Ketajaman Visi Raja Sri Indrawarman dalam Menentukan Nasib Geopolitik Nusantara

Bagikan artikel ini

Abu Bakar Bamuzaham, Peminat Geopolitik dan Pelaku Usaha, tinggal di Surakarta

Bila kita membuka catatan sejarah awal masuknya Peradaban Islam di Nusantara, maka kita akan mendapati data sejarah berupa surat resmi yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman atau juga dikenal sebagai Sri Indravarman kepada penguasa Islam Khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah pada 717 M.

Sebelumnya Raja Sri Indrawarman juga pernah mengirimkan surat kepada Muawiyyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama dari Bani Umayyah.

Berikut ini isi surat yang kedua Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz:

“Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang dai untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.”

Menurut Azyumardi Azra (2006) dalam bukunya Islam in the Indonesian World, Mizan Pustaka, diperkirakan surat di atas diterima Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekitar tahun 100 H atau 717 M.

Bila kita menganalisa lebih dalam tentang isi surat Maharaja Siwijaya tersebut maka itu bukan sekedar surat pribadi dari Raja Sri Indrawarman yang ingin mengenal ajaran agama Islam. Tapi lebih mendalam dari hal itu.

Di bait pertama ditulis tentang siapa Raja Sri Indrawarman yang keturunan para Raja yang memiliki kuasa penuh atas Kerajaan. Selanjutnya di bait kedua nampak adanya kata-kata untuk menggambarkan kondisi geografis dan geologis Kerajaan Sriwijaya yang subur dan kaya yang menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya bukan sedang dalam kondisi terpuruk dan tidak dalam rangka sedang meminta bantuan dari luar Negeri.

Kemudian di bait akhir ada kata meminta kepada Raja Arab agar mengirimkan Dai agar menjelaskan hukum-hukum Islam. Disana ada kata hukum, maka bisa dipastikan bahwa surat itu bukanlah surat biasa atas nama Pribadi Raja, tetapi itu adalah sebuah surat keputusan Resmi Kerajaan Sriwijaya. Yang dibuat langsung oleh Sang Raja sebagai bagian dari kebijakan hukum dan keputusan geopolitik yang sedang ditempuh oleh Kerajaan Sriwijaya. Dalam upayanya untuk menentukan peta gepolitik masa depan Kerajaan Sriwijaya.

Nampak pula bahwa Surat itu diantar oleh utusan resmi kerajaan dengan membawa hadiah resmi kerajaan. Sampai disini kita faham bahwa wawasan geopolitik sang Raja Sriwijaya Sri Indrawarman ini sangat dalam dan memiliki kepedulian yang tinggi pada perkembangan politik dunia Internasional kala itu.

Surat kedua yang dikirimkan Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz ini sangat menarik kita kaji dari kacamata Geopolitik, tapi sebelum membahas ini mari kita sejenak melihat peta geografis posisi Kerajaan Sriwijaya kala itu.

Secara historis, wilayah kerajaan Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatra awal dan kerajaan terbesar Nusantara. Kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum kolonialis untuk menunjukkan satu kesatuan wilayah (Nusantara) pada masa Kolonialisme Belanda (Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5)

Berdasarkan referensi Taylor tersebut,  maka berbicara tentang Kerajaan Sriwijaya adalah berbicara tentang wilayah Nusantara.

Secara geografis, wilayah Nusantara ditakdirkan terletak di atas pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.

Pengaruh dari letak geografis tersebut selain menghadirkan anugerah berupa panorama yang indah, lipatan gunung yang mempesona, kandungan sumber daya alam yang melimpah, namun juga menghadirkan ancaman bencana alam yang sering hadir silih berganti, seperti gunung berapi dan gempa bumi di sepanjang jalur patahan.

Ditakdirkan berada pada posisi silang antar dua benua, benua Australia dan benua Asia, yang dipisahkan oleh dua samudera, samudera Hindia dan samudera Pasifik, telah menempatkan Negeri Nusantara sebagai jembatan penghubung, titik pertemuan dan terminal persinggahan.

Akibatnya, wilayah Nusantara sangat rentan menjadi sasaran perebutan pengaruh, baik pengaruh ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, oleh berbagai kepentingan asing yang membawa kepentingannya masing-masing.

