Keraguan Terhadap Pencapaian Target Penerimaan Pajak (Tax Revenue) Pemerintah Tahun 2016

Bagikan artikel ini
Sigid Kusumowidagdo, Human Capital Advisor di Bank Pundi Indonesia, Tbk
Para ekonom dunia sekarang percaya bahwa seringkali bukan tarif pajak yang mendorog peningkatan penerimaan pajak tetapi pertumbuhan ekonomi sebagai kunci pendorong penerimaan pajak (key driver of tax revenue). Menaikan tarif berbagai pajak malah bisa mengakibatkan resesi.
Hal ini bisa menerangkan mengapa tahun 2015 ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4.7 %, terendah sejak 2009, gap antara realisasi penerimaan dan target pajak minus (-) 18 %. Mencapai target itu memang sulit sekali.Terakhir kali Indonresia memenuhi target penerimaan tahun 2008. Sejak itu pencapaian selalu minus tetapi di rata-rata di bawah 10 %. Lima tahun terakhir: -2 % (2011),- 6 % (2012),- 6 % (2013), -9 % (2014) dan – 18 % (2015) atau mencapai 82 %  (Realisasi Rp 1,060.9 Triliun) dari target 2015. Berarti terjadi kekurangan Rp Rp 234 Triliun.
Beberapa alasan diberikan untuk kegagalan ini. Target terlalu tinggi (ambisius) dan Direktorat Pajak seperti biasanya memberi alasan : kurangnya tenaga kolektor,kurang insentif dan teknologi tidak memadai. Sebab yang lebih obyektif adalah Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto memang masih rendah yaitu 11% dan manajemen perpajakan yang buruk.
Target pajak 2016 ditetapkan sebesar Rp.1,360Triliun (sekitar USD 98,5 miliar) Kenaikan 28.9 % dari angka pencapaian 2015.
Menko Ekuin Darmin Nasution (yang pernah jadi Dirjen Pajak) sudah mengingatkan target ini sulit dicapai & kenaikan target 13,5 % lebih realistis dari pada 28.9 % dan Menko Ekuin itu juga mengusulkan penurunan target pajak menjadi Rp.1,226,9 Trilun (dari semula Rp1,360.2 Trilun) dan revisi belanja pemerintah dengan memotong sedikitnya Rp 90 Trliun (sekitar USD 6.72 miliar) demi efisiensi agar defisit APBN tidak melebar. Tetapi ternyata Menko Ekuin kalah suara. Target pajak tetap dipertahankan tetapi pagu belanja negara diturunkan dari Rp 2,121 Triliun menjadi Rp 2, 095 Triliun disertai pengurangan belanja pemerintah pusat (berkurang Rp 18 Triliun) dan dana transfer ke daerah (berkurang Rp 12 Triliun). Salah satu alasan untuk tidak mengurangi target pajak adalah “citra”, agar “credit Rating” (tingkat penilaian kreditor) terhadap Indonesia tidak merosot.
Apa yang memberi optimisme kepada pemerintah:
  1. Undang-Undang Pengampunan pajak (Tax Amnesty) yang diharapkan diluncurkan Triwulan 1 akan memberi tambahan penerimaan pajak sebesar Rp, 60 Trilun dari aser yang disimpan dil uar negeri Rp.3000 Triliun (sekitar USD 221 miliar).
  2. Kenaikan pertumbuhan ekonomi 2016 diasumsikan 5.3 % sesuai prediksi Bank Dunia (Prediksi IMF 5,1 %, ADB 5.2 % ,Goldman Sach Group Inc.4,9 %).
  3. Adanya revaluasi asset yang memberi peluang naiknya penerimaan pajak dengan insentif pajak (pengurangan tarif)
  4. Harapan akan adanya kenaikan daya beli (purchasing power) masyarakat karena pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Kita harap inkonsistensi pemerintah tidak terjadi lagi ketika hendak meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,daya beli masyarakat malah berkurang karena kenaikan tarif pajak rakyat pengurangan subsidi yang terburu-buru,pengenakan pajak atau pungutan baru, Kita juga tidak menginginkan nafsu pemerintah Jokowi-Kalla untuk memaksimalkan dana dari utang untuk membangun infrastruktur terus berlanjut seperti di 2015 yang mengakibatkan defisit APBN yang ditargetkan hanya 1,9 % melebar menjadi 2.53 % (dari PDB).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com