Kerancuan Implementasi Geopolitik

Bagikan artikel ini

M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Bung Karno (BK) menyatakan bahwa setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggalnya, atau rakyat tak bisa dipisah dari bumi tempat mereka berpijak. Itu pokok-pokok ajaran (geopolitik) BK yang masih relevan hingga kini. Ia menekankan, untuk mengubah suatu bangsa menjadi besar, ada tiga faktor yang harus dipahami yaitu sejarah lahirnya suatu negara, bangsa dan tanah air sendiri (budaya), serta cita-cita dan ideologi (filsafat).

Bagi bangsa ini, tanah air bukanlah sekedar domisili untuk mencari nafkah, atau bekerja, akan tetapi lebih dimaknai sebagai “tumpah darah” —sekali lagi, tumpah darah— yaitu selain tanah kelahiran, tempat menyambung nyawa, berlindung di hari tua dan juga tempat akhir menutup mata kelak.

Menurut Ratzel, geopolitik itu ilmu negara (science of the state). Pembangunan merupakan program negara cq pemerintah saat itu. Dengan demikian, pembangunan bermodus gusur sana – gusur sini tanpa melihat ketiga faktor sebagaimana ajaran BK, secara geopolitik — justru kontra produktif. Tidak efektif. Keluar dari pakem geopolitik, bahkan menjauh dari kepentingan dan cita-cita nasional. Apalagi demi dan/atau berdalih pembangunan sampai menjual aset-aset negara ke swasta asing. Ini sungguh rancu. Kenapa begitu? Kelak bangsa ini, akibat berbagai pembangunan yang tiak berbasis geopolitik, justru bisa mendudukkan rakyatnya menjadi tamu di negerinya sendiri. Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri. Tanah air, tetapi airnya harus beli dan tanahnya dimiliki orang lain. Hal ini nantinya akan menimbulkan olok-olok politik untuk sang rezim siapapun:

“Memerangi kemiskinan kok justru menggusuri orang-orang miskin; membangun kok malah memusnahkan artefak dan nilai-nilai sejarah; ini program pembangunan, atau agenda kolonial?”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com