Konflik Amerika Serikat dan Korea Utara dalam Tinjauan Undang-Undang Dasar 1945

Bagikan artikel ini

Fajar Imam Hasanie, Ketua Bidang Luar Negeri, Pengurus Pusat Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Alumni Fakultas Ilmu Sosial-Politik jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional. 

(Tinjauan Analitis mengenai Hasil Seminar Terbatas GFI bertema: Membaca Kebijakan AS terhadap Korea Utara dan Dampaknya bagi Indonesia. Kamis 9 November 2017).

Korea Utara (Korut) menjadi satu Negara yang selalu menjadi sorotan dunia pertama. Sebagaimana kita ketahui Korut merupakan salah satu Negara yang tetap mempertahankan komunisme dalam hal ideologi dan Korut merupakan salah satu Negara yang memproduksi nuklir  untuk berbagai hal termasuk alat utama sistem pertahanan (Alutsista).

Korut beberapa kali melakukan uji coba senjata nuklirnya dan sebagaimana dunia dikagetkan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang merespon hal itu dengan menyatakan bahwa soal nuklir tersebut untuk meningkatkan eskalasi konflik dan kehadirannya di Semenanjung Korea.

Menurut Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit, “sepertinya ada provokasi dari AS untuk memanaskan keadaan di Semenanjung Korea bahkan Asia Pasifik.” Ia juga menambahkan bahwa “mengapa Korea Utara menjadi sasaran tembak, seraya menciptakan instabilitas politik di kawasan Asia Pasifik dan khususnya Semenanjung Korea.

Apalagi di tengah semakin menguatnya kebangkitan beberapa negara di Asia Pasifik yang berkembang pesat baik ekonomi maupun ilmu dan teknologi seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, India dan bahkan beberapa Negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan juga Indonesia. Sehingga berbagai skenario terburuk yang mungkin terjadi jika meletus perang antara AS dan Korut di Semenanjung Korea harus segara diantisipasi.

Dalam pernyataan di atas menegaskan bahwa AS tentu sangat menyadari betapa trend geopolitik global telah bergeser ke Pasifik khususnya ialah Asia Pasifik, sehingga kemudian secara tersirat siapa yang menguasai Asia Pasifik tentulah negara atau bangsa itu yang akan menguasai dunia ini.

Korut adalah satu stimulus yang akan bisa menjadi pemicu ketidakstabilan kawasan yang akan menjadi efek domino kemana-kemana dari berbagai hal. Tentunya Korut sebagai sekutu strategis Republik Rakyat China (RRC) yang merupakan salah satu pesaing utama AS dalam persaingan politik global sekarang ini tentunya ada semacam anggapan bahwa  jangan-jangan sesungguhnya sasaran AS sesungguhnya bukanlah Korut melainkan RRC.

Ketika RRC yang sesungguhnya yang menjadi sasaran AS konflik ini tentunya akan menjalar dan berpengaruh terhadap ketidakstabilan politik dan ekonomi bukan hanya kawasan Asia Pasifik, akan tetapi akan berdampak langsung terhadap politik dan ekonomi global. Dan ini perlu diwaspadai terutama Indonesia sebagai bangsa yang didalam konstitusinya yang menyatakan ikut melaksanakan ketertiban dunia (aktif bukan pasif).

Ketika trend geopolitik global telah bergeser ke  Asia Pasifik sudah semestinya sebagai satu Indonesia mesti memainkan peran strategisnya dalam komitmennya membangun perdamaian abadi sebagaimana tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945

Terlebih Semenanjung Korea sangat berdekatan dengan wilayah Indonesia apabila terjadi instabilitas keamanan dan lain-lain secara mutlak dan absolut Indonesia pasti terkena imbasnya, dengan demikian Indonesia harus menjadi pemain kunci.

Konstitusi Indonesia dalam preambule sudah jelas menyatakan bahwa komitmennya terhadap anti penjajahan dengan segala bentuk dan manifestasinya, terlebih dalam visi Negara Indonesia ialah mencapai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan itu memberikan amanah kepada Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan untuk menjalankan amanah bangsa tersebut dengan menjalankan misi atau tugas Negara secara kongkrit ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kemudian dari konstitusi terjelmakan satu sifat politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, Bung Karno pernah menyebutkan bahwa politik bebas aktif itu bukan politik netral, yang selama ini disalah artikan.

Akan tetapi sebagai bangsa yang merdeka bebas berinteraksi dan berhubungan dengan bangsa dan negara apapun dan kata-kata aktif di sini menurut bung Karno ialah aktif dalam melenyapkan imprealisme dan kolonialisme sampai ke akar-akarnya dengan segala bentuk dan manifestasinya yang menurut bung Karno tiada satu bangsapun di dunia ini yang menginginkan dirinya terjajah atau dijajah ini sesuai dengan sosial consiusness of man.