Memahami posisi silang secara geografis yang letaknya di persimpangan posisi silang ini membawa pengaruh secara geopolitik yang menempatkan Nusantara sebagai terminal pertemuan Peradaban-peradaban besar dunia.

Posisi ini sangat berpengaruh pada Nasib Geopolitik Negeri ini yang tak bisa dilepaskan dari pengaruh Peradaban besar lain yang telah berkembang di dunia internasional.

Sampai disini kita mulai paham bahwa ternyata secara geopolitik, keputusan Raja Sri Indrawarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut sangat visioner. Yang memahami letak posisi silang geografis Nusantara yang sangat tergantung dari peradaban besar dunia, meskipun kala itu Islam masih baru muncul dan belum sepenuhnya menjadi Peradaban yang besar, tapi dengan jitu Raja Sri Indrawarman memilih Islam sebagai Koalisinya.

Melalui surat tersebut seolah Raja Sri Indrawarman sedang menentukan isyarat geopolitik masa depan Kerajaan Sriwijaya dalam menghadapi tantangan geopolitik Kerajaan Sriwijaya di masa mendatang.

Menurut Prof Dr Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam disebutkan, pada sekitar 717 Masehi, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari Dinasti Umayyah hadir di Sriwijaya. Hal ini semakin mempercepat perkembangan Peradaban Islam di Sriwijaya.

Kita patut mentauladani pandangan visioner sang Raja Sri Indrawarman yang tajam dalam membaca peta tantangan geopolitik Nusantara yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan peradaban besar dunia.

Pasca surat menyurat antara Raja Sri Indrawarman dan Khalifah Abbasiyah itu menurut Hamka, Kerajaan Sriwijaya semakin berkembang pengaruhnya, meskipun konsekwensinya Kerajaan Sriwijaya berubah sebutan menjadi “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Dan menjadi awal perkembangan Islam di Sumatra hingga ke pesisir Aceh yang kelak melahirkan Kesultanan Islam Samudra Pasai di serambi Mekah, Aceh.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kelak Kesultanan Islam Samudra Pasai yang sejak awal dibangun pondasinya oleh Raja Sri Indrawarman ini mampu bertahan dan mengalami fluktuasi hingga kelak berubah menjadi Kesultanan Aceh Darussalam yang paling sulit ditembus oleh Kolonialisme Belanda hingga akhir abad ke 18 M.

Woouw, bisa bertahan hingga 11 abad bukan usia yang pendek bagi sebuah kedaulatan kerajaan (Negara), sedangkan kita tau bahwa Kerajaan Majapahit yang besar itu hanya mampu bertahan selama sekitar 2 abad (1293 M – 1478 M)

Berkaca dari kebijakan geopolitik Raja Sri Indrawarman tersebut, bila kita melihat kondisi wilayah Nusantara hari ini, Indonesia saat ini sedang berada dalam simpangan dua kekuatan peradaban besar yang mengancam negeri ini, yaitu Kapitalisme Korparasi dan Kapitalisme Negara.

Walaupun telah terjadi sebuah perubahan revolusioner Revolusi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang notabene adalah tonggak perubahan revolusi bagi Bangsa Indonesia dari negara terjajah kolonial memasuki masa zaman baru, tapi perubahan tersebut masih tetap dalam kendali kapitalisme barat, yang mengontrol melalui soft war system bernegara, yang dilandaskan pada filosofi liberalisme ekonomi dan politik” (Haris Rusly -PPNP).

Faktanya, tonggak perjuangan 1945 adalah pergeseran dari Kolonialisme model klasik ala Belanda memasuki Kolonialisme gaya baru Kapitalisme Korporasi ala Amerika.

Pada prinsipnya, baik kapitalisme korporasi yang tumbuh di barat (Amerika, Inggris, Eropa) maupun Kapitalisme Negara yang tumbuh di China mempunyai kesamaan tujuan, yaitu melebur dunia dengan meniadakan batas batas negara yang menghambat pertumbuhan dari kapitalisme itu sendiri.

Bedanya, kapitalisme barat telah berhasil menguasai dan mengendalikan dunia melalui soft war system negara, One Goverment One System (OGOS), yaitu dengan menggunakan senjata liberalisme (ekonomi dan politik) serta revolusi teknologi informasi untuk meleburkan dan mendominasi dunia.

