag merekomendasi taktik yang tidak hanya menyebar lebih banyak pasukan, tetapi juga memberikan tekanan atas diplomasi, perkembangan ekonomi dan penguatan wilayah sipil (Provincial Recontruction Team?)

Keempat, penekanan komitmen Obama terhadap Afghanistan di KTT NATO, terlihat sebagai kampanye mencari dukungan total negara-negara Barat guna mengalahkan kelompok militan di negerinya sendiri (Afghanistan).

Memang sempat terjadi tarik-ulur, bahkan penolakan Uni Eropa (UE) kepada AS soal pasukan tambahan ke Afghanistan. Terutama Prancis, ia cuma membantu pelatihan kepolisian serta ekonomi saja. Jajaran UE kini disibukkan urusan ekonomi negara masing-masing di tengah krisis global.

Kelima, lawatan Obama ke Turki sebagai cermin kuatnya keinginan Barat merangkul dunia Islam, bahkan ia mendeklarasikan di depan Parlemen Turki bahwa Amerika tak berperang melawan Islam (VOA, 6/4). Besoknya Sekjen NATO Ander Rasmussen mengikuti, ia bersumpah menghormati Islam (7/4).

Melihat “kepanikan” AS dimuka, memunculkan pertanyaan dunia terhadap hegemoni superpower : (1) benarkah koalisi 41 negara (NATO dan ISAF) yang dipimpin AS tidak mampu mengatasi Taliban, padahal mereka cuma kelompok lokal dengan peralatan seadanya; (2) bagaimana dengan mitos kehebatan militer, peralatan serta kecanggihan persenjataan perang AS dan sekutu; (3) mungkinkah hubungan Barat dan Islam dapat berjalan dalam nuansa war on terror serta implementasi pre-emtiv strike sebagai doktrin utama AS; (4) bukankah rujukan Gedung Putih (terutama era Bush Jr) ialah Clash of Civilization dan Who Are We-nya Samuel Hutington yang nyata-nyata menyebut bahwa pasca perang dingin, musuh utama Barat adalah Islam?

Stigma Bergerak

Fenonema menarik muncul di Praha, Ceko, dimana Obama mengatakan bahwa garis besar visi terbaru AS adalah dunia bebas senjata nuklir. Ia mengatakan: “keberadaan ribuan senjata nuklir merupakan warisan paling berbahaya dari Perang Dingin. Hari ini Perang Dingin telah sirna, tetapi ribuan senjata belum” (BBC, 5/4, 2009). Gayung bersambut dan Jepang yang kali pertama. PM Taro Aso menyatakan dukungan atas langkah AS membebaskan dunia dari senjata nuklir.

Senator John McCain pun menyokong Obama untuk bumi bebas nuklir. Dalam jumpa pers di Tokyo ia menyatakan, ”Kami menghadapi dua negara di dunia yang bisa mengacaukan bagian-manapun dari dunia ini, yaitu Iran dan Korea Utara. Keduanya berada pada tahap menguasai senjata nuklir dan misil yang bisa membawa senjata-senjata nuklir” (ANTARA, 10/4).

Belajar dari pengalaman agresi militer AS dan sekutu di Iraq, serta invasi-invasi di wilayah lain, terlihat pola yang diterapkan. Tahapan awal biasanya pemberian cap terhadap negara atau wilayah yang akan diinvasi. Misalnya cap atau stigma pelanggaran hak asazi manusia (HAM), pemimpin otoriter, tidak demokratis, senjata pemusnah massal, genosida, membiayai atau sarang teroris, demi stabilitas keamanan dsb. Tahap berikutnya menggalang opini dunia, meminta restu dan dukungan melalui pembuatan agitasi, yaitu skenario peristiwa besar bahwa seolah-olah stigma itu nyata dan benar adanya. Tahap puncak biasanya invasi militer ke wilayah yang ditarget.

Sedangkan “stigma bergerak” contohnya kejatuhan Saddam Hussein. Awal invasi Barat di negeri 1001 malam, cuma berdasarkan asumsi bahwa Iraq menyimpan senjata pemusnah massal. Ketika Iraq sudah luluh-lantak dan ternyata tidak terbukti, maka stigma bergeser  “melawan pimpinan otoriter”. Dan tatkala Saddam Hussein telah digantung mirip kambing korban (eksekusi Saddam bertepatan Hari Raya Korban bagi umat Muslim), stigmanya berubah menjadi “demi stabilitas keamanan”, demikian seterusnya stigma berubah menyesuaikan situasi aktual di lapangan.

Merujuk uraian singkat “stigma begerak” diatas, maka deklarasi Obama di Ceko agar dunia bebas nuklir, menimbulkan pertanyaan besar: jangan-jangan kampanye “dunia tanpa nuklir” merupakan embrio dari stigma baru yang dirancang AS, ketika ia dan sekutu kewalahan menghadapi para militan (Islam) di Iraq, Afghanistan dan Pakistan. Artinya, apakah bakal ada “lahan baru” yang merupakan target AS berikutnya? Maka ketika kini muncul WikiLeaks dengan berbagai bocoran rahasia yang cenderung mengadu-domba intra state dan inter state, apakah ini bukan bagian propagandanya? Tercatat di media hanya dua kepala pemerintahan yang tak percaya (Iran dan Turki), entah yang lainnya. Dunia memang perlu waspada!

(Catatan April 2009, diperbarui dengan peristiwa aktual yang terjadi)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com