Dalam konteks hubungan luar Negeri dengan bangsa-bangsa lain, sebuah negara modern harus setia dan menginduk seluruh kebijakan negaranya kepada konstitusi karena itulah yang menjadi dasar kontrak sosial antara bangsa dan Negara sebagai mandataris bangsa.  Di dalam seminar yang diadakan oleh GFI beberapa waktu yang lalu dinyatakan bahwa Indonesia tak masuk daerah aman jika terjadi perang antara AS dan Korut di Semenanjung Korea.

Dalam konteks keamanan dan pertahanan suatu Negara yang mesti dan wajib melindungi bangsanya tentu kewaspadaan ini mesti menjadi perhatian.

Dalam hal ini Indonesia dengan politik bebas aktifnya harus bermain dan memegang peranan strategis sebagai aktor yang aktif memperjuangkan terjaminnya perdamaian di kawasan tersebut, oleh karena ini adalah abad Asia dan Indonesia telah memiliki track record sebagai bangsa yang berkomitmen terhadap perjuangan bangsa-bangsa yang terjajah agar dapat mendapat kemerdekaannya yang merupakan hak yang mutlak sebagai bangsa maupun sebagai umat manusia.

Konferensi Asia Afrika 1955, Games New Emerging Forces (Ganefo), Gerakan Non Blok 1961 serta dibentuknya  Confrence of New Emerging Forces dan lain-lain merupakan tinta emas yang tak bisa dihapus oleh sejarah ummat manusia di dunia.

Politik luar negeri akan kuat dan memiliki daya tawar yang kuat ketika politik domestiknya stabil dan kokoh. Terkait dengan kecarut marutan situasi politik domestik yang ricuh serba hantam menghantam antar bangsa sendiri, tentu itu terjadi bukan alami sebagaimana adanya. Ada potensi ada aktor dibalik itu semua yang menghendaki bangsa Indonesia ini tidak menjadi bangsa yang besar dan kokoh yang berdaulat atas bangsa dan tanah airnya, yang menjadi inti sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang besar ialah persatuan dan kesatuan sebagai bangsa.

Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia jika ia bergerak dan berjuang bersifat kedaerahan atau bahkan perjuangan berdasarkan kelompok-kelompok tertentu tak didasarkan oleh persatuan nasional, itu tidak akan berhasil. Sejarah telah mencatat itu. Dengan demikian persatuan bangsa menjadi hal yang pokok, baru dengan persatuan itu kita memiliki sikap untuk berhubungan dengan eksternal.

Dalam diskusi tersebut juga beberapa pembicara mengkhawatirkan kondisi Indonesia pada masa depan, karena dinilai generasi mudanya sebagai pelanjut estafet perjuangan harus diperhatikan regenerasi kepemimpinan bangsa dikemudian hari jika tidak Indonesia akan berjalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran.

Oleh karena persatuan nasional akan terbentuk ketika terikat oleh satu keinginan dan tujuan yang sama dalam menuju cita-cita bangsa Indonesia yang belum tercapai secara utuh.

Dan dalam konteks pembangunan persatuan nasional itu yang pertama dibangun ialah jiwa bangsanya. Bung Karno sering menyebutnya sebagai nation and characer building. Dan bidang yang paling strategis dalam pembangunan jiwa ini ialah sektor pendidikan,

Jika pendidikan bergulir tanpa ruh atau spirit kesetiaan kepada cita-cita proklamasi 1945, sejatinya akan lahir Belanda-belanda hitam yang justru akan menghisap dan menindas bangsanya sendiri.

Pendidikan adalah inti utama pembentukan moral force suatu bangsa. Jika ada yang mengatakan mengapa kita harus menginduk kepada para pendiri bangsa atau pembukaan undang-undang dasar dan teks-teks yang terlahir dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dirasakan oleh orang modern sekarang ini kuno dan ketinggalan zaman, lebih baik kuno dan ketinggalan zaman daripada menjadi budak atau kuda lumping teori-teori yang diimport oleh barat yang belum tentu cocok atau bahkan tidak cocok di tanah dalam tanah ibu pertiwi ini.

Permasalahan Korea Utara dan Amerika Serikat memanglah ancaman bagi Indonesia akan tetapi yang terpenting dalam kuatnya daya tawar kita sebagai bangsa dalam politik luar negeri bagi saya ialah persatuan sebagai sebuah bangsa, dan persatuan itu terbangun oleh persamaan persepsi dan tujuan.

Penanaman nilai-nilai tersebut adalah wilayah pendidikan sebagai unsur pembentuk persepsi dan tujuan kebangsaan hingga tercapainya persatuan bangsa yang kuat dan kokoh, tanpa persatuan nasional itu Indonesia tak akan mampu bermain dan berperan dalam hubungan luar negeri dalam kondisi apapun.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com