Kolaborasi Mafia Berkeley-Mafia Migas Lumpuhkan Daulat Sektor Migas Indonesia

Bagikan artikel ini

(Kasus Skema Kerjasama Pembangunan Kilang Baru Balongan II Pertamina-Kuwait Petroleum International)

Kedaulatan Energi Indonesia, khususnya di sektor Migas, tentunya diukur dari seberapa besar kemampuan Pertamina sebagai produsen Migas untuk memproduksi minyak mentah. Sayangnya, sepanjang rentang sejarahnya sejak resmi berdiri pada 10 Desember 1957 hingga sekarang, Pertamina tercatat hanya memiliki 6 Kilang Unit Minyak dengan kapasitas produksi 1, 05 juta per hari (bph). Adapun keenam kilang minyak milik Pertamina tersebut yaitu  Kilang Dumai, Kilang plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong.

Dari total kapasitas kilang tersebut, hanya mampu memproduksi minyak sebanyak 700 ribu-800 ribu bph. Sementara, konsumsi bahan bakar minyak Indonesia saat ini mencapai 1,5 juta-1,6 juta bph dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu membuat jumlah impor minyak dan BBM Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya.

Mengapa kapasitas produksi BBM Pertamina sedemikian rendahnya? Memang ada banyak versi penjelasan. Namun jika ditarik satu kesimpulan besar, penyebabnya tiada lain karena Pertamina sejak 1995 praktis tidak pernah menambah kilang minyak. Karena menurut catatan tim riset Global Future Institute, kilang minyak terakhir yang dibangun adalah Kilang Balongan pada 1994.

Menyadari kenyataan tersebut, sejak masa kepemimpinan Karen Agus Setiawan,  Pertamina kemudian memprakarsai sebuah terobosan baru, dengan menggagas rencana Pembangunan Dua Kilang Baru yaitu Balongan (Kilang Balongan II) dan Tuban.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun Tim Riset Global Future Institute, status Proyek Kilang baru Balongan, akan dilakukan bekerjasama dengan Kuwait Petroleum International (KPI). Segala rencana maupun kesiapan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui Detailed Feasibility Study yang dilakukan oleh Foster Wheeler. Sedangkan Studi Lokasi elah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), yang hasilnya mengindikasikan bahwa lokasi Balongan dilihat dari aspek sosial dan finansial dinilai lebih tinggi resikonya, sehingga alternatif lain adalah Tanara, di Banten.

Singkat cerita, semua dokumen terkait skema Proyek Pembangunan Kilang Minyak Pertamina-Kuwait Petroleum International telah dipresentasikan secara lengkap kepada pemerintah cq Kementerian Keuangan.

Misalnya saja yang terkait insentif, juga telah dilakukan studi dukungan Fiskal dan analisis dampak Fiskal (Cost & Benefit Analysis) oleh konsultan independen Siddharta Advisory (KPMG), terkait Proyek Kilang Balongan II.

Adapun terkait dengan Initial Incentive Package (IIP) dimana pihak KPI menyampaikan permintaan 4 insentif (IIP) juga sudah dipaparkan melalui surat tanggal 7 Desember 2011 tentang Update on the New Balongan Complex Project-IIP & PFS. Studi Fiskal untuk pembangunan kilang baru Balongan juga telah disampaikan kepada Menteri Keuangan cq Kepala BKF tertanggal 14 Agustus 2013.

Menurut Incentive Package -1, KPI meminta import duty untuk produk fuel sebesar 10-15 persen atau Pertamina melakukan offtake produk dengan harga impor parity+import duty minimal 15 persen. Sedangkan import duty untuk Produk Petrokimia KPI meminta sebesar Rp 15-20 persen. Mulai dari masa beroperasi secara komersial hingga tenor hutang.

Terkait Corporate Income Tax (CIT), KPI mengajukan pembebasan CIT selama masa tenor hutang proyek+5 tahun. Kemudian CIT setelahnya adalah 5 persen per tahun selama sisa masa opeasi. Mulai dari beropeasi secara komersial sampai tenor hutang.

Nah di sinilah pihak KPI sebagai mitra andalan Pertamina dan Pemerintah cq Kementerian Keuangan tidak tercapai titik temu. Pihak Kementerian Keuangan selaku pihak yang berwenang dalam regulasi terkait pajak, berpandangan bahwa secara umum PMK yang mengatur tentang pajak (PMK 130/2011) berlaku secara luas, tidak spesifik untuk Proyek Kilang Baru Balongan. PMK 130/2011 menyebutkan Pemerintah dapat memberikan pembebasan pajak selama 5-10 tahun setelah beroperasi secara komersial dan 50 persen pada tahun ke 11 dan 12 dan setelah itu pajak normal sebesar 25 persen per tahun.

Sedangkan pihak KPI meminta insentif beru[pa pembebasan pajak selama loan tenur(15 tahun) ditambah 5 tahun, yang berarti KPI membayar pajak pajak 0 persen CIT.

Sayangnya, respon pihak pemerintah cq Kepala BKF Kementerian Keuangan melalui surat No S-709/2013 tanggal 26 September 2013, pada intinya hanya menegaskan bahwa dukungan pemerintah terhadap proyek Kilang Balongan II hanya sebatas pembebasan tax holiday sesuai PMK 130 tahun 2011.

