Kisah Geopolitik yang Tersurat dari Surat Ar Rum

Bagikan artikel ini

Abu Bakar Bamuzaham, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang).” (Al Qur’an, Ar Rum: 1-4)

Ayat pertama surat Ar Rum ini adalah ayat yang diturunkan kira-kira pada tahun 620 Masehi,  Surat Ar Rum ini memiliki keajaiban yang mampu memberi kejutan bagi Umat Nabi pada saat itu, bahkan bagi penduduk Mekah kala itu, karena ayat ini memberi informasi secara detil tentang kondisi Peta Geopolitik Dunia pada saat ayat ini diturunkan.

Ayat ini merujuk pada Kekaisaran Romawi yang oleh para sejarawan sering disebut kekaisaran Byzantium dibawah Kekaisaran Romawi Timur.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Kekaisaran Byzantium yang telah mengalami kekalahan besar atas Kekaisaran Persia, tetapi dikabarkan akan segera memperoleh kemenangan kembali.

Padahal, Byzantium pada waktu itu telah menderita kekalahan sedemikian hebat hingga nampaknya secara kasat mata seolah mustahil baginya untuk mempertahankan keberadaannya sekalipun, apalagi merebut kemenangan kembali atas Persia.

Diceritakan dalam sejarah, atas kekalahan tersebut Kaisar Byzantium, Heraklius, hingga memerintahkan agar semua cadangan emas dan perak yang ada di dalam gereja dilebur dan dijadikan uang untuk membiayai pasukan perang.

Banyak gubernur memberontak melawan Kaisar Heraklius dan dan Kekaisaran telah nyaris berada pada titik keruntuhan. Mesopotamia, Cilicia, Syria, Palestina, Mesir dan Armenia, yang semula dikuasai oleh kekaisaran Bizantium, diserbu oleh bangsa Persia (Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997)

Pendek kata, setiap orang pasti menyangka Kekaisaran Romawi Byzantium akan runtuh. Tetapi tepat di saat seperti itu, ketika semua orang telah menilai bahwa Romawi Byzantium akan runtuh, tetiba dari  sebuah wilayah Hijaz yang tandus dan tak pernah di perhitungkan dalam sejarah, mengabarkan sebuah berita yang  turun dari langit yang menerangkan dan memetakan masa depan Byzantium yang tak lama lagi akan mendapatkan kemenangan (dalam beberapa tahun lagi).

Bagi para pengamat politik kala itu, berita yang disampaikan Nabi dari ayat Al Qur’an itu seolah sesuatu yang mustahil. Terlebih lagi bagi para pemuka kaum Quraisy yang memang dikenal sebagai orang-orang yang memiliki taraf kecerdasan yang tinggi dalam menganalisa. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kebiasaan orang-orang Quraisy yang suka kepada permainan kata-kata melalui syair-syair.

Maka tak heran bila turunnya surat Ar Rum ini justru semakin menjadikan bahan cemoohan diantara orang-orang Kafir Quraisy Mekah. Karena mereka berkeyakinan bahwa kemenangan yang diberitakan Al Qur’an takkan pernah menjadi kenyataan dan bohong belaka.

Dikabarkan dalam sebuah riwayat bahkan saking tingginya gesekan antara percaya dan tidak percaya hingga salah seorang Sahabat mulia Abu Bakar As Syidiq hingga dipaksa ditantang agar berani bertaruhan apabila Romawi mampu mengalahkan Persia.

Namun ternyata fakta berbicara lain. Sekitar enam tahun setelah diturunkannya ayat pertama Surat Ar Rum tersebut, pada Desember 626 Masehi, terjadi perang penentu antara Kekaisaran Byzantium dan Persia di daerah Nineveh Jordania.

Diluar prediksi banyak analis kala itu, ternyata di peperangan kali ini, pasukan Byzantium secara mengejutkan mampu mengalahkan pasukan Persia.

Bahkan beberapa bulan kemudian, bangsa Persia harus membuat perjanjian dengan Byzantium, yang mewajibkan mereka untuk mengembalikan wilayah yang telah mereka ambil dari Byzantium (Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997)

Akhirnya, “kemenangan bangsa Romawi” yang diumumkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, secara ajaib menjadi kenyataan. Pada tahun 627 M, Pasukan Byzantium berhasil mengalahkan tentara Persia Sassaniyah dalam Perang di Niniveh ini.

Kemenangan di Niniveh ini juga merupakan keajaiban Al Qur’an, karena Al Qur’an telah menyebutkan tentang fakta geografis yang disampaikan dalam surat Ar Rum bahwa kekaisaran Romawi mampu mengalahkan Persia ditempat yang terendah.