Sementara Kapitalisme Negara yang tumbuh di China berambisi melebur, menguasai dan mengendalikan dunia ke dalam gengamannya melalui hard war system, yaitu melalui senjata pembangunan infrastruktur untuk menyatukan seluruh negara-negara dengan pusat politik di Beijing dan pusat ekonomi dan keuangan di Shanghai (Haris Rusly -PPNP).

Melalui pidatonya di berbagai forum Internasional, Presiden China Xi Jinping sejak tahun 2013 telah mencanangkan apa yang disebut sebagai “China Dream” yaitu program untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra Baru lewat program “One Belt One Road” (OBOR) untuk meningkatkan perdagangan dengan banyak negara. Negeri tirai bambu itu bahkan siap menggelontorkan dana sebesar Rp 1.649 triliun untuk membangun jaringan infrastruktur berbagai negara.

Jalur ini dibangun diatas satu sabuk satu jalur, One Belt One Road (OBOR), yang dijalankan melalui projek pembangunan infrastruktur menyusuri darat dan laut, yang menghubungkan seluruh kawasan di Asia Tengah, Asia Tenggara, Australia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dll.

Salah satu tujuan dari projek OBOR tersebut adalah mengontrol dan mengendalikan jalur supply chain (rantai pasokan) secara international, menjadi “kepala preman” yang mengontrol jalur produksi, distribusi dan konsumsi di kawasan pasifik” (Haris Rusly -PPNP).

Baik projek OGOS (One Goverment One System) dari Kapitalisme Barat maupun projek OBOR (One Belt One Road) dari Kapitalisme Negara (China), adalah sebuah ancaman serius bagi bangsa Indonesia (Haris Rusly -PPNP).

Pertama, ancaman peleburan negara (unification). Tahapan peleburan negara telah berlangsung cukup lama melalui liberalisasi ekonomi dan revolusi teknologi informasi yang telah merobohkan batas, tiang dan dinding negara.

Kedua, setelah melewati jalan peleburan negara, maka okupasi (occopation) atau pendudukan wilayah oleh bangsa lain di atas tanah Indonesia akan semakin mulus, sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris yang menduduki tanah Australia dengan mengusir suku asli Aborigin, atau pendudukan atas tanah Amerika oleh Inggris dengan mengusir suku asli Indian.

Negara penjajah seperti Inggris sangat kuat mencengkeram dunia karena ditopang oleh konsep commonwealth yang tersebar luas menduduki dan membentuk negara Afrika Selatan, Kanada, Selandia Baru, Australia dan Amerika Serikat, dan lain-lain.

Sementara peradaban China menjadi kuat karena didukung oleh kekuatan overseas (perantauan). Demikian juga kekuatan Yahudi menguasai dan mengendalikan dunia dengan strategi dan konsep diasporanya (Haris Rusly -PPNP).

Untuk memudahkan menggambarkan kondisi ini, ibaratnya separo badan kita ini belum keluar dari mulut singa (Kapitalisme Barat) dan hari ini sisa kaki kita yang ada, terancam masuk kedalam mulut buaya (Kapitalisme Negara).

Pertanyaannya adalah, bagaimana nasib bangsa ini kedepannya?

Ada baiknya bila kita lebih mendalami kembali akar identitas bangsa ini. Hal ini penting, karena akan menjadi apa kita kelak, tergantung dari bagaimana kemampuan kita mengidentifikasi diri kita sendiri.

Bila dahulu Raja Sri Indrawarman memilih Islam sebagai pilihan geopolitiknya, meskipun pada saat itu Islam belum banyak dikenal oleh masyarakat di Nusantara, tetapi pemimpin kita hari ini kebalikannya. Islam telah menjadi agama 80% rakyat Indonesia, tapi sistem geopolitiknya cenderung mengkiblatkan diri kepada Kapitalisme Barat dan Kapitalisme Negara.

Dan akhirnya Aset Negara menjadi santapan menyegarkan bagi Kolonialis-kolonialis gaya baru ala Kapitalisme Barat (AS) dan Kapitalisme Negara (China).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com