Dengan kata lain, pemerintah cq Kementerian Keuangan dalam bahasa tegasnya, menolak skema kerjasama Pertamina-KPI terkait Rencana Pembangunan Kilang Baru Balongan II.

Atas dasar respon pihak Kementerian Keuangan tersebut, Pertamina telah menyampaikan posisi Pertamina dan Pemerintah terkait insentif kepada KPI melalui surat tertanggal 31 Oktober 2013. Sedangkan posisi KPI, hingga kina belum memberikan tanggapan/jawaban terkait surat yang dikirim oleh Pertamina tersebut.

Alhasil, rencana pembangunan Kilang Baru Baru Balongan berdasarkan skema Joint Venture Pertamina-KPI boleh dibilang gagal total.

Menjadi satu pertanyaan besar di sini adalah, apa yang sesungguhnya mendasari keputusan Kementerian Keuangan menolak skema kerjasama Pertamina-KPI dalam pembangunan kilang baru Balongan II?

Karena berdasarkan diskusi terbatas dengan beberapa ahli perminyakan di Global Future Institute Senin 15 September 2014, sebenarnya tax holiday yang diminta oleh KPI sebenarnya secara bisnis cukup realistis dan masuk akal. “Dibandingkan dengan prospek Indonesia untuk meningkatkan produksi minyaknya yang diperkirakan bisa mencapai 6000 barel per hari berdasarkan pembangunan kilang baru tersebut, maka insentif yang diminta KPI sangat sebanding dengan Daulat Energi yang akan kita wujudkan melalui skema tersebut,” begitu analisis dari Agus Setiawan, analis Politik Energi Universitas Nasional  dan Research Associate GFI dalam diskusi terbatas Senin lalu.

Kegusaran Agus Setiawan nampaknya senada dengan analisis Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies(IRESS) berdasarkan perbincangan dengan Liputan 6 19 Juni 2013 lalu. Menurut Batubara, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah menandatangani nota kesepahaman (MOU) pembangunan kilang minyak dengan pemerintah negara lain maupun beberapa perusahaan asing. Seperti  dengan Jepang, Iran, Saudi Arabia, dan Kuwait. Namun tak satupun yang dieksekusi oleh pemerintah.

“Dulu alasannya biaya besar dan margin kecil, lalu belakangan setelah sudah banyak yang minat investasi, isunya beralih dari insentif tax holiday dan pembebasan bea masuk yang diminta investor. Aturan tax holiday  bea masuk sudah ada, nyatanya sampai sekarang masih tidak jalan,” ungkap Marwan.

Dari ulasan dua pakar energi, maka sampailah kita pada sebuah kesimpulan yang cukup krusial. Hambatan di balik penambahan kilang minyak untuk meningkatkan produksi minyak di tanah air, akibat kuatnya pengaruh Mafia Migas.

Keuntungan Mafia Migas akibat ketergantungan kita pada impor minyak dari negara lain, nampaknya baru merupakan salah satu faktor penyebab. Aspek lain yang tak kalah krusial adalah, begitu besarnya pengaruh paham Neoliberalisme Ekonomi dalam memperngaruhi arah kebijakan strategis ekonomi di Kementerian Keuangan. Mulai sejak dominasi para teknokrat ekonomi di beberapa pos strategis ekonomi kabinet pemerintahan Suharto, khususnya di Kementerian Keuangan. Sedemikian rupa besarnya pengaruh tim ekonomi didikan Amerika Serikat sejak era Ali Wardhana, Radius Prawiro, Mar’ie Muhammad, Sri Mulyani Indrawati, hingga Chatib Basri, sehingga mereka ini kemudian dikenal dengan sebutan MAFIA BERKELEY.

Dalam skema Washington Consensus yang kemudian dianut oleh para teknokrat ekonomi Kementerian Kuangan hingga Sri Mulyani dan Chatib Basri sejak era reformasi,

Salah satu mekanisme Neoliberal yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia untuk melumpuhkan sistem ekonomi nasional adalah Structural Adjustment Program (SAP). Dengan SAP inilah, pemilik modal besar di dunia internasional mampu mengobah ekonomi yang sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka dalam mengembangkan investasi dan keuntungan.

SAP ini dilakukan dengan melalui Langkah:

  1. Pembukaan keran impor sebebas-bebasnnya dan adanya aliran uang yang bebas.
  2. Devaluasi.
  3. Kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk: Pembebasan Tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.

Dari mekanisme SAP ini jelaslah sudah, betapa pembukaan keran impor sebebas-bebasnya, termasuk di sektor Migas, secara sadar memang dimaksudkan agar Indonesia tetap melestarikan ketergantungan ekonominya kepada negara asing. Meskipun hal itu berarti akan melumpuhkan kedaulatan energi dan perekonomian nasional kita secara jangka panjang.

Begitulah. Skema Neoliberal para teknokrat ekonomi yang bercokol di Kementerian Keuangan yang by design memang membuka keran impor sebebas-bebasnya di Indonesia, secara simbiosis mutualisme bertemu kepentingan dengan Mafia Migas yang meraup keuntungan ekonomis yang cukup besar dengan meningkatnya impor minyak kita dari negara-negara asing.

Penulis: Ferdiansyah Ali dan Rusman, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com