Ungkapan “Adnal Ardli” dalam surat Ar Rum, dalam bahasa Arab, diartikan sebagai “tempat yang dekat” dalam banyak terjemahan. Namun ini bukanlah makna harfiah dari kalimat tersebut, tetapi lebih berupa penafsiran atasnya. Kata “Adna” dalam bahasa Arab diambil dari kata “Dani”, yang berarti “rendah” dan “Ardl” yang berarti “bumi”. Karena itu, ungkapan “Adnal Ardli” berarti “tempat paling rendah di bumi”.

Wilayah yang dimaksudkan ini adalah cekungan Laut Mati, yang terletak di titik pertemuan wilayah yang dimiliki oleh Syria, Palestina, dan Jordania. “Laut Mati”, terletak 395 meter di bawah permukaan laut, adalah daerah paling rendah di bumi.

Ini berarti bahwa Persia Sassaniyah mampu dikalahkan oleh Bizantium di bagian paling rendah di bumi, persis seperti dikemukakan dalam ayat ini.

Sebelumnya, mustahil bagi siapapun untuk mengetahui bahwasannya ini adalah wilayah terendah di permukaan bumi. Namun, dalam Al Qur’an, daerah ini dinyatakan sebagai titik paling rendah di atas bumi. Sedangkan kita tau bahwa ketinggian Laut Mati hanya mampu diukur dengan teknik pengukuran modern. Demikianlah, ini memberikan bukti lagi bahwa Al Qur’an adalah wahyu Ilahi.

Setelah memperoleh kemenangan dalam pertempuran atas Persia Sassaniyah, wilayah kekuasaan Byzantium menjadi semakin luas hingga mencapai wilayah Jerusalem.

Untuk merayakan kemenangannya tersebut, Kaisar Herklius menziarahi Gereja Makam Suci, yang terletak di komplek Masjidil Aqsha, Jerusalem Palestina.

Lantas bagaimanakah sikap Nabi SAW terhadap dua kekuatan Adi Daya tersebut kala itu? Apakah Nabi SAW berpihak kepada salah satu diantara dua Super Power yang sedang bertempur itu?

Dari kisah Siroh Nabawwiyah kita mendapatkan informasi tentang bagaimana sikap Nabi SAW dalam menyikapi dua sekutu Adi daya yang notabene mereka selalu bermusuhan sejak dahulu itu karena diantara keduanya memiliki tabiat Ovensif Aktif dalam mengelola kekuasan mereka.

Ternyata Nabi SAW memiliki cara pandang sendiri yang berbeda dengan cara pandang pada umumnya. Justru pada saat Kaisar Heraklius merayakan kemenangannya di Palestina, Rasulullah Muhammad SAW mengambil sikap dengan mengirimi surat kepada Kaisar Heraklius yang memintanya agar mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi SAW.

Dapatkah kita membayangkan hari ini? Pemenang perang atas dua Adi daya besar kala itu yang kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Eropa hingga ke timur tengah yang sedang merayakan kemenangan tetapi justru tiba-tiba diberi surat agar mengikuti Muhammad SAW untuk memeluk Islam? Sedangkan kita tau bahwa kekuasaan Muhammad SAW sendiri baru menguasai wilayah sebesar wilayah Yastrib atau Kota Madinah hari ini.

Belajar dari kisah Siroh Nabawwiyah, kita akan memahami bagaimana Sikap Nabi SAW yang tak mudah terseret arus berbagai macam Propaganda dan pengaruh hegemoni dua kekuatan Persia dan Byzantium kala itu.

Rasulullah Muhammad SAW bukan hanya membawa Umatnya agar tidak larut pada arus hegemoni dua super power dunia kala itu, namun justru sebaliknya, Nabi mengambil sikap dengan mengirim surat kepada kedua kaisar Byzantium dan Kaisar Kisra dari Persia agar kedua Kaisar yang memiliki tabiat imperialisme tersebut memeluk Islam dan mengikuti Nabi SAW.

Inilah sikap Geopolitik Islam ketika diemban oleh Nabi beserta para Sahabat Mulianya dalam menghadapi kekuatan Imperialisme dua sekutu Adidaya dimasanya. Karena Islam memiliki sifat dan Ruhnya sendiri yang lebih sempurna diantara dua kekuatan Imperialisme Adidaya tersebut.

Wallahu a’lam bissowab..

Maha Suci Allah atas segala firman-Nya..